Winarsih, seorang gadis asal Jambi yang memiliki impian untuk bekerja di ibukota agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya yang buruh tani dan adiknya yang down syndrome.
Bersama Utomo kekasihnya, Winarsih menginjak Jakarta yang pelik dengan segala kehidupan manusianya.
Kemudian satu peristiwa nahas membuat Winarsih harus mengandung calon bayi Dean, anak majikannya.
Apakah Winarsih menerima tawaran Utomo untuk mengambil tanggungjawab menikahinya?
Akankah Dean, anak majikannya yang narsis itu bertanggung jawab?
***
"Semua ini sudah menjadi jalanmu Win. Jaga Anakmu lebih baik dari Ibu menjaga Kamu. Setelah menjadi istri, ikuti apa kata Suamimu. Percayai Suamimu dengan sepenuh hati agar hatimu tenang. Rawat keluargamu dengan cinta. Karena cintamu itu yang bakal menguatkan keluargamu. Ibu percaya, Cintanya Winarsih akan bisa melelehkan gunung es sekalipun,"
Sepotong nasehat Bu Sumi sesaat sebelum Winarsih menikah.
update SETIAP HARI
IG @juskelapa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Mendadak Masak
Winarsih merasa nyawanya terbang sesaat ketika mendengar bentakan khas yang didengar telinganya.
Entah sejak kapan Dean berdiri di dekat tanaman bambu kuning itu menontoni mereka, Winarsih pun tak tahu.
Dari penampilannya yang sangat segar, Winarsih bisa menebak sepertinya Dean baru selesai mandi dan pria itu pergi mencari sesuatu ke dapur tapi tak berhasil menemukannya.
Dia ingat kalau anak majikannya itu tak nampak batang hidungnya sejak makan siang bersama Pak Hartono.
Winarsih merasa malu sekali pada Dean. Keributannya dengan sang ayah yang sering menyebut namanya akhir-akhir ini membuat ia ingin memiliki reputasi baik agar Dean tak bisa lagi menyudutkannya.
Saat Dean mengatakan bahwa dirinya lapar, Winarsih segera ke luar dari kamarnya dan mengunci pintu.
Dia benar-benar tak mau Dean kembali menoleh ke belakang dan melihatnya berlama-lama di hadapan Utomo.
Winarsih khawatir jika Dean akan mengatakan sesuatu hal lagi di depan Utomo dan membuat dirinya malu.
Bahkan ia tak sempat berpamitan kepada Utomo untuk segera pergi ke dapur. Terakhir dilihatnya, Utomo masih terbengong di depan pintu dengan rambut ikal kelimisnya yang tersisir rapi ke belakang dan mengeluarkan aroma pomade klasik bapak-bapak.
*****
Winarsih berjalan cepat menunduk mengikuti langkah kaki Dean di sepanjang batako yang mengarah ke pintu dapur utama.
Setibanya di dapur utama tempat pegawai mengolah bahan makanan, Dean berhenti. Kedua tangannya masih berada di saku.
Pria itu berdiri seperti sedang berpikir-pikir.
"Bapak mau saya masak apa?" tanya Winarsih pelan
Dean berbalik menatapnya dengan ekspresi sinis yang tak dibuat-buat.
"Makan malam yang tadi aja," ucap Dean datar.
"Semua yang tadi sudah dibagikan ke pegawai sampai habis. Pak Hartono yang minta," jawab Winarsih dengan suara nyaris tak terdengar.
Dean menghela nafas dengan kesal. Sebenarnya dia bisa saja langsung pergi dari sana menuju V3. Disty pasti sudah menunggunya. Tapi tak enak rasanya jika tak menyulitkan pembantu barunya ini.
"Masak mi instan. Yang enak. Cepat!" titah Dean masih berdiri di tengah dapur.
Sebegitu mendengar kata perintah dengan nada tinggi yang baru diucapkan Dean, Winarsih seperti disetrum.
Wanita itu gelagapan membuka pintu-pintu lemari yang biasanya menyimpan stok makanan untuk dimasak.
Posisi Dean yang berada di tengah dapur sedikit menyulitkannya bergerak ke sana kemari.
"Bapak bisa tunggu di ruang makan, masaknya nggak akan lama. Nanti segera saya antar," ucap Winarsih.
"Ini rumah saya, kok kamu yang ngatur. Terserah saya mau di mana" ketus Dean.
Winarsih diam tak menyahuti perkataan Dean. Hatinya sedikit kesal karena anak majikannya itu seperti berniat menghukumnya karena kejadian tadi.
Letak panci saute pan yang biasa dipakainya untuk memasak makanan berkuah terletak di dalam lemari persis di belakang kaki Dean.
Winarsih berjongkok sebisa mungkin tak menyenggol kaki Dean yang masih berdiri di belakangnya.
Beberapa menit lama berjongkok di sana karena pintu lemari tak bisa membuka sepenuhnya, Dean menggeser kakinya dan berbalik.
Pria itu menatap Winarsih yang malam itu mengikat rambutnya ekor kuda tinggi dan menyisir poninya ke depan dengan rapi.
Di depan kamar pembantunya tadi, Dean tak bisa melihat wajah wanita itu dengan jelas karena membelakangi cahaya.
Ternyata, pembantunya itu bisa juga memakai lipstik. Harus diakuinya, Winarsih tak perlu banyak memakai polesan untuk menonjolkan wajah manisnya.
Pandangan Dean turun ke bawah dan sejenak terpaku menatap belahan dada Winarsih yang menyembul karena aksi jongkok wanita itu.
Tangan wanita desa berkulit kuning langsat itu berhasil menggenggam pegangan panci di dalam lemari.
Saat hendak berdiri, dia menyadari kaki Dean telah berdiri mengarah kepadanya. Beberapa saat mata Winarsih tertumbuk pada kuku kaki putih bersih yang berada di depannya.
Kuku-kuku kaki itu pasti tak pernah menginjak becek apalagi lumpur hingga tak harus mencungkil bagian sampingnya yang menyimpan butiran tanah tiap memotong kuku.
Winarsih mendongak. Sesaat pandangan mereka bertemu. Winarsih menatap sepasang mata Dean yang sedikit sipit dan terkesan angkuh.
Rambut Dean malam ini jatuh menutupi sebagian dahinya. Bibirnya menarik seperti akan tersenyum, namun ternyata, "Liat apa kamu?" tanya Dean Sinis.
Winarsih sedikit terlonjak, gerakannya yang tiba-tiba bangkit dari jongkoknya malah menyenggol Dean hingga pria itu mundur selangkah.
Bokong Winarsih yang memang layak diperhitungkan, membuat Dean berhasil menjauh dari tempatnya memasak.
Setelah mengatakan "maaf" dengan pelan, Winarsih cepat-cepat meletakkan saute pan di atas kompor dan bergegas menuju ke kulkas mencari bumbu tambahan yang akan dipakainya untuk memasak mi instan kuah.
Dean berdecak kesal tak menyangka jika pembantunya itu juga seperti sengaja mengusirnya dari dapur dengan gerakan bokongnya yang tiba-tiba.
"Saya tunggu di meja makan. Cepat! Jangan sampai selera makan saya hilang!" perintah Dean seraya pergi meninggalkan dapur utama. Suara pria itu menggema di dapur.
Tak sampai dua puluh menit, Winarsih telah berjalan ke ruang makan dengan sebuah nampan yang berisi mangkuk mi kuah dengan asap yang mengepul.
Winarsih menumis irisan bawang putih dan bawang merah di atas api kecil, kemudian menambahkan bunga kol, sawi manis dan potongan daun bawang ke dalam mi kuah itu.
Setelah mendidih, tak lupa sedikit irisan cabe rawit dan sejumput bawang goreng yang selalu tersedia di toples dapur turut menambah aroma sedap yang menyeruak di udara.
Dean menyadari kehadiran Winarsih dari langkah kaki yang datang dari balik kursinya. Perlahan-lahan wanita itu mengangsurkan semangkuk mi dari nampan.
Itu adalah mi instan kuah tercantik yang pernah dimasak untuk Dean.
Sejenak Dean menatap isi mangkuk itu dengan penuh selera. Menyadari pembantunya itu tak ada memberikan sendok, Dean mendongak melihat ke arah Winarsih yang juga sepertinya menatap kagum ke arahnya.
Entah kagum karena apa. Karena mi instan kuah buatannya, atau entah karena wajahnya yang tampan.
Mungkin baru kali ini pembantunya itu melihat pria yang jauh tampan selain pacarnya yang tukang meraba-raba itu, pikir Dean. Dean sedikit menggeleng.
"Sendok," ucap Dean. Namun Winarsih hanya diam menatap wajahnya.
"Saya bilang sendok. Menurut kamu saya makan ini pakai tangan?" tanya Dean sarkas.
"Oh!" Tersadar dengan perkataan Dean, Winarsih buru-buru menarik satu set sendok yang terletak tak jauh dari tangan majikannya.
Jika tak melihat Dean secara langsung, orang pasti akan mengira pria itu lumpuh karena tak bisa mengambil sendok yang jaraknya begitu dekat.
Setelah menyediakan Dean segelas air putih dan meletakkan sapu tangan satin beberapa senti dari hidung pria itu, Winarsih mengambil nampannya.
Dia berniat kembali ke dapur. Sekilas tadi matanya melihat ke arah jam yang tergantung di dinding.
Mungkin Utomo belum jauh dari sana, Winarsih berniat menelepon pria itu dan mengabarkan jika dirinya telah menyelesaikan permintaan majikannya.
Saat Winarsih mundur selangkah, Dean yang telah menyuapkan makanan ke mulutnya kembali menoleh padanya.
Winarsih benar-benar takut sekali jika Dean menatapnya seperti itu.
"Mau ke mana kamu?" tanya Dean datar.
"Ke belakang Pak, kalau Pak Dean sudah selesai makan. Bapak tinggalkan saja semuanya, nanti saya bereskan" ucap Winarsih dengan nada yang nyaris mengiba.
"Yang bilang kamu boleh pergi siapa? Tetap di situ kamu sampai saya selesai makan." Dean melanjutkan makannya tanpa menghiraukan Winarsih yang berdiri canggung di dekatnya.
Dalam sekejab saja mi kuah itu tuntas dan hanya menyisakan beberapa lembar daun bawang.
"Baru makan kamu?" suara Pak Hartono tiba-tiba terdengar mendekat.
Winarsih terlonjak dan nyaris menjatuhkan nampannya. Dalam hati dia berdoa semoga anak-ayah yang sedang berhadap-hadapan itu tak bertengkar lagi di depannya.
Winarsih kembali gelisah. Pak Hartono memandangnya beberapa saat kemudian berjalan mendekati Dean dan menarik kursi di sebelah anaknya.
Winarsih ingin pergi dari ruangan itu, tapi dia takut jika harus kembali menerima bentakan Dean seperti terakhir kali.
Ya Tuhan, sesulit inikah menjadi pembantu rumah tangga saja?. Winarsih meratap dalam hati.
"Papa sudah makan?" tanya Dean setelah mengelap mulutnya dengan sapu tangan satin berwarna putih.
"Sudah," jawab Pak Hartono singkat.
"Mau ke mana kamu?" sambung Pak Hartono lagi yang menyadari Dean sudah rapi malam itu.
"Ketemu Disty," jawab Dean pelan.
"Sudah Papa bilang, Papa tidak mau kalau kamu sering bersama wanita itu. Terserah bagaimana kamu menyampaikannya. Sekali Papa bilang tidak, tetap tidak. Jangan bawa dia ke rumah ini selama Papa masih hidup." Pak Hartono bangkit dari duduknya.
Hatinya kesal sekali. Dean sepertinya selalu mengabaikan apapun yang dikatakan orang soal pacarnya itu.
Tadinya Pak Hartono berencana mengajak Dean mengobrol soal kesibukan anaknya di kantor dan kegiatan Pak Hartono sebagai menteri karena mereka memang jarang bertemu akhir-akhir ini.
Tapi Dean sepertinya terlalu sibuk memikirkan perasaan pacarnya.
Dengan wajah yang dipenuhi amarah dan kekesalan, Pak Hartono berniat kembali ke kamarnya.
"Dean akan tetap bersama Disty Pa," ucap Dean sedikit keras.
"Sudah Papa bilang, lebih baik kamu menikahi Winarsih ketimbang wanita jalanan itu! Pergi saja kamu tinggal di rumahnya, jangan tinggal di bawah atap yang sama dengan Papa!" balas Pak Hartono tak kalah kerasnya kemudian berjalan menjauh menuju ke sebuah tangga raksasa yang melingkar.
Winarsih yang mendengar Pak Hartono kembali menyebutkan soal dirinya saat bertengkar dengan anaknya, menjadi benar-benar gelisah.
Langkahnya mulai beringsut menjauhi kursi di mana Dean duduk.
Dean bangkit dari duduknya dan menggeser kursi dengan kasar hingga menimbulkan suara keras. Winarsih hanya menunduk memandang kuku-kuku tangannya yang memutih karena menggenggam nampan begitu erat.
Anak majikannya itu mengumpat dengan kata-kata yang tak tertangkap oleh telinga Winarsih.
Saat Dean melangkahkan kakinya menuju ruang keluarga, Winarsih menarik nafas lega. Sedetik kemudian wanita itu rasanya ingin terbang dan cepat tiba kembali ke kamarnya.
Dengan sigap Winarsih memunguti mangkok bekas makan Dean dan mengelap dua tetes kuah mi yang tercecer di meja dengan serbet bekas pria itu.
Kakinya langsung bergegas menuju gawang pintu yang menuju dapur bersih.
Tiba-tiba,
"Hei!" teriak Dean yang sepertinya dimaksudkan kepada Winarsih.
Perlahan Winarsih menoleh dengan tangan yang masih menggenggam erat nampan.
Pria di depannya ini tampan sekali, sayang bicaranya sangat kasar dan sering tidak manusiawi, batin Winarsih.
"Awas kalau kamu pergi ya! Awas aja kalau nanti saya cari kamu gak ada. Jangan sampai kamu asik-asik bermalam minggu dengan si mesum itu! Papa begitu karena kamu juga!" cerca Dean kepada Winarsih yang menatapnya dengan wajah memucat.
To Be Continued....