Happy Story

Happy Story

Me, You, and Coffee part 1.

Pagi muncul lagi hari ini, menyambutku yang baru bangun dari tidur. Jendela kamarku sudah terbuka, mengizinkan matahari pagi menyinari seisi kamar. Adikku pasti bangun terlalu pagi lagi, seperti biasa. Dia memang lebih rajin dari pada aku. Sejak ia tinggal di kamar kos yang sama denganku, aku tidak pernah lagi membuka jendela sendiri kalau tidak sedang terjaga semalaman untuk mengerjakan ilustrasi.

Aku melirik jam dinding dengan mata sepat. Sudah jam 10 pagi. Aku kesiangan, lagi-lagi. Padahal semalam aku cuma begadang sampai jam 1. Mungkin karena sudah terbiasa bangun siang, mataku jadi terbiasa tidur sampai siang.

Aku mengeliat lalu bangkit dari tempat tidur. Waktunya untuk cari kopi enak.

Aku menarikan lightpen-ku di layar tab, berusaha membuat ilustrasi untuk sampul novel seorang penulis yang lumayan cerewet. Ini sudah revisi ke dua dan dia masih memintaku untuk memperbaiki desainnya. Kalau setelah ini ia masih minta revisi, aku berniat menyerah saja. Prinsipku, jika seseorang tidak suka dengan cara kerjaku, berarti kami memang tidak bisa bekerja sama. Untuk apa memaksakan diri untuk tetap bekerja sama. Iya, kan?

Aku meletakkan lightpen-ku sejenak untuk mengangkat cangkir espresso-ku. Aku mendekatkan cangkir ke hidung lalu menghirup aroma kopi yang menenangkan sebelum menyesapnya. Rasanya luar biasa! Seenak yang kuharapkan dari secangkir kopi mahal. Aku tidak pernah kecewa dengan kopi racikan barista Café ini. Tidak pula dengan ketampanannya yang luar biasa.

Aku menatap wajah di balik bar yang tidak kehilangan ketampanannya itu, meski ia hanya memakai kaos putih biasa dan celemek hitam. Ia sedang tersenyum sambil mengobrol dengan pelanggan, mungkin tidak menyadari betapa memabukkannya senyuman di bibirnya. Senyumnya itu menutrisi jiwaku, membuatku betah berlama-lama di café ini sambil mengerjakan ilustrasi.

Namanya Alan, pemilik Café ini sekaligus baristanya. Umurnya 28 tahun dan saat ini sedang tidak memiliki pendamping. Sejak bercerai dengan istrinya 2 tahun lalu, ia memilih menyendiri, tidak mempedulikan perempuan yang ingin memilikinya karena terpesona dengan senyumnya yang memabukkan jiwa. Aku tidak pernah mendambakan untuk memilikinya karena aku lah wanita bodoh yang menceraikannya itu.

Ya, aku yang menceraikannya. Ada ketidak cocokan di antara kami, jadi setelah 4 tahun membina rumah tangga, aku memutuskan untuk menceraikannya. Orang-orang mengejekku karena aku menceraikan Alan. Mereka biasanya adalah jenis-jenis yang menganggap kami sebagai pasangan sempurna. Couple goals, begitulah mereka menyebut kami terkadang. Seandainya mereka tahu seberapa toxic-nya hubunganku dan Alan, mereka tidak akan menganggapku begitu.

Aku berhenti menatap mantan suamiku itu. Aku masih mendambakannya, aku akui. Tidak mudah melupakan orang yang masih sangat aku cintai. Aku bercerai bukan karena sudah tidak cinta, tapi karena sikapnya yang membuatku lelah dan hampa. Kalau saja Alan tidak membuatku tertekan, mungkin aku tidak akan punya alasan untuk menceraikannya.

Dari sudut mataku, aku melihat warna celemek hitam itu bergerak mendekatiku. Saat menoleh, aku melihat Alan berjalan mendekatiku membawa dua cangkir dalam nampan logam. Aku mengira dia ingin mengobrol denganku, seperti kebiasaannya jika meja Café sudah penuh dengan pengunjung. Kami memang masih berteman baik, karena itulah ia berani menghampiriku.

“Lagi sibuk?”tanyanya. “Aku mau gabung.”

Aku meletakkan tab dan lightpen di meja lalu mengeliatkan untuk meregang badan. “Gabung aja. Udah waktunya buat aku istirahat juga.”

Ia meletakkan salah satu cangkir di hadapanku. “Nih, espresso tambahan buat kamu.”

“Makasih,”kataku sambil tersenyum.

“Gimana, kerjaan? Lancar?”tanyanya.

Aku menyesap kopi gelas pertama sebelum menjawab. “Lumayan. Penghasilanku stabil.”

“Susah, ya, hidup tanpa aku biayain?”godanya.

Aku menyipitkan mata. “Jangan mulai,”kataku memperingatkan.

Alan tertawa. “Dasar galak,”ejeknya.

“Kamu yang suka cari masalah,”tuduhku.

Alan terkekeh. “By the way, kamu udah punya penggantiku atau belum, sih? Sendiri mulu keliatannya.”

Aku menyesap kopi gelas pertamaku sampai habis. “Mau fokus kerja dulu. Lagi pula aku belum mau jalin hubungan lagi.”

Alan tersenyum tipis. Ia lalu menyesap kopinya pelan tanpa suara seruputan, berbeda sekali denganku yang selalu berisik saat minum kopi.

“Kamu juga sendiri mulu. Kapan mau punya gandengan,”pancingku.

“Gimana mau cari gandengan kalo belum bisa move on,”jawabnya tanpa menatapku. “Luka hatiku masih basah, jadi belum bisa di sentuh cinta lain macam apa pun. Kecuali kamu mau ngobatin pake perhatianmu lagi. Kayak dulu.”

Aku menatap lama wajahnya. Ada rasa sakit yang terlihat samar di sana. Aku mengalihkan pandangan dari wajahnya ke buku-buku jariku. “Kamu tau kalo keinginan kamu itu mustahil buat aku wujudkan. Kita memang harus kayak gini.”

“Aku tau kamu masih cinta aku.”

“Dan kamu tau kalo aku nggak sanggup hidup sama kamu,”serangku.

“Aku udah berubah.”

“Kamu nggak akan bahagia berubah hanya untuk kenyamananku.”

“Setidaknya aku mau.”

“Aku nggak butuh. Aku cuma butuh kita kayak gini, temenan tanpa menyakiti.”

Alan mendesah. “Kamu buang aku,”tuduhnya.

“Nggak. Aku cuma nyelamatin diri.”

“Dengan cara buang aku,”kukuhnya.

“Kita masih berteman.”

“Pertemanan aja nggak cukup.”

Aku memilih diam. Perdebatan ini akan semakin pnjang jika aku meladeni omongannya terus. Aku memilih membereskan peralatanku, bersiap-siap untuk pergi.

“Jangan pergi,”mohonnya.

Aku melirikya sekilas. Ada rasa sakit di wajahnya yang membuatku merasa bersalah. Aku tahu dia mencintaiku setengah mati. Tapi jika hanya bisa saling menyakiti, lebih baik kami berhenti menjalin hubungan. Aku bangkit dari kursi lalu menghampirinya. Kukecup lembut pipinya, lalu merasakan rindu tumbuh di hatiku. “Aku pergi,”pamitku.

“Kamu selalu kayak gini. Ngehindar dan nggak mau dengerin aku,”omelnya.

“Kamu juga selalu keras kepala dan cerewet. Tapi aku nggak pernah protes.”

“Kamu emang gitu, nggak pernah protes, bikin aku ngerasa hubungan kita baik-baik aja, lalu nggak ada angin atau hujan, tiba-tiba kamu minta cerai.”

Aku tersenyum lalu mengelus pipinya pelan. “Jangan diomongin lagi. Kita udah berakhir, Lan. Jalani aja apa yang bisa kita jalani,”kataku lembut.

Alan mendengus.

Aku memilih berlalu.

“Kak, aku butuh biaya buat pergi ke seminar di luar kota. Kakak bisa biayain nggak? Cuma 300 ribu, kok,”pinta adikku dengan nada memelas.

Aku mendesah. “Males ke ATM. Emang perlunya kapan, sih?”

“Besok.”

“Kok baru bilang?”omelku.

Adikku memandangku takut-takut. “Baru tau tadi.”

“Kita kan nggak ada kendaraan, Dek. Kalo mendadak kayak gini kakak nggak bisa.”

Adikku mengguncang-guncang lenganku. “Ayolah, Kak. Aku beneran butuh uang itu,”mohonnya.

Aku mengambil dompet dan mengecek isinya. Cuma ada 150 ribu uang kertas dan beberapa buah uang koin. Aku menatap wajah memelas adikku, merasa tidak tega. “Oke. Kakak pergi ke ATM pake ojek.”

“Jangan pake ojek malam-malam gini. Ntar Kakak dibegal, loh.”

“Kok kamu malah nakut-nakutin, sih!”

“Cuma mau bilangin aja. Mending Kakak minta ditemenin bang Alan aja. Bang Alan, kan punya mobil,”usulnya.

Aku melotot. “Kakak nggak enak kalo harus minta bantuan Alan!”

Adikku terlihat putus asa.

“Emang kamu nggak ada duit sama sekali?”tanyaku.

“Tinggal 50 ribu. Duit yang dikirim sama Mama belum aku ambil,”jelasnya tanpa menatapku.

Aku mendesah. Satu-satunya orang yang ada di pikiranku saat ini hanya Alan. Mungkin ia mau membantu mengantarkanku ke ATM. Dia, kan pernah berkata kalau ada perlu dia siap membantuku. Mungkin sekaranglah waktu yang tepat untuk minta tolong padanya.

“Ya udah. Kakak minta bantuan Alan, deh. Kamu tunggu di kos, oke?”

Adikku mengangguk patuh.

Aku mengetuk pintu rumah Alan. Suara beratnya yang merdu menyuruhku menunggunya sebentar. Tidak sampai semenit kemudian, pintu terayun terbuka, menampilkan susok Alan yang jangkung. Sinar matanya yang awalnya terlihat lelah berubah jadi suka cita saat menyadari kehadiranku. “Hai, Mina. Ada apa?”tanyanya dengan suara serak.

“Kamu lagi nggak sehat, ya?”tanyaku.

“Cuma flu sedikit. Nggak parah, kok. Ada apa?”

Aku sedikit ragu. “Beneran cuma, flu?”

“Iya. Kenapa? Khawatir?”godanya.

Aku mendesah lega. Kalau dia masih sempat bercanda, artinya dia tidak apa-apa. “Aku boleh minta tolong kamu buat antar aku ke ATM. Adikku butuh uang buat bayar biaya seminarnya.”

“Oh, mau transfer uang?”

“Bukan. Dia butuhnya cash. Kamu kan tau kampus adikku ada di dekat sini. Pendaftaran seminarnya tutup jam 12 nanti,”jelasku.

Alan tertawa kecil. “Kayak Cinderella aja yang sihirnya abis jam 12 malam,”candanya.

Aku memutar mata. “Nggak nyambung.”

“Iseng doang,”katanya. “Ya udah, tunggu di sini sebentar. Aku mau ambil kunci mobil.”

Aku mengangguk.

Beberapa menit kemudian kami sudah ada di dalam mobilnya yang melaju di jalan raya, menuju ATM terdekat. Kami tidak saling bicara karena aku tahu Alan tidak suka mengobrol saat sedang mengemudi. Alan adalah jenis orang yang menomor satukan keselamatan dalam berkendara. Aku masih ingat semua kebiasaan-kebiasaan Alan meski aku sudah tidak jadi istrinya. Aku masih terlalu mencintainya untuk bisa lupa.

Alan memarkir mobilnya di tempat parker sebuah toko kue di dekat ATM. “Ayo keluar. Aku temenin,”katanya.

Aku mengangguk. Ini kebiasaan lama. Alan selalu menungguiku untuk mengambil uang karena ia takut aku akan jadi korban kejahatan. Perhatian Alan membuatku berpikir ia sama sepertiku yang belum bisa melupakan kisah kami. Mungkin juga porsi cintanya melebihi aku. Laki-laki normal mana yang mau memberi perhatian lebih pada orang yang tidak ia cinta? Alan yang kukenal tidak sebaik ini pada perempuan lain.

Menyadari hal ini membuat hatiku hangat.

Aku segera masuk ke bilik ATM lalu menarik uang lima ratus ribu. Aku yakin adikku juga butuh uang jajan tambahan. Akhir-akhir ini aku jarang memberinya uang jajan tambahan karena pekerjaanku sedikit bermasalah. Tapi biarlah. Toh uang dua ratus ribu yang kuberikan padanya tidak akan membuat hidupku kekurangan.

“Udah?”tanya Alan saat aku keluar dari bilik ATM.

“Iya. Balik, yuk.”

“Oke.”

Alan mengantarku sampai depan kos. Aku mengucapkan selamat tinggal lalu menunggu mobilnya menghilang di kejauhan. Aku merenung menatap langit malam. Sepertinya bercerai dengan Alan adalah keputusan yang buruk. Bisa-bisanya aku menceraikan orang sebaik dia.

Terpopuler

Comments

范妮·廉姆

范妮·廉姆

Hai ka.....
gabung di cmb yu....
untuk belajar menulis bareng...
caranya mudah cukup kaka follow akun ak ini
maka br bs ak undang kaka di gc Cbm ku thank you ka

2024-08-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!