✰REKOMENDASI CERITA INTROSPEKSI✰
"Hati yang Terluka, Jiwa yang Kuat" adalah sebuah kisah mendalam dan emosional tentang kekuatan dan ketahanan di tengah badai kehidupan. Di tengah konflik pernikahan yang menghancurkan, Lula berjuang untuk menemukan kekuatan baru setelah dikhianati oleh suami dan sahabatnya.
Di sisi lain, putrinya, Puja, berhadapan dengan tekanan di sekolah, menghadapi dinamika persahabatan yang rumit, dan berjuang untuk mempertahankan integritasnya dalam dunia yang penuh dengan pengkhianatan. Dengan keberanian dan tekad yang kuat, Lula dan Puja menghadapi tantangan besar, saling mendukung dalam perjalanan mereka menuju penemuan diri dan keadilan.
Temukan kekuatan hati yang tulus dan hubungan yang menginspirasi dalam cerita ini, di mana setiap langkah mereka menuju kebahagiaan dan kebenaran adalah perjuangan yang layak diikuti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Detia Fazrin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semua Lebih Baik
...»»————> Perhatian<————««...
...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apa pun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....
...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...
Sore hari itu, Puja duduk di meja belajar nya melihat layar ponsel sambil tersenyum lebar, dia merasakan kebahagiaan yang tak terkira. Setelah sekian lama menghadapi tuduhan yang tidak berdasar, akhirnya satu per satu temannya mulai kembali mendukungnya. Mereka mengakui kesalahan mereka telah terburu-buru menilai.
Grup Kelas:
Sarah: Hai semuanya, aku mau minta maaf sama Puja. Setelah kita semua tahu yang sebenarnya, aku sadar kalau kita sudah salah menuduh dia.
Rani: Iya, Puja. Maafin aku juga ya. Aku nggak seharusnya ikut-ikutan tanpa tahu kebenarannya.
Andi: Puja, maafkan aku. Aku benar-benar menyesal sudah meragukan mu. Aku harap kita bisa kembali seperti dulu.
Puja: Terima kasih, teman-teman. Aku maafin kalian semua. Aku senang kita bisa kembali akrab.
Lina: Kami mendukungmu, Puja. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita ke kita ya.
Bima: Betul. Kita harus tetap kompak dan saling mendukung.
Grup OSIS:
Ketua OSIS (Rizky): Hai semua, kita sudah salah paham tentang Puja. Kita harus minta maaf dan dukung dia lagi.
Sekretaris (Siti): Setuju. Puja, aku minta maaf atas semua tuduhan yang nggak benar itu. Kamu orang yang baik dan aku salah menilai mu.
Bendahara (Dina): Puja, maafkan aku juga ya. Aku harap kita bisa bekerja sama dengan lebih baik lagi ke depannya.
Puja: Terima kasih banyak atas dukungannya. Aku maafin kalian semua. Semoga kita bisa terus bekerjasama dengan baik.
Anggota OSIS : Puja, kita semua di sini buat kamu. Jangan ragu untuk minta bantuan kalau butuh.
Komentar di Media Sosial:
Sarah: Puja, maafkan aku atas semua kata-kata kasar. Aku salah telah menuduh mu. Kamu teman yang baik.
Rani: Maafkan aku juga ya, Puja. Aku seharusnya tahu lebih baik. Kamu nggak bersalah.
Andi: Puja, aku benar-benar minta maaf. Aku harap kita bisa memperbaiki hubungan kita.
Lina: Aku dukung kamu, Puja. Maafkan semua kesalahpahaman ini.
Bima: Maaf, Puja. Kita semua belajar dari kesalahan ini. Tetap semangat ya!
Tiara: Puja, aku juga minta maaf. Aku tahu sekarang kalau kamu nggak bersalah. Terima kasih sudah memaafkan kita semua.
Begitu dengan Tiara, sahabatnya yang sempat ragu, juga akhirnya mengirimkan pesan. Dalam pesannya, Tiara menulis, "Puja, aku minta maaf karena tidak mempercayaimu. Aku seharusnya lebih memahami bahwa kamu tidak mungkin melakukan hal-hal yang dituduhkan itu."
Puja tersenyum membaca pesan tersebut. Beban di hatinya perlahan terangkat.
Dia membalas pesan Tiara dengan penuh kehangatan, "Terima kasih, Tiara. Aku sangat menghargai permintaan maafmu. Aku tahu kita semua pernah membuat kesalahan. Yang penting, kita bisa belajar dan tumbuh dari sini."
Saat itu juga, Puja mendengar suara pintu depan terbuka. Dia bergegas menyambut ibunya yang baru saja pulang kerja.
Wajah ibunya terlihat sangat lelah, lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas terlihat.
Puja dengan cepat mengambil tas kerja ibunya dan berkata, "Ibu, duduk dulu. Aku akan membuatkan teh untukmu."
Ibunya tersenyum lemah namun penuh kasih. "Terima kasih, sayang. Ibu sangat lelah hari ini."
Puja segera menuju dapur dan menyiapkan secangkir teh hangat. Tidak lama kemudian, dia kembali dengan membawa teh dan menyodorkannya kepada ibunya.
"Ini, Bu. Teh hangat untuk menghilangkan lelah."Ibunya meminum teh tersebut dengan penuh syukur, merasakan kehangatan yang meresap hingga ke hati.
"Kamu memang anak yang sangat perhatian, Puja. Ibu bangga padamu."Puja duduk di samping ibunya, merasa bahagia bisa sedikit meringankan beban ibunya.
"Aku juga bangga punya ibu seperti Ibu. Kita akan selalu saling mendukung, kan?"Ibunya mengangguk dan menggenggam tangan Puja.
"Tentu, sayang. Kita akan selalu bersama-sama menghadapi apapun yang terjadi."
...***...
Sementara itu, di tempat lain, Rina memantau perkembangan di media sosial. Alih-alih merasa puas, kemarahan justru semakin membakar hatinya. Dia berpikir semua ini akan bertahan lama dan menghancurkan Puja seperti yang dia harapkan, tetapi kenyataannya berbalik 180 derajat.
Rina merasa marah dan kacau. Dengan penuh amarah, dia beranjak dari kursinya dan keluar dari kamar. Di lorong rumah, dia bertemu dengan Ayu, seorang teman yang kini sering dia ajak bersekongkol.
Rina tertawa dingin melihat Ayu."Ayu, aku punya rencana baru. Aku butuh kamu untuk melakukannya," kata Rina dengan nada perintah.
Namun, Ayu menolak dengan tegas. "Tidak, Rina. Aku sudah cukup dengan semua ini. Kenapa kamu ingin menghancurkan Puja? Siapa sebenarnya Puja itu bagimu?"
Rina terdiam sejenak, kemudian dengan suara rendah dan penuh kebencian, dia berkata, "Puja adalah anak tiriku. Aku tidak akan menjelaskan lebih lanjut, dan kamu sebaiknya tidak pernah bertanya lagi."
Ayu terkejut mendengar penuturan itu. "Anak tirimu? Kenapa kamu membenci anak tirimu sendiri?"Rina menatap Ayu dengan tajam.
"Itu bukan urusanmu. Yang perlu kamu tahu, aku akan menghancurkan hidupnya. Sekarang, jika kamu tidak mau membantu, sebaiknya kamu pergi."Ayu merasa takut dan bingung.
"Apa pergi? Ini rumah ku, kau yang seharusnya pergi!" Ayu menggelengkan kepalanya tidak paham dengan perintah nya yang jelas-jelas Rina hanya menumpang di rumah nya.
Dia juga tahu bahwa terus terlibat hanya akan membawa masalah lebih besar. "Aku tidak akan membantumu lagi, Rina. Aku sudah cukup. Aku harap kamu bisa menemukan kedamaian dan melepaskan semua kebencian ini."
Rina hanya mendengus sinis. "Kedamaian? Itu bukan untukku."
"Iya Rina, kamu sekarang itu berubah tak seperti malaikat!"
Setelah Ayu mengatakan hal itu dirinya pun berbalik arah ke kamar nya dengan cepat. Tapi, kini dia tidak mengerti kenapa Rina begitu membenci Puja.
...***...
Ayu kembali ke kamarnya dengan perasaan campur aduk. Dia merasa lega telah menolak permintaan Rina, tetapi kekhawatiran dan ketakutan masih menghantuinya. Tidak ingin hidupnya terus-menerus terganggu, Ayu segera mengambil ponselnya dan menghubungi Pratama.
"Ayu? Ada apa?" suara Pratama terdengar khawatir di seberang sana.
"Kak Pratama, aku butuh bantuanmu," kata Ayu dengan suara tegas namun penuh kegelisahan.
"Aku tidak tahan lagi ada Rina, istrimu yang tinggal di rumah ini. Rina terus menggangguku, menyuruh ini dan itu. Aku tidak bisa fokus belajar, dan aku merasa seperti pembantu di rumah sendiri, terutama saat ibu tidak ada."
Pratama mendengarkan dengan serius. "Ayu, tenang dulu. Ceritakan semuanya dengan jelas."
Ayu menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Sejak Rina ada di rumah, ketenanganku hilang. Dia selalu memerintahku melakukan berbagai hal, dan jika ibu tidak ada, aku diperlakukan seperti pembantu. Sekarang dia ingin aku membantunya menghancurkan Puja. "
"Apa? Apa kamu bilang Puja?" tanya Pratama terkejut mendengar nama anaknya.
Ayu terdiam, dia seharusnya tidak menceritakan hal itu. "Ah kenapa bisa aku keceplosan?" gumam di dalam hati Ayu.