NovelToon NovelToon
Hidupku Seperti Dongeng

Hidupku Seperti Dongeng

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Beda Usia / Teen School/College / Mengubah Takdir / Persahabatan / Kutukan
Popularitas:682
Nilai: 5
Nama Author: Umi Nurhuda

Kisah berawal dari gadis bernama Inara Nuha kelas 10 SMA yang memiliki kutukan tidak bisa berteman dengan siapapun karena dia memiliki jarum tajam di dalam hatinya yang akan menusuk siapapun yang mau berteman dengannya.

Kutukan itu ada kaitannya dengan masa lalu ayahnya. Sehingga, kisah ayahnya juga akan ada di kisah "hidupku seperti dongeng."

Kemudian, dia bertemu dengan seorang mahasiswa yang banyak menyimpan teka-tekinya di dalam kehidupannya. Mahasiswa itu juga memiliki masa lalu kelam yang kisahnya juga seperti dongeng. Kehadirannya banyak memberikan perubahan pada diri Inara Nuha.

Inara Nuha juga bertemu dengan empat gadis yang hidupnya juga seperti dongeng. Mereka akhirnya menjalin persahabatan.

Perjalanan hidup Inara Nuha tidak bisa indah sebab kutukan yang dia bawa. Meski begitu, dia punya tekad dan keteguhan hati supaya hidupnya bisa berakhir bahagia.

Inara Nuha akan berjumpa dengan banyak karakter di kisah ini untuk membantu menumbuhkan karakter bagi Nuha sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 Hidupku Seperti Dongeng

Malam ini...

Nuha duduk di meja belajarnya, menggambar sketsa di sela-sela buku pelajarannya. Sesekali ia melirik materi yang sedang dia pelajari, sembari membagi fokusnya.

Ketukan lembut di pintu kamar menghentikan aktivitasnya. Nuha segera menoleh ketika mendengar pintu terbuka.

"Ayah," sapanya lembut.

Mahesa berjalan mendekat dengan penuh perhatian, "Sedang apa, putriku?" tanyanya.

Nuha menyandarkan tubuhnya ke kursi dan mengangkat bukunya sedikit, memperlihatkan coretan-coretan di pinggir halaman. "Belajar... sambil gambar-gambar," jawabnya dengan sedikit tawa.

Mahesa bertanya, "Jadi, bagaimana sekolahmu? Menyenangkan?"

"Um!" Nuha mengangguk mantap, matanya berbinar-binar. "Seru kok, Yah! Hari-hariku di SMA semakin menarik."

Mahesa duduk di pinggir tempat tidur, memperhatikan putrinya. Ini sudah satu bulan Nuha menjalani kehidupan SMA-nya, dan beliau merasa lega melihat senyumnya yang tulus.

"Ayah senang mendengarnya," ujar Mahesa lembut, "Ayah ingat waktu kamu cerita di hari pertama MPLS, kamu menangis karena nggak sengaja menyakiti hati temanmu."

Nuha sedikit malu mengingat kejadian itu. "Iya, waktu itu Nuha nggak sengaja, tapi sekarang... Nuha udah punya sahabat, Ayah. Mereka baik banget, mereka bisa ngertiin Nuha."

"Bagus sekali, Nuha. Sahabat yang baik memang anugerah. Kalian adalah anak-anak yang masih tumbuh dan belajar dari segala kekurangan. Ayah harap kamu dan teman-temanmu bisa tumbuh menjadi anak-anak yang baik, ya. Kalian bisa menebarkan banyak kebaikan ke orang lain."

Nuha mengangguk penuh semangat. "Nuha akan berusaha, Ayah. Ayah memang Pangeran yang sesungguhnya."

Mahesa terkekeh, tak menyangka akan mendengar pernyataan seperti itu. "Pangeran, ya? Apa maksudmu, putriku?"

Nuha tersipu malu, pipinya bersemu merah. "Iya... Nuha yakin, Ibu pasti bahagia banget punya Pangeran seperti Ayah... maksudnya, suami sih."

Mahesa merasa tersentuh oleh kata-kata putrinya. "Ayah yakin, kamu juga akan menemukan Pangeran yang sebaik ayah... atau mungkin lebih baik lagi. Yang penting, kamu bisa bahagia, Nuha."

Mata Nuha berbinar penuh rasa percaya diri. "Iya, Ayah. Nuha akan menemukan kebahagiaan."

Namun, di balik senyum Mahesa, tersimpan rasa bersalah yang dalam. Ia berdiri dan berjalan menuju jendela, memandang keluar, terbenam dalam pikirannya.

Nuha menyadari perubahan itu, tapi memutuskan untuk membiarkan ayahnya tenggelam dalam lamunannya. Ia kembali fokus pada belajarnya, sementara Mahesa berjuang dengan kenangan masa lalu yang tiba-tiba menyeruak.

Mata Mahesa memandang kosong ke luar jendela, namun pikirannya melayang jauh ke masa lalu, saat Inaya, istrinya, sedang mengandung anak kedua mereka. Waktu itu, Inaya sangat mendambakan seorang anak perempuan setelah putra pertama mereka lahir.

"Saat itu, Ayah dan Ibu bertemu dengan nenek tua di pantai," gumam Mahesa tiba-tiba, suaranya pelan namun cukup jelas terdengar oleh Nuha.

Nuha berhenti menulis, penasaran dengan cerita ayahnya. "Nenek tua? Siapa, Ayah?"

Mahesa tersenyum pahit, ingatan itu tampak jelas dalam benaknya. "Nenek penjual cenderamata. Waktu itu, Ibu begitu berharap mendapatkan anak perempuan, dan nenek itu berkata bahwa Ibu akan mendapatkannya... tapi dengan syarat."

Nuha menatap ayahnya dengan kebingungan. "Syarat apa, Ayah?"

Mahesa menghela napas berat, seakan berat untuk melanjutkan ceritanya. "Setelah itu, kami melakukan USG, dan ternyata... bayi yang dikandung Ibumu adalah laki-laki. Ibu sangat kecewa waktu itu."

Nuha terdiam. Ia tidak pernah tahu cerita ini. "Lalu, apa yang terjadi?"

"Kesehatan Ibumu semakin menurun setelah itu. Sepertinya, kekecewaan dan beban pikiran Ibu mempengaruhi tubuhnya," jawab Mahesa lirih, "dan entah kenapa... mimpi-mimpi aneh mulai menghantui Ayah. Pekerjaan Ayah terganggu, banyak masalah yang datang bertubi-tubi."

Nuha menggigit bibirnya, hatinya mulai terasa berat. "Apa itu karena nenek tua itu?"

Mahesa menatap Nuha, matanya tampak letih. "Ayah tidak tahu. Tapi saat keadaan semakin memburuk, Ayah terpaksa kembali menemui nenek itu di pantai. Ayah ceritakan semua yang terjadi, berharap ada jawaban..."

Nuha terdiam. Suasana di kamar itu tiba-tiba berubah sunyi, seakan angin malam membawa aroma misteri dari cerita masa lalu ayahnya.

"Ayah... apa yang nenek itu katakan?" Nuha bertanya pelan, suaranya hampir berbisik.

Mahesa menarik napas dalam, seolah-olah mengumpulkan kekuatan untuk mengingat momen yang tak ingin ia kenang. "Nenek itu berkata... bahwa setiap pilihan ada konsekuensinya. Dan mungkin, kami sudah memilih jalan yang salah sejak awal."

Beliau mencoba memperjelas apa maksud dari perkataan nenek tersebut dan mimpi-mimpi anehnya. Dan itu memang semuanya sudah tidak bisa dihindari, bahwa apa yang nenek itu katakan akan benar-benar terjadi.

Nenek tua itu bisa meramal. Mahesa tahu bahwa apa yang telah nenek tua itu katakan sewaktu di pantai adalah ramalan. Makanya dia merasa takut bahwa kata-kata serius nenek tua tersebut menjadi kenyataan.

Ramalan itu menjadi sugesti dan perlahan masuk ke alam bawah sadar Mahesa. Apa yang Mahesa yakini jadi mempengaruhi cara berpikirnya dan sampai bisa mempengaruhi hidupnya.

Nuha menatap ayahnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Ayah, apa yang terjadi setelah ramalan nenek itu?"

Mahesa menghela napas, memikirkan kata-kata yang tepat. "Ramalan itu seolah menjadi beban di pikiran ayah. Setiap kali ayah memikirkan masa depanmu, ayah merasa takut akan kutukan yang mungkin datang bersamamu."

"Ja-- jadi?" tanya Nuha, menjadi gemetar.

"Ayah ingin kamu tumbuh bahagia dan bebas dari semua beban itu, Nuha," jawab Mahesa. "Saat kamu lahir, ayah berjanji akan melakukan apa pun agar kamu terhindar dari kutukan itu. Termasuk, berkorban."

Nuha merasakan cinta yang dalam dari ayahnya. "Tapi, ayah, ayah nggak perlu mengorbankan apapun. Nuha ingin kita semua bahagia bersama."

"Kadang, untuk mencapai kebahagiaan, seseorang harus mengambil risiko," kata Mahesa dengan serius. "Ingat, tidak ada kebahagiaan tanpa pengorbanan."

Nuha mengangguk, berusaha memahami. "Sahabat-sahabatku juga berjuang dengan cara mereka sendiri. Asa, Sifa, dan Fani memiliki cerita mereka masing-masing."

"Bagus, itu berarti kamu memiliki dukungan yang kuat," balas Mahesa. "Dunia ini memang penuh dengan perbedaan, tapi itu yang membuat hidup lebih berwarna."

Nuha tersenyum, merasa beruntung memiliki teman-teman seperti mereka. "Kami saling mendukung meski dengan cara yang berbeda-beda."

Mahesa tersenyum kembali, bangga mendengar hal itu. "Itulah yang terpenting, putriku. Persahabatan dan saling pengertian akan menguatkanmu."

"Ya, dan kami berjanji untuk selalu ada untuk satu sama lain, apapun yang terjadi," kata Nuha penuh semangat.

Mahesa mengelus kepala Nuha lembut. "Ingat, apa pun yang terjadi, ayah selalu di sini untuk mendukungmu."

Nuha merasa hangat di dalam hatinya. "Terima kasih, Ayah. Aku akan berusaha membuatmu bangga."

"Kamu sudah membuatku bangga setiap hari," ucap Mahesa, lalu mereka berbagi senyum.

Keduanya terdiam sejenak, merenungkan masa depan dan semua tantangan yang mungkin akan datang. Namun, di dalam hati mereka, ada harapan dan cinta yang tak akan pernah pudar.

Segaris senyuman mengembang di wajah Mahesa. "Kisahmu, masih panjang sayang. Ayah akan pastikan, kisahmu akan selalu bahagia dan berakhir dengan kebahagiaan," gumamnya dalam hati.

1
Tara
we can not 😂predict the future..buat we can always try 🤔🫢
Tara
pemalu kah or nanti disangka sombong lagi🤔
Miu Nurhuda: Gimana kak menurutmu sifat Nuha itu?
total 1 replies
Miu Nurhuda
hope so...
masih panjang kak perjalanannya ✍✍
Tara
smoga happy ending
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!