keinginannya untuk tidak masuk pesantren malah membuatnya terjebak begitu dalam dengan pesantren.
Namanya Mazaya Farha Kaina, biasa dipanggil Aza, anak dari seorang ustad. orang tuanya berniat mengirimnya ke pesantren milik sang kakek.
karena tidak tertarik masuk pesantren, ia memutuskan untuk kabur, tapi malah mempertemukannya dengan Gus Zidan dan membuatnya terjebak ke dalam pesantren karena sebuah pernikahan yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Hukuman baru untuk Aza
Aza keluar dari kelas dengan langkah yang cepat, hatinya masih dipenuhi rasa kesal dan jengkel. Ia tidak mengerti mengapa santri-santri lain begitu terpesona dengan Gus Zidan, seolah dia bukan suaminya, melainkan seorang selebriti.
“Pantas saja dia seneng banget masuk kelas,” gumam Aza pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan hatinya.
Aza terus menggerutu sepanjang lorong hingga seorang santri menghampirinya,
“Permisi, Aza.” kata santri itu, bernama Nida, dengan wajah serius. “Ada yang memanggilmu ke ruang pengurus.”
Aza mengerutkan kening, rasa penasaran mengalahkan kekesalannya. “Untuk apa?” tanyanya, mencoba mengabaikan ketegangan yang terasa di dadanya.
“Nggak tahu, tapi sepertinya ada urusan penting,” jawab Nida, menyusutkan keringat di dahi. “Aku rasa lebih baik kamu cepat ke sana. Mereka menunggumu.”
Tanpa menjawab lebih banyak, Aza mengangguk pelan dan melangkah menuju ruang pengurus. Setiap langkah terasa berat, pikirannya berputar tentang kemungkinan apa yang bisa terjadi. Apakah ini tentang pelajaran? Atau mungkin ada yang mengadukan tentang sikapku di kelas?
Setibanya di depan pintu ruang pengurus, Aza mengambil napas dalam-dalam sebelum mengetuk.
"Assalamualaikum, saya aza."
“Waalaikum salam, Masuk,” terdengar suara dari dalam.
Aza membuka pintu dan melangkah masuk. Di dalam, ada beberapa pengurus pesantren yang sedang berkumpul, termasuk Ustad Ridwan yang tampak kembali setelah mengajar di kelas.
“Selamat datang, Aza,” sapa Ustadzah Hana. “Kami ingin membicarakan beberapa hal denganmu.”
Aza menatap mereka kemudian terpusat pada salah satu santri tang juga berada di ruangan itu,
Mbak Parah di panggil juga? Gumamnya dalam hati.
Aza mulai merasa tidak nyaman. “Ada apa, ustadzah?” tanyanya, berusaha terdengar tenang meskipun detak jantungnya berdebar.
Kini gantian Ustad Ridwan menatapnya serius. “Kami mendengar kamu sempat mengajukan izin untuk keluar beberapa waktu lalu. Apa itu benar?"
Aza mengangguk. “Iya, saya memang mengajukannya, apa ada masalah?” kemudian Aza melirik ke arah Farah yang tersenyum dengan penuh rasa puas.
Ahhh, ini pasti ulahnya lagi. Benar-benar nggak capek ya dia..., batin Aza kesal.
Salah satu pengurus, Bu Amira, menambahkan, “Kami juga mendapat laporan dari santri lain. Beberapa dari mereka mengatakan kamu tampak tidak fokus di kelas.”
Kekesalan Aza kembali muncul. “Aku kan hanya tidur beberapa kali di kelas. Kenapa saya yang terus di salahkan, mereka yang lebih suka mengagumi Gus Zidan daripada belajar nggak di panggil.” ucapnya sembari melirik pada Farah yang berdiri di belakang meja besar yang ada di samping Aza.
Ustadzah Hana mengangguk paham merasa tidak enak hati. “Kami mengerti. Namun, tolong jaga sikapmu. Kami ingin lingkungan belajar di pesantren tetap kondusif.”
Aza menghela napas, menyadari bahwa apapun yang ia katakan, ia tidak akan pernah menang dalam perdebatan ini, “Baik, ustadzah. Saya akan berusaha lebih baik.”
Namun, saat ia keluar dari ruang pengurus, rasa kesal itu belum sepenuhnya hilang. “Ini semua karena si Parah,” pikirnya. “Dan sepertinya aku harus menemukan cara untuk menghadapinya dengan lebih baik.”
Apalagi saat melihat Farah, yang tampak duduk dengan wajah puas. Detik itu juga, Aza merasa bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan akan segera terjadi. Farah memang selalu mencari kesempatan untuk membuat hidupnya lebih sulit di pesantren.
"Farah, katanya ada yang ingin kamu bicarakan," kata Bu Amira dengan nada serius, memberi isyarat kepada Farah untuk berbicara.
Farah langsung angkat bicara, dengan nada yang terkesan penuh kemenangan. “Jadi, Bu Amira, Aza sudah beberapa kali melanggar aturan pesantren. Beberapa hari lalu, dia keluar dengan alasan ingin membeli obat, tapi saya tidak melihat obat apa pun saat dia kembali. Sepertinya, dia tidak benar-benar sakit."
Aza mendengus dalam hati, menahan diri untuk tidak membalas. Sementara itu, Farah melanjutkan laporannya dengan detail, menyoroti segala tindakan Aza yang dianggapnya sebagai pelanggaran, termasuk tidurnya pada jam-jam sibuk dan ketidakhadirannya dalam beberapa kegiatan wajib pesantren.
Dia benar-benar menjilat ...., gerutu Aza dalam hati.
Setelah mendengar laporan Farah, Bu Amira dan para pengurus lainnya saling bertukar pandang. “Aza, apa yang Farah katakan ini benar?” tanya Bu Amira dengan tegas, menatap Aza.
Aza mengangkat bahu dan menjawab dengan jujur, meskipun ada sedikit kekesalan di nadanya. “Ya, saya memang keluar waktu itu. Tapi kan saya juga kembali tepat waktu, Bu. Saya juga kelelahan gara-gara kebanyakan kena hukuman, makanya sempat tertidur di kelas. Saya tidak bermaksud melanggar aturan.”
Ustad Ridwan yang duduk di samping pengurus lainnya menghela napas pelan. “Aza, aturan tetap aturan. Kami tidak bisa membiarkan pelanggaran ini terus terjadi tanpa konsekuensi. Karena itulah kami sepakat untuk memberikan sanksi.”
Aza terdiam. Dia sudah menduga akan ada hukuman, tapi dia tak menyangka akan seserius ini.
Bu Amira melanjutkan, “Sebagai bentuk tanggung jawab atas pelanggaranmu, kami memutuskan untuk memberikan hukuman berupa pembuatan lima buah keranjang bambu selama satu minggu. Seperti yang kamu dan santri lain tahu, kerajinan keranjang bambu adalah salah satu produk unggulan pesantren ini. Jadi, kamu akan menghabiskan waktu di workshop untuk menyelesaikan tugas ini.”
Aza merasa dadanya sesak. “Lima keranjang bambu?” gumamnya dalam hati. Itu bukan pekerjaan yang mudah. Membuat satu keranjang saja sudah memerlukan waktu dan ketelitian, apalagi lima.
Namun, ia mencoba menenangkan diri dan menahan protes yang hampir keluar dari mulutnya. Sebaliknya, ia hanya mengangguk. “Baik, saya terima hukumannya, Bu.”
Farah tersenyum tipis, merasa puas melihat Aza mendapat hukuman yang berat. Aza hanya bisa menatapnya sekilas dengan mata tajam sebelum menunduk.
“Kalau begitu, mulai besok kamu bisa langsung ke workshop bambu untuk mulai bekerja,” lanjut Bu Amira. “Kami berharap ini bisa menjadi pelajaran bagi kamu untuk lebih disiplin ke depannya.”
Aza bangkit dari tempat duduknya, lalu berpamitan dengan pengurus sebelum keluar dari ruangan itu. Hatinya masih terasa berat. Ketika ia melangkah keluar, Farah menyusulnya, menyeringai penuh kemenangan.
“Selamat bekerja, Aza,” kata Farah dengan nada mengejek.
Aza memutar bola matanya, menahan amarah. "Ya, terima kasih atas laporannya," balasnya dingin. “Aku akan mengingatnya.”
Meskipun merasa frustrasi, Aza tahu dia harus menyelesaikan hukumannya. “Lima keranjang bambu... ya sudah, aku harus menyelesaikannya. Setidaknya aku punya sesuatu untuk menyibukkan diri,” pikir Aza sambil melangkah menuju kamarnya.
..."Jangan merasa puas dengan kesalahan orang lain karena belum tentu kamu tidak akan melakukan kesalahan yang sama, atau bahkan lebih," ~ Mazaya...
Bersambung
Happy reading
emak nya Farah siapa ya...🤔...
aku lupa🤦🏻♀️
yang sebelm nya ku baca ber ulang²....
hidayah lewat mz agus🤣🤣🤣🤣🤣🤣....
eh.... slah🤭.... mz Gus....😂😂😂
100 dst siapa ikut😂😂😂😂