Kiyai Aldan menatap tajam Agra dkk dan Adira dkk. Ruangan ini begitu sagat panas dan terasa sesak dengan aura yang dikeluarkan oleh kiyai Aldan.
“Sedang apa kalian di sana?” Tanyanya pelan namun dingin.
“Afwan kiyai, sepertinya kiyai salah paham atas…,” Agra menutup matanya saat kiyai Aldan kembali memotong ucapannya.
“Apa? Saya salah paham apa? Memangnya mata saya ini rabun? Jelas-jelas kalian itu sedang… astagfirullah.” Kiyai Aldan mengusap wajahnya dengan kasar. “Bisa-bisanya kalian ini… kalian bukan muhrim. Bagaimana jika orang lain yang melihat kalian seperti itu tadi ha? “
“Afwan kiyai.” Lirih mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MEREKA ITU KENAPA?
Adira, Almaira, Aruna dan Ayyara sepertinya benar-benar menepati janjinya untuk tidak melanggar aturan pondok dan juga membuat masalah. Walau belum cukup 24 jam itu sudah lebih baik.
Setelah piket di Ndalem, keempatnya langsung menuju ruang tamu dimana sudah ada umi Fitri yang duduk menunggu mereka. Ndalem sepi karena memang umi Fitri tak memiliki anak, dan hari ini kiyai Aldan jug tengah menghadiri kajian diluar pondok.
“Nah kalian ayok duduk di sini.” Kata umi Fitri menunjuk sofa yang kosong sabari tersenyum tipis.
“Na’am umi!”
Setelah mereka duduk dengan posisi Adira duduk bersama Almaira dan Ayyara di sofa panjang, lalu ada Aruna yang duduk disofa sebelah umi Fitri.
“Bagaimana tinggal dengan ustadz… mmm maksud umi tinggal bersama suami kalian? Enak? Nyaman? Atau bagaimana?” Cecar umi Fitri dengan antusias.
Keempat santriwati itu saling menatap setelah mendapat pertanyaan dari sosok yang mereka telah anggap seperti ibu sendiri.
“Aaaa, ya begitulah umi heheh.” Jawab Adira menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
“Begitu bagaimana? Kalian ini sudah hampir satu bulan menikah bukan?” Tanya umi Fitri lagi belum puas dengan jawaban aneh Adira. “Kalian ada yang mau ditanyakan tentang suami kalian itu?”
Umi Fitri tersenyum setelah melihat anggukan antusias dari satriwati yang selalu saja membuat suaminya terkadang pusing ini.
“Umi, mmm pekerjaan mereka itu bukan cuman hanya menjadi seorang pembina di sini ya? Soalnya mereka itu sering memakai setelan rapi lalu pergi.” Jelas Aruna menatap sepenuhnya kepada istri kiyai Aldan itu.
“Benar umi, jika ditanya ustadz Agra hanya bilang mengurus sesuatu diluar katanya.” Lanjut Adira seperti tengah mengadukan suaminya.
“Apakah uang jajan yang kita yang diberikan selama ini dari has…,”
“Hussttt! Ayyara, tidak boleh berprasangka buruk apa lagi sama suami sendiri.” Tegur umi Fitri membuat Ayyara menutup rapat mulutnya.
“Suami kalian itu, tapi umi cerita singkat ajah ya. selebihnya nanti tanyakan sendiri kepada masing-masing suami kalian.” Ucap umi Fitri. “Mereka itu bisa dibilang anak dari pengusaha, bisnis keluarga mereka sudah turun temurun. Dan mereka mengambil alih perusahaan dan bisnis keluarga mereka itu saat masih kuliah di Mesir.” Jelas umi Fitri.
“Abi Aldan juga tidak tahu jika anak didiknya itu anak dari pengusaha dan pembisnis yang cukup ternama, setelah mereka kembali dari Mesir, abi Aldan baru mengetahui saat orang tua dari Bima dan Abyan datang malam itu.”
“Suami kalian anak orang kaya, jadi kalian tidak usah khawatir tentang uang jajan yang diberikan oleh mereka.”
xxx
Adira menatap suaminya yang juga sedang menatap dirinya yang tengah duduk didepan dengan duduk sila, mereka baru saja selesai menunaikan shalat isya’ berjamaah.
“Kenapa?” Tanya Agra dengan kedua lengan baju kokohnya dilipat hingga batas sikunya memperlihatkan urat-urat tangan dan lengan itu tampak menonjol keluar membuat Adira kehilangan fokusnya.
“Apanya?” Tanya Adira kembali. Membuat Agra menghalah napas panjangnya.
“Kamu berubah.” Ucap Agra dengan wajah datarnya serta tatapan mata tajam itu tak pernah lepas dari Adira.
Adira memiringkan sedikit kepalanya, kedua alisnya terangkat karena tidak paham maksud dari ucapan Agra barusan.
“Berubah? Ustadz pikir aku siluman yang bisa berubah.” Sengit Adira menatap micing kepada suaminya yang baru saja mengatainya seperti itu.
Agra berpikir apakah perkataannya itu salah? Kalau pun salah, terus salahnya dimana?
“Bukan begitu Adira.” Kata Agra pelan. “Seharian ini kamu jadi… pendiam.” Agra menutup rapat mulutnya kembali saat melihat mata indah dan bulat istrinya itu menatap kepadanya dengan lekat.
“Pendiam? Aku?” Tanya Adira mendapat anggukan dari Agra. “Aku pendiam? Mana paten ustadz.” Lanjutnya dengan wajah pinta ditampol.
“Kamu lebih baik setiap hari seperti ini, ketimbang selalu saja mendapat hukuman.” Tutur Agra tenang.
Adira terdiam, sejujurnya ia juga lelah harus selalu mendapatkan hukuman dari berbagai pelanggaran yang ia lakukan bersama teman-temannya. Namun, merubah dan menahan diri agar tidak melanggar yang sudah mendarah daging itu begitu sulit dan godaannya begitu banyak.
Bahkan seharian tadi, mereka berusaha menahan diri agar tidak melanggar dan membuat diri mereka mendapatkan hukuman.
“Adira, coba menahan diri untuk tidak melanggar. Jangan terlalu lama menghabiskan waktu bermain sampai lupa dengan kewajiban kamu sebagai santri di sini yang sebentar lagi akan ujian dan juga jangan lupa, kewajiban kamu sebagai istri.” Jelas panjang lebar Agra.
Adira hanya diam, menikmati pemandangan wajah yang begitu hampir mendekati kata sempurna namun sayang, wajah itu terlalu dingin dan tatapan tajam selalu saja melekat diwajah suaminya itu. Namun, disisi lain ia bersyukur karena hanya dirinya saja yang bisa dan selalu menikmati wajah tampan itu.
“Mulai besok, belajar menjadi istri yang baik dan menjadi santriwati yang kalem tidak banyak tingkah. Jika saya dengar dan saya dapati kamu melanggar, maka hukuman kamu adalah…,”
“Apa ustadz?” Tanya Adira karena Agra menggantung ucapannya.
Agra maju, mendekatkan wajahnya kepada wajah istrinya. Dari sini Agra dapat mencium aroma tubuh istrinya yang selalu saja berhasil membuatnya candu, ia juga dapat merasakan jika istri kecilnya ini tengah menahan napasnya.
Agra mendekatkan bibirnya ketelinga Adira, lalu berbisik pelan hingga Adira mematung sampai tak sadar jika Agra sudah menjauh dari tubuhnya.
Agra tersenyum tipis, sebelum bangkit dari tempat duduknya ia mencolek hidung pesek milik Adira dan berkata. “Napas sayang.”
Asksksksk!!!
Adira semakin syok, jangan lupakan pipinya yang sedikit berisi itu sudah seperti kepiting rebus.
xxx
“Mau kemana?” Tanya Abyan setelah melihat Ayyara hendak pergi terbukti dari pakaian yang terlihat rapih dengan gamis biru tua dengan hijab besar yan menutupi dadanya berwarna hitam.
Ayyara menatap sengit Abyan, ia masih saja merasa kesal setiap kali mengingat Abyan, suaminya sendiri terkesan membela Gia malam itu. Harusnyakan suaminya itu membela dirinya bukan si nenek lampir itu!
“Main.” Jawaban singkat dan nada yang mungkin terdengar kesal dipendengaran Abyan membuatnya mengela napasnya.
“Masih marah?” Tanya Abyan masih duduk di kursi kayu yang biasa Ayyara tempati untuk belajar. Menatap istrinya yang berdiri didepan pintu kamar mereka.
“Ya pikir saja sendiri!” Jawab Ayyara dengan melipat kedua tangannya didadanya. Jangan lupakan tatapan kesalnya kepada Abyan.
“Saya sudah bilang, saya tidak membela Gia Ay. Say…,”
“Terserah ustadz deh! Intinya ustadz Abyan tetap membela si nenek lampir itu.” Sela Ayyara. “Bukannya bela istri sendiri, malah belain perempuan lain!” Lanjutnya.
“Bukan seperti itu Ayyara.” Abyan menghela napasnya pelan. Ia sedikit bingung bagaimana cara meredam amarah seorang perempuan, bagaimana ia harus membujuk istrinya ini pikir Abyan.
“Terserah, suka-suka ustadz Abyan.” Ayyara hendak menutup pintu namun tiba-tiba kembali menatap suaminya. “Aku pamit.” Ucapnya bersamaan dengan suara keras dari pintu yang ditutup dengan keras.
BLAM!
“Apakah dia cemburu? Tapi saya tidak membela Gia.” Lirih Abyan pelan.
xxx
Almaira sedari tadi menatap lelah ustadz Bima yang sibuk mencari pakaiannya hingga beberapa baju yang telah ia susun rapih menjadi berantakan karena tangan dari suaminya yang sangat sibuk itu.
“Ustadz Bima.” Panggil Almaira pelan. Sangat jengah dengan suaminya ini.
“Hm.” Jawab Bima tanpa melihat istrinya. Ia sibuk mencari pakaian yang akan ia gunakan.
Lagi, helaan napas Almaira terdengar kasar. “Ustadz Bima ini sebenarnya cari apa si? Lihat, semua berantakan padahal aku sudah lipat rapih semuanya loh.” Lanjutnya dengan kesal.
Bima menatap Almaira, menatap Almaira dengan lekat. “Loh, kamu belum ganti pakaian? Kita mau pergi loh sayang.”
Almaira masih saja merasa geli dengan panggilan Bima itu, namun sebisa mungkin ia harus terbiasa. “Mau kemana memangnya? Ini sudah malam ustadz.”
“Sudah, kamu cepat ganti pakaian. Ayok sana, nanti kamu juga tahu kita mau kemana.” Bima sedikit mendorong tubuh kecil istrinya agar segera berganti pakaian.
“Isss, mau kemana si ustadz? Nanti kalau santri liat kita berdua keluar bagaimana?” Tanya Almaira.
“Jangan banyak tanya Almaira, sudah, cepat sana berganti pakain.” Perintah Bima. Almaira tidak lagi melawan perkataan suaminya.
xxx
Abraham tak melepas tatapannya dari Aruna, mungkin saja giginya itu sudah kering sejak tadi karena tersenyum menatap Aruna yang sibuk melipat pakaian ditempat tidur sedangkan Abraham duduk disebelah Aruna.
“Kamu benaran berubah?” Tanya Abraham pelan. Bahkan menjadikan tangan kirinya menjadi tumpuan dikasur itu.
Aruna menghentikan kegiatan melipatnya, lalu menatap Abraham. “Jadi siluman?” Tanya Aruna kesal. “Ustadz Abraham sekali lagi masih tanya begitu, aku tipuk pakai ini…,” Aruna mengangkat hanger pakain itu kedepan Abraham.
“Hahah, saya cuman merasa senang Aruna. Bukankah ini kabar yang baik, atau haruskah kita merayakannya?” Tanya Abraham.
Lagi-lagi Aruna mengambil napas kasar, ia harus bagaimana menghadapi suaminya ini. “Merayakan apa si ustadz?”
“Ya merayakan karena kamu jadi kalem seperti ini.” Jawab Abraham masih mempertahankan senyumnya.
“Terserah deh ustadz.” Pasrah Aruna lanjut melipat pakaiannya.
Abraham bangkit dari kasur, lalu berdiri dengan tegak. “Ayok kita besok jalan-jalan, atau kamu mau sesuatu? Mau apa? Bilang saja, saya akan menuruti semua kemauan kamu.”
Aruna memindahkan pakaian yang telah dilipatnya itu kedalam lemari, sedangkan Abraham terus saja mengekori istrinya.
“Ckkk, bisa diam tidak ustadz!” Aruna mulai jengah sendiri. “Duduk di sana, atau tidak, sana keluar ajah!”
Abraham mendadak diam, bak anak kucing yang menurut pada induknya. Ustadz muda itu menuruti pekataan istrinya, ia mulai duduk diam ditepi tempat tidur menunggu kegiatan Aruna selesai.
“Cantik banget istri saya.”
semangat 💪👍