Reyn Salqa Ranendra sudah mengagumi Regara Bumintara sedari duduk di bangku SMA. Lelah menyimpan perasaannya sendiri, dia mulai memberanikan diri untuk mendekati Regara. Bahkan sampai mengejar Regara dengan begitu ugal-ugalan. Namun, Regara tetap bersikap datar dan dingin kepada Reyn.
Sudah berada di fase lelah, akhirnya Reyn menyerah dan pergi tanpa meninggalkan jejak. Pada saat itulah Regara mulai merindukan kehadiran perempuan ceria yang tak bosan mengatakan cinta kepadanya.
Apakah Regara mulai jatuh cinta kepada Reyn? Dan akankah dia yang akan berbalik mengejar cinta Reyn?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Jangan Dilepaskan Genggaman Tangannya
Reyn tak henti menitikan air mata ketika dokter sedang memeriksa kondisi Rega. Tangan Rega mulai terulur dan dengan cepat Reyn meraihnya.
Kabar sadarnya Rega membuat kedua orang tua Rega begitu bahagia. Begitu juga dengan kedua orang tua Reyn.
"Alhamdulillah. Kamu memang anak kuat, Nak."
Mami Sasa mengusap lembut lengan Bu Gendis. Sorot mata penuh bahagia dapat Mami Sasa lihat.
"Sekarang, terserah Pak Abimana dan Ibu. Apa Rega mau dipindahkan ke rumah sakit lain yang pengobatannya lebih bagus? Semuanya akan saya tanggung."
Penawaran papi Restu ditolak begitu halus oleh Bu Gendis. Dia menatap Papi Restu dengan senyum yang begitu teduh.
"Di sini saja sudah cukup, Pak. Yang paling penting Rega sudah sadar."
Mami Sasa menatap ke arah sang suami ketika mendengar jawaban yang membuat mereka tertohok. Sedari awal Bu Gendis tak menuntut apapun dari keluarga Reyn. Sekarang, ditawari untuk pindah rumah sakit pun dia menolak.
"Pak Restu sudah mengirimkan dokter terbaik. Itu sudah lebih dari cukup. Saya sangat berterimakasih."
Kedua orang tua Reyn tak menyangka masih ada orang yang begitu tulus di dunia ini seperti Bu Gendis. Tuan Abimana menatap ke arah mantan istrinya dengan tatapan penuh arti.
Pintu ruangan terbuka. Bu Gendis segera menghampiri dokter.
"Kondisi Rega sudah sadar sepenuhnya. Hanya saja ada satu tulang rusuk yang patah. Maka, akan kami lakukan tindakan lagi setelah ini."
"Lakukan terbaik. Dan tempatkan di kamar terbaik."
Dokter pun mengangguk. Sedangkan Bu Gendis menatap ke arah ayahnya Reyn.
"Kami akan memberikan perawatan terbaik untuk Rega. Bu Gendis jangan khawatirkan apapun. Semuanya tanggung jawab kami."
Manik mata Bu Gendis mulai berair. Mami Sasa memeluk tubuh wanita tulus itu.
"Terimakasih," ucap Bu Gendis.
Dia tak menyangka keluarga Reyn akan sebaik ini. Pantas saja Reyn menjadi perempuan yang begitu tulus dan baik. Kaya raya, tapi tak pernah menunjukkan. Bahkan, dia selalu menutupi dari mana dia berasal.
"Boleh kami melihat Rega?" Dokter pun mengijinkan.
Reyn ingin melepaskan genggaman tangan Rega ketika orang tuanya dan orang tua Rega sudah berada di ruangan itu. Namun, Rega tak mengijinkan. Malah semakin erat menggenggam tangan Reyn. Manik mata Reyn sudah menatapnya dengan penuh permohonan. Rega masih pada pendirian.
"Kak, lihatlah wajah Papi aku!"
Ingin rasanya Reyn berkata seperti itu. Wajah garang dan sinis sang papi sudah terlihat begitu jelas.
"Makasih, Nak. Kamu sudah mau bangun dari tidur kamu."
Rega pun tersenyum. Namun, setelahnya dia meminta maaf.
"Maaf, sudah buat Mama khawatir dan menangis."
Bu Gendis memeluk tubuh Rega yang tangannya masih menggenggam tangan Reyn. Terlihat betapa eratnya genggaman tangan Rega kepada tangan Reyn.
"Rega, makasih ya. Kamu sudah menyelamatkan Reyn."
"Sudah kewajiban aku untuk melindungi orang yang aku sayang, Tan. Apapun akan aku lakukan untuk Reyn. Sekalipun nyawa yang jadi taruhannya."
Reyn begitu tercengang mendengar jawaban dari Rega. Dia tidak menyangkan jika Rega akan seberani itu. Padahal, di sana ada orang tua Rega juga.
"Jangan bicara hal aneh dulu. Fokuslah pada kesembuhan kamu." Papi Restu mengalihkan pembicaraan.
"Kesembuhan aku ada pada Reyn, Pak Restu."
Reyn menatap Rega dengan wajah cemas. Harusnya Rega tak membalas ucapan ayahnya.
"Genggaman tangannya memberikan sebuah energi dan kekuatan untuk aku survive. Suaranya yang berat dan air matanya yang jatuh ke punggung tangan memacu tubuh aku untuk bergerak. Berkat Reyn, aku bisa kembali sadar."
Papi Restu terdiam. Reyn pun membisu. Sedangkan kedua orang tua Rega sudah tersenyum melihat putra mereka yang begitu gentle.
"Jangan pernah lepaskan genggaman tangan perempuan itu, Regara. Kalau bisa ikatlah dia."
Papi Restu segera menoleh ke arah Tuan Abimana. Pengacara itupun tertawa melihat pelototan dari Papi Restu.
"Bisalah kita berbesanan," goda Tuan Abimana. Mata papi Restu semakin melebar.
Mami Sasa dan Bu Gendis pun tertawa. Begitu juga dengan Rega. Sesaat setelah itu, tawa Rega berubah menjadi ringisan. Reyn segera menoleh dengan wajah yang cemas.
"Kenapa? Ada yang sakit?" Rega mengangguk.
"Aku pang--"
"Enggak usah. Tetap di sini, temani aku." Sorot mata Rega menunjukkan cinta yang besar untuk perempuan yang sedang dia pandang.
.
Reyn menunggu di dalam ruang operasi dengan hati yang gelisah. Masih ada ketakutan di sana. Bu Gendis mengusap lembut lengan Reyn dan tersenyum hanya.
"Rega pasti mampu melewati semua ini."
Reyn mengangguk. Dia merasa beruntung telah mengenal Bu Gendis. Juga dia tak menyangka jikalau ayahnya Rega sebaik itu.
Operasi pun selesai. Rega sudah dipindahkan ke ruang rawat yang diminta papi Restu. Rega tak mau Reyn jauh darinya. Bahkan dia meminta ijin kepada kedua orang tua Reyn supaya Reyn tetap menjaganya di rumah sakit.
"Tante sih gak masalah," balas Mami Sasa.
Lalu, wanita cantik itu menoleh ke arah sang suami.
"Terserah Reyn aja."
Rona bahagia terlihat sangat jelas dari lelaki tulus itu. Tatapan Rega itu tak bisa berdusta. Selalu berbicara dan berbunga jika tengah menatap Reyn Salqa Ranendra.
Di ruangan besar itu hanya ada Reyn dan Rega. Kedua orang tua Reyn dan Rega pulang membiarkan dua insan itu melepas rindu.
"Terimakasih sudah selalu ada di samping aku. Tak meninggalkan aku," ucap Rega sembari menggenggam tangan Reyn.
"Hanya itu yang aku bisa. Jika, aku bisa menggantikan posisi Kak Rega yang terbaring kritis, pasti akan aku lakukan karena umur aku kan su--"
"Aku gak mau dengar tentang itu," potong Rega.
"Kamu harus tetap hidup dan terus berada di samping aku sampai aku yang lebih dulu menutup mata."
"Aku cinta kamu, Reyn. Selamanya cinta ini akan tetap sama."
Reyn membeku. Air matanya sudah menganak. Usapan lembut di pipi membuat air mata itu terjatuh.
"Tak ada salahnya kamu mengatakan kalimat yang sama seperti apa yang aku katakan. Tak ada salahnya kamu mengungkapkan apa yang selama ini kamu pendam. Jangan selalu membohongi diri karena bisa berujung sakit sendiri."
Rega menyeka air mata yang sudah jatuh membasahi pipi. Dia tersenyum ke arah Reyn.
"Jangan siksa diri kamu, Reyn. Meskipun, vonis dokter sudah kamu dengar, kamu berhak bahagia dan memiliki pendamping di sisa umur kamu. Jangan menutup diri kamu hanya karena kamu tak ingin menyakiti atas vonis yang dokter jatuhkan, bukan vonis dari Tuhan.'
Reyn tak bisa berucap. Bibirnya begitu kelu dan air matanya kembali berurai.
"Jangan sedih lagi ya, Sayang."
Sebuah kata panggilan yang membuat tubuh Reyn menegang. Tangan Rega sudah berada di dagu Reyn. Senyumnya sudah melengkung indah. Reyn bagai terhipnotis ketika wajah Rega sudah mulai maju. Refleks mata Reyn terpejam ketika bibir Rega sudah mulai mendekat. Kecupan lembut Rega berikan.
"I love you," ucapnya ketika kecupan cukup singkat itu sudah dia akhiri.
Reyn tidak menjawab. Mata Reyn tertuju pada sesuatu. Peraduan bibir kembali terjadi di mana Reyn yang memulai tanpa aba.
"Love you too, Regara."
...*** BERSAMBUNG ***...
Banyakin komennya ... 1 bab lagi nih kalo komennya banyak