Karya ini berisi kumpulan cerpenku yang bertema dewasa, tapi bukan tentang konten sensitif. Hanya temanya yang dewasa. Kata 'Happy' pada judul bisa berarti beragam dalam pengartian. Bisa satir, ironis mau pun benar-benar happy ending. Yah, aku hanya berharap kalian akan menikmatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riska Darmelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa Mencintai Gadis Jelek part 1.
“Kamu benar. Kalian kayak Bumi dan langit. Levelnya jauh banget,”kata Ocha, sahabatku satu-satunya.
“Iya, kan? Kok dia mau sama aku?”tanyaku bingung.
Kami sedang membahas pacar pertamaku, mantan teman sekelasku waktu kelas tujuh. Kemarin dia bilang dia ingin bicara berdua denganku. Awalnya aku curiga, jangan-jangan dia mau merundungku seperti yang kakak-kakak kelasku lakukan. Tapi ternyata dugaanku salah. Dia malah berkata kalau dia sudah lama menyukaiku dan ia ingin aku jadi pacarnya.
Aku pikir dia bercanda, karena semua orang tahu dia berwajah tampan sedangkan aku adalah si jelek yang terbuang. Si jelek yang selalu jadi bahan tertawaan kalau lewat di keramaian. Tapi sejak kemarin aku adalah si jelek yang punya pacar rupawan.
“Kayaknya kamu jadi bahan taruhan, deh,”kata Ocha.
Aku berhenti minum. “Taruhan yang kayak gimana?”tanyaku bingung.
“Semacam taruhan bisa ngedapetin cewek yang jadi bahan ejekan orang-orang kayak kita. Kalo iya, kamu harus siap-siap patah hati, tuh.”
“Aku belum terlanjur cinta, kok. Aku nggak sepolos itu sampai berpikir kalo cowok secakep Revan mau sama aku. Kamu kan bisa liat sendiri kalo nggak ada yang menarik dari aku.”
Ocha mendecak. “Kalo itu, aku nggak setuju. Kamu itu baik banget, makanya aku mau temenan sama kamu.”
Aku tersenyum. Perkataan Ocha membuatku merasa aku masih berharga buat orang lain. Setidaknya untuk Ocha.
Ocha melihat jam tangannya terang-terangan. “Aku pergi dulu. Lima belas menit lagi jam istirahatnya selesai. Selamat pacaran.” Setelah berkata begitu, Ocha berlari pergi.
Naluriku mengatakan kalau Ocha pergi karena ia melihat Revan mendekat. Aku menelan ludah. Gawat. Aku membetulkan letak rok yang sudah sempurna. Aku melakukan hal yang tidak perlu itu karena gugup.
“Hai, Yang,”sapa suara Revan, lalu aku melihatnya duduk di sampingku dari sudut mata.
“Hai, Revan,”jawabku gugup. ‘Yang’ itu pasti singkatan dari sayang.
“Tadi aku ngeliat Ocha pergi. Kenapa?”
“Nggak tau. Tadi dia bilang jam istirahat 15 menit lagi habis, terus dia langsung pergi.”
“Oh…”
Kami berdua terdiam.
“Gimana pelajarannya tadi? Asyik?”tanyaku yang sudah bingung mau membicarakan apa.
“Aku nggak terlalu suka belajar. Aku lebih suka main.”
“Oh…, “jawabku walau tidak terlalu mengerti. Untuk apa dia pergi ke sekolah kalau begitu?
“Tapi karena sekarang aku udah punya kamu, aku lebih suka ketemu kamu dari pada main.”
Aku tahu aku sedang digombali, jadi aku memberinya seulas senyum manis.
“Lihat, deh. Langitnya biru semua. Nggak ada awan,”kata Revan.
Aku otomatis langsung menatap langit. Revan benar. Langit biru di atas kami sedang terlihat indah. Langit cerah tanpa awan adalah jenis langit kesukaanku sejak dulu.
“Jalan bareng sepulang sekolah asyik, tuh, kayaknya,”sambung Revan. “Setuju?”
“Aku harus minta izin ke Mamaku dulu,”kataku.
“Nggak masalah. Asal kamu mau pergi bareng aku.”
Aku mengangguk, lalu mengalihkan pandanganku pada langit lagi. Entah dari mana datang keberanian yang membuatku menerima ajakannya. Mungkin aku jadi tenang setelah melihat langit biru.
∞
“Yakin kita mau ke Café ini?”tanyaku bingung.
“Iya. Aku kerja di sini setiap malam. Main music gitu. Aku mau kamu nonton penampilanku dan teman-temanku,”katanya. Revan menggandeng tanganku.
“Pemandangan di lantai duanya oke. Kita bisa ngeliat langit biru favoritmu dari sana.”
Aku sempat terpaku saat Revan menggandeng tanganku. Aku merasa Revan benar-benar orang yang berani. “Jadi kita sampai malam, nih di sini?”
Revan menatapku, seperti sedang menilai. “Tergantung kamu maunya gimana.
Sebenernya aku cuma mau ngenalin kamu sama teman-temanku di tempat kerja.”
“Oh,”kataku sambil mengangguk-angguk.
“Nania,”panggil Revan.
Aku menoleh dan saat itu bibir Revan mendarat di Pipiku. Aku terkejut sampai refleks menamparnya. Aku baru sadar saat melihat Revan tercengang.
“Kurang ajar!”kataku karena sakit hati.
“That just kiss!”protesnya.
“Ngomong pake bahasa Indonesia!”
“Aku cuma cium pipi kamu! Kita pacaran, kan? Apa salahnya?”
Tidak salah?
Aku mendengus. “Hari ini kita putus!”kataku lalu menyentak tangan kiriku yang ia gandeng sampai terlepas. Aku rasanya sudah akan menangis saat kakiku menginjak teras luar Café. Aku rasanya tidak butuh seorang laki-laki kurang ajar untuk jadi pasanganku. Untung saja aku belum mencintainya.
∞
Hampir 2 tahun sejak aku menampar Revan di Café ini. Revan tidak pernah terlihat perform lagi di Café ini sejak aku datang untuk menonton Revan dan bandnya. Saat itu aku melaporkan pada manager Café kalau Revan pernah melecehkanku di Café ini dan saat itu juga band Revan diberhentikan saat sedang tampil.
Sejak awal aku tahu Revan tampil di Café ini bukan untuk uang saja. Revan yang barasal dari keluarga kaya itu tidak tampil untuk beberapa puluh ribu uang, tapi untuk mimpi yang lebih besar lagi. Dan walau pun tahu aku sudah menghambat langkahnya, Revan tidak pernah mengusik hidupku lagi. Kami jadi masa lalu untuk satu sama lain, tapi aku tahu sejak putus denganku moral Revan semakin bobrok. Revan berkencan dengan gadis-gadis lalu mencampakkan mereka dalam hitungan hari. Entah apa yang membuatnya melakukan hal itu, tapi aku merasa dia melakukan hal itu karena sebuah alasan. Aku berharap alasannya bukan aku.
∞
“Baunya harum. Beli aja,”kata Mama.
Aku meletakkan parfum itu kembali ke tempatnya. “Kalo Mama yang bayarin aku ambil,”kataku.
“Kamu nggak bawa uang memangnya?”
“Bawa.”
“Terus?”
“Aku pengen dibayarin sama Mama. Mama, kan udah jarang beliin aku barang-barang. Sekali-sekali boleh, dong, minta dibayarin.”
Mama tertawa kecil. “Ya udah. Ambil aja. Mama yang bayarin,”katanya santai.
Aku tersenyum lebar. “Thanks, ya, Ma.”
Mamaku tersenyum sekilas lalu mengambil uang di dompetnya.
Kami keluar dari toko kosmetik setelah Mama selesai membayar semua barang yang kami beli. “Habis ini kita kemana lagi?”tanyanya.
“Maunya Mama kita ke mana?”tanyaku.
“Pergi makan. Udah jam 1. Udah waktunya makan siang. Kamu mau makan apa?”
Aku baru akan mengusulkan nama sebuah Café saat seseorang menabrakku dari belakang. Aku menoleh, menemukan Revan yang tercengang menatap wajahku.
“Maaf,”katanya sebelum pergi.
“Cakep, ya,”bisik Mama di telingaku. “Sayang banget kamu dulu mutusin dia.”
“Apaan, sih, Ma. Udah, ah!”protesku.
Mama malah tertawa. “Ya udah. Ayo makan. Mau makan apa?”
Aku kehilangan mood mengusulkan nama sebuah Café yang cukup jauh dari sini. “Soto aja,”jawabku.
“Oke.”
Selama perjalanan mencari soto, aku tidak bisa berhenti berpikir tentang Revan. Hatiku tidak tenang dan jantungku berdebar-debar. Dia rasanya baru saja menghidupkan rasa cinta di hatiku dengan pertemuan singkat kami.
∞
Akhir-akhir ini ada seorang siswi yang mendekatiku dan mengajakku berteman. Namanya Kinar. Bermula dari ia menggodaku karena cerita erotis yang kubuat, kami mulai mengobrol sampai akhirnya berteman. Kinar gadis yang baik, sayangnya dia pernah dekat dengan Revan, membuatku cemburu tanpa alasan yang jelas.
“Aku denger ada yang balikan tadi siang, nih,”kata suara yang sudah sangat lama kurindukan.
Aku merasa aku tidak akan sanggup menatap wajahnya, jadi aku langsung masuk ke perpustakaan. Aku tahu yang Revan maksud adalah Kinar dan pacarnya. Rasanya aku tidak perlu ikut campur.
Aku duduk di sudut terjauh dari pintu perpustakaan, di kursi yang dekat sekali dengan rak sains. Aku melawan rasa penasaranku untuk obrolan Kinar dan Revan. Aku benar-benar ingin jauh-jauh dari Revan agar ia tidak melihat rasa cintaku untuknya membara di mataku.
Aku mengambil sebuah majalah remaja dari rak sains. Aneh sekali ada majalah seperti ini di rak sains. Murid-murid selalu memperlakukan buku-buku di perpustakaan seperti ini, sehingga penjaga perpustakaan selalu kerepotan mengurus buku-buku yang terletak tidak pada tempatnya. Aku mengabaikan keinginanku untuk berkomentar pada guru penjaga perpustakaan lalu mulai membuka lembaran majalah remaja yang penuh dengan barang-barang fasion ini.
Aku selalu kebingungan karena barang-barang fasion. Tidak semuanya terlihat indah seperti yang seharusnya. Kadang ada yang terlihat aneh tapi berharga mahal. Orang macam apa yang mau membeli barang jelek berharga mahal untuk dipakai? Selama ini aku bersyukur sekali karena tidak masuk dalam golongan seperti mereka.
“Kenapa kabur?”tanya Kinar langsung saat dia menyusulku ke perpustakaan.
“Aku nggak suka deket-deket sama dia.”
“Tadi kamu denger?”
“Apanya?”tanyaku bingung. Aku tidak terlalu mengerti apa maksud Kinar.
“Itu, loh. Waktu Revan bilang aku balikan.”
“Oh…” Aku memang sempat mendengar soal itu. “Memangnya kenapa?”
“Nggak. Aku cuma nanya.”
“Oh…gitu.” Rasanya Kinar lebih seperti mencoba mengalihkan perhatianku dari pertanyaannya yang pertama. Aku mengacuhkan prasangkaku itu walau aku penasaran setengah mati.
∞
gabung di cmb yu....
untuk belajar menulis bareng...
caranya mudah cukup kaka follow akun ak ini
maka br bs ak undang kaka di gc Cbm ku thank you ka