Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 22 ~
HAPPY READING
Setelah makan malam, aku menemani Lala mewarnai gambar di ruang tengah. Aku berniat menanyai perihal obrolan Lala dengan ontynya saat menjenguk ke sekolah. Aku bahkan sudah mempersiapkan diri dengan cerita Lala yang kemungkinan besar akan membuat hatiku kembali tercabik-cabik.
"La, tadi siang ngobrol apa sama onty?" Ku belai kepala Lala dengan lembut. Kami sama-sama duduk di lantai dengan alas permadani berbulu.
"Tadi siang onty tanya ke Lala, Lala sakit apa? Terus Lala jawab, Lala takut bunda pergi soalnya habis di marah-marah sama ayah, jadinya Lala demam"
Ku hirup napas setenang mungkin. Benar dugaanku, perdebatanku dengan mas Bima berakibat buruk pada kesehatan Lala.
"Onty nanya lagi. Memangnya ayah marah kenapa?"
"Terus Lala jawab apa?" Tanyaku ingin tahu. Merasa aku begitu penasaran, tiba-tiba sepintas aku teringat ucapan mas Bima kala dulu.
Wanita ... kalau sudah di rundung rasa penasaran, tak akan pernah berhenti bertanya untuk mencari tahu sampai rasa penasarannya benar-benar terjawab, meski dia sendiri tahu kalau resikonya akan bisa membuat hatinya merasa sakit.
Benar sekali penggalan kalimat mas Bima, dulu dia pernah menyindirku karena ingin tahu tentang isi hatinya, aku yang penasaran dengan perasaannya, memberanikan diri untuk bertanya apakah dia mencintaiku atau tidak. Dan mas Bima tak pernah memberikan jawaban atas pertanyaanku itu.
"Lala jawab kalau bunda pergi pas ayah lagi ngomong"
"Onty ngomong apa lagi?" tanyaku pura-pura polos.
"Onty Gesya bilang ke Lala, kalau bunda pergi ya udah biarin aja, suruh pergi aja"
Astaga Gesya, secara tidak langsung dia sudah meracuni otak Lala.
Tahu-tahu Lala menghentikan aksinya mewarnai gambar, lalu duduk di pangkuanku menghadap padaku.
"Onty Gesya juga bilang, kalau bunda pergi, nanti onty gantiin bunda jadi bundanya Lala, tapi Lala nggak mau ganti bunda, Lala mau bunda Arimbi terus jadi bundanya Lala"
Aku menelan ludahku dengan setengah mati, tak menyangka jika Lala benar-benar takut kehilanganku.
Seharusnya mas Bima mempertimbangkan perasaan Lala dan menurunkan egonya untuk menerimaku menjadi bagian dari hidupnya.
"Bunda akan terus menjadi bundanya Lala" Aku berusaha menepis ketakutan Lala. "Bunda nggak akan pergi ninggalin Lala, ingat janji bunda ya?"
Lala mengangguk dengan fokus kelam menatapku. Sepasang netranya bergerak mengikuti gerakan bola mataku dengan penuh tajam. Setajam kilat milik mas Bima ketika mengintimidasiku.
"Bunda sayang Lala"
Aku hanya bisa membatin dengan tatapan penuh pada manik hitam Lala.
"Ayah cium bunda nak, tapi nggak di depan Lala, soalnya ayah ciumnya pas Lala lagi bobo"
Mata Lala seperti mencari kesungguhan lewat sorot mataku atas perkataanku.
"Iyakah?"
"Hmm" Aku mengangguk sekaligus tersenyum.
"Beneran ayah cium bunda pas Lala lagi bobo?"
Kedua kalinya aku mengangguk. "Sebelum bobo ayah cium-cium Lala kan kalau Lala pamit mau bobo?"
"Eung" angguknya mantap.
"Bunda juga kalau habis nidurin Lala, bunda pamit ke ayah mau bobo, terus ayah cium kening bunda sama kaya ayah cium Lala"
"Berarti ayah sayang bunda dong"
"Iya dong"
"Tapi kenapa nggak di depan Lala ciumnya"
"Anak kecil kan nggak boleh lihat orang dewasa cium-cium. Kayak Lala yang nggak boleh lihat filmnya orang-orang dewasa sama ayah, iya kan? Ayah marah kalau Lala nonton filmnya bunda, ayah cuma ijinin Lala lihat kartun kan?"
"Iya"
"Nah, makannya ayah nggak mau Lala lihat ayah sama bunda cium-ciuman"
Lala langsung memelukku dan menempelkan salah satu sisi wajahnya di dadaku.
"Besok Lala mau kasih tahu Yesika kalau ayah sama bundanya Lala juga cium-ciuman, tapi pas Lala bobo"
Apa yang sudah ku katakan pada anak sepolos ini?
Aku mengusap punggung Lala dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku mendarat di belakang kepala Lala.
Andai mas yang mendapat pengaduan itu, apa yang akan mas katakan pada putri mas ini?
Tiba-tiba ku dengar suara ponsel berbunyi. Secara otomatis pelukan kami terurai.
Aku dan Lala kompak mengarahkan atensinya pada benda tipis milikku. Muncul nama mas Bima di layar yang tengah berkedip dalam panggilan Video call.
"Ayah telfon, nak" kataku sambil mengulurkan tangan untuk menjangkau ponselku.
Aku menggeser ikon hijau kemudian meminta Lala bicara pada ayahnya.
"Assalamu'alaikum, ayah"
Lala yang masih duduk di atas pangkuanku dan menghadapku, memegang ponsel dan mengarahkan layar ke wajah Lala. Sementara aku belum tahu seperti apa ekspresi mas Bima saat ini.
"Wa'alaikumsalam. Lala lagi ngapain?"
"Mewarnai" jawab Lala singkat.
"Bunda di mana?"
"Di depan Lala"
"Lagi apa" tanya mas Bima.
"Lagi pangku Lala"
"Udah gede kok di pangku-pangku, tadi katanya lagi mewarnai"
"Mewarnainya berhenti dulu yah"
"Ooh"
Kemudian hening hingga beberapa detik.
"Sudah makan?" tanya mas Bima memecah keheningan.
"Sudah"
"Pakai apa?"
"Pakai sayur brokoli sama ikan tuna, terus bunda goreng tempe sama tahu"
"Wah, enak dong. Ada habis banyak?"
"Ada"
"Anak pintar" puji mas Bima.
"Soalnya kan masakan bunda enak, ayah juga pernah bilang kan, pas ayah antar Lala ke sekolah dulu-dulu, kalau masakan bunda enak kayak masakan oma"
Mendengar ucapan Lala, aku merasa tersanjung, mas Bima memuji masakanku?
Benarkah, dia mengatakannya pada Lala?
"Ayah lagi apa?"
"Ayah lagi telfon Lala"
"Lala duduk sini dulu ya, bunda mau ngecek pintu sudah di kunci atau belum, sekalian bunda tutup korden" Aku menyela obrolan mereka dengan berbisik sembari mengangkat tubuh mungil Lala dan memindahkannya ke atas sofa.
"Iya" Jawab Lala.
"Iya apa La?" Sepertinya mas Bima memang sudah membiasakan diri panggil putrinya sama seperti aku memanggil dengan sebutan Lala.
"Lagi ngomong sama bunda yah"
"Memangnya bunda ngomong apa?" tanya mas Bima yang masih bisa ku dengar.
Aku sengaja menghentikan langkahku saat mas Bima menanyakan itu.
"Bunda mau ngecek pintu sama nutup korden, yah"
"Oh"
Mendengar balasan singkat mas Bima, aku kembali melanjutkan langkah yang ku tujukan ke arah ruang tamu.
Saat aku kembali ke ruang tengah, Lala langsung bersuara "Bunda ayah mau ngomong" Gadis kecil itu menyodorkan ponsel padaku.
Aku menerimanya. Sebelum mengarahkan layar ponsel ke hadapan wajahku, aku menarik napas panjang untuk menormalkan ekspresiku, sebab di dalam sana jantungku mendadak bertalu-talu.
"Assalamu'alaikum" Aku menatap wajah mas Bima sesaat, kemudian mengalihkannya pada kuku-kuku di jari tanganku.
"Wa'alaikumsalam. Sudah di kunci dengan benar pintunya?"
"Sudah" jawabku singkat.
Aku diam, masih tak berani mempertemukan pandangan. Meski hanya lewat telfon, tapi tetap saja aku kikuk begini.
"Jangan terlalu dingin ACnya di kamar Lala, nanti"
"Iya"
"Aku kok berasa ngomong sendiri si, Bi?" ketus mas Bima. Sementara aku langsung mengangkat kepala untuk menatapnya.
"Kamu kalau di ajak ngomong tatap lawan bicaranya, jangan menunduk begitu! Hargai seseorang yang sedang bicara denganmu" Seruan mas Bima langsung di protes oleh putrinya.
"Ayah jangan marahin bunda, ayah pelan-pelan ngomongnya!"
"Bundanya ngeselin, La"
"Tapi ayah tetap nggak boleh marah sama bunda!"
"Iya-iya maafin ayah ya!"
"Minta maafnya ke bunda, bukan ke Lala"
Anak dan ayah ini berdebat tanpa saling tahu ekspresi wajah masing-masing.
"Maafin ayah ya bun!"
Mendengar kalimat mas Bima, sungguh tubuhku bergetar dan lemas secara bersamaan.
"Bun, maafin ayah ya!" ulang mas Bima.
"I-iya"
Aku yakin mas Bima menyadari reaksiku yang salah tingkah, dia bahkan tersenyum di balik bungkaman tangannya.
Meski aku tidak tahu, tapi matanya yang menyipit jelas menandakan kalau pria itu tengah tersenyum mengejekku.
Aahh... Benar-benar kurang ajar memang, aku ini.
"Kenapa wajahmu merah begitu?"
"W-wajahku merah?" tanyaku balik.
"Selain merah juga masam begitu, kamu ada masalah?"
"E-nggak ada" elakku gugup. "Mas sudah makan?" tambahku bertanya untuk mengalihkan topik.
"Kamu pikir aku nggak tahu maksud wajah dan sorot matamu itu?" bukannya menjawab, mas Bima malah kembali ke topik utama. Nadanya terdengar rendah, tapi penuh penekanan. "Aku tahu kapan kamu senang, kapan kamu kesal, dan saat kamu sedang cemburu, kamu nggak akan bisa menghindariku, Arimbi"
"Aku nggak apa-apa kok"
Kembali hening... Mata kami lekat saling menatap.
Beberapa saat kemudian, mas Bima kembali berucap.
"Ngobrol apa tadi sama Lala?"
"Hah?" Aku terkejut.
Kenapa mas Bima tanya seperti itu? Aah jangan-jangan dia tahu aku suka mengobservasi Lala.
"Ngomongin soal Gesya?" tanyanya lagi ketika aku tak kunjung bersuara.
"Tadi Lala cuma crita sedikit kalau ontynya datang ke sekolah"
"Kamu tahu kalau di saat yang bersamaan aku juga ke sekolah Lala?"
Tak ada pilihan lain, akupun mengangguk.
"Kalau kamu ingin tahu, tanyakan padaku, jangan buru-buru berprasangka" Ucap mas Bima sesaat setelah aku menganggukkan kepala.
"Katakan apa yang mengusik hatimu, jangan menyimpannya sendiri yang justru akan menyiksa dirimu, ngerti?"
Aku menghirup udara kemudian mendesah dengan agak sedikit kasar, sementara mas Bima menyadari helaan nafasku.
"Jelaskan semuanya saat aku pulang nanti, ku beri waktu dua bulan untuk kamu mengatakan apa yang kamu suka dan kamu benci"
Aku hanya bergeming menatap dagu mas Bima.
"Istirahatlah, aku telfon lagi besok malam"
"Iya"
"Berikan ponselnya ke Lala sebentar"
"La, ayah mau bicara" Aku menyerahkan ponsel ke tangan Lala.
"Halo, yah?"
"Ayah mau makan nak, Lala bobo ya, telfonnya ayah tutup"
"Iya, ayah!"
"I miss you sayangnya ayah"
"I miss you too ayah. Ayah kangen juga sama bunda?"
Jantungku jedag-jedug di dalam sana menunggu jawaban mas Bima.
"Hmm" Jawabnya singkat.
"Bun, ayah kangen sama bunda katanya, bunda kangen juga sama ayah?" tanya Lala menatapku.
Aku mengangguk.
"Bunda juga kangen sama ayah"
"Ya sudah, sekarang bobo yah, ayah sayang Lala. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam. Da~da ayah"
"Dada Lala, ayah matiin ya!"
"Iya"
Sambungan di putus oleh mas Bima.
Jantungku masih berirama tak jelas di dalam sana, membuatku merasa sangat tidak nyaman.
Andai mas Bima benar-benar merindukanku.
Mengatupkan bibir, aku langsung mengajak Lala untuk mengemasi buku-bukunya dan mengajaknya gosok gigi.
Bersambung
Semangat berkarya