"Kisah cinta di antara rentetan kasus pembunuhan."
Sebelum Mekdi bertemu dengan seorang gadis bercadar yang bernama Aghnia Humaira, ada kasus pembunuhan yang membuat mereka akhirnya saling bertemu hingga saling jatuh cinta, namun ada hati yang harus dipatahkan, dan ada dilema yang harus diputuskan.
Mekdi saat itu bertugas menyelidiki kasus pembunuhan seorang pria kaya bernama Arfan Dinata. Ia menemukan sebuah buku lama di gudang rumah mewah tempat kediaman Bapak Arfan. Buku itu berisi tentang perjalanan kisah cinta pertama Bapak Arfan.
Semakin jauh Mekdi membaca buku yang ia temukan, semakin terasa kecocokan kisah di dalam buku itu dengan kejanggalan yang ia temukan di tempat kejadian perkara.
Mekdi mulai meyakini bahwa pembunuh Bapak Arfan Dinata ada kaitannya dengan masa lalu Pria kaya raya itu sendiri.
Penyelidikan di lakukan berdasarkan buku yang ditemukan hingga akhirnya Mekdi bertemu dengan Aghnia. Dan ternyata Aghnia ialah bagian dari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter Kesebelas Buku Itu
Semenjak malam itu, setiap pulang dari tempat berkerja, aku selalu menyempatkan diri untuk menghubungi Rani lewat Wartel. Namun, nomor Rani benar-benar sudah tidak pernah aktif lagi. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Yang terniat di dalam hatiku saat itu hanya ingin cepat pulang ke kampung untuk menemui Rani.
Cita-citaku yang telah berantakan, ditambah dengan Rani yang tiba-tiba menghilang, membuatku kehilangan semangat untuk terus bertahan di kota Pekanbaru. Rani yang selama ini menjadi penyemangat hidupku, tak lagi kutahu bagaimana kabarnya. Rinduku terhadapnya sudah tak mampu lagi ku bendung. Perasaan ini telah dirasuki rasa kekhawatiran akan kehilangan Rani.
Sebulan setelah malam awal aku mencoba menghubungi Rani, aku memutuskan untuk pulang ke kampung. Ruko yang kubangun bersama Bapak Tukang telah selesai. Aku yang telah berjanji dalam hatiku untuk membantu pekerjaan Bapak tukang yang baik itu sampai usai, akhirnya bisa menepati janjiku itu, meskipun pikiranku sudah tak lagi ada di tempat itu.
Seiringan angin yang terus berhembus di sela-sela jendela Bus antar kota, pikiranku terus terpaut pada gadis yang kucinta. Walau waktu terus melaju bersamaan dengan putaran roda Bus, tapi ingatanku kepada Rani tak pernah pupus. Meskipun malam telah menjelang di tengah perjalanan panjang menuju kota Padang, mata ini tak kunjung bisa terpejam. Wajah Rani selalu tersenyum di ruang mataku, dan terus mengulik pemikiranku.
Jalanan yang berliku terus terlewati, mendaki dan menuruni lereng-lereng gunung yang tinggi. Roda bus yang terus berputar menyusup kegelapan malam, membuat jarakku dengan kota Pekanbaru semakin jauh. Dan di saat pagi telah datang membawa penerang, aku telah memasuki Kota Padang.
Kampung yang ku tuju telah semakin dekat. Hanya empat jam perjalanan dari kota padang, aku akan sampai di kampungku. Hatiku sangat senang saat itu. Niatku untuk menemui Rani akan segera terpenuhi. Saat matahari hampir meninggi, akhirnya aku sampai jua di kampungku yang telah hampir delapan bulan ku tinggalkan.
Aku segera mengayunkan kakiku melangkah menuju rumahku yang hanya berjarak dua puluh meter dari jalan raya tempat aku diturunkan. Ku cari Ayah dan Ibuku yang juga sangat ku rindu selama ada di Kota Pekanbaru. Tak terasa, sebutir air mataku jatuh melihat keadaan mereka yang tak seperti terakhir aku melihatnya.
Mereka berdua tampak kurus dengan kulit yang sama-sama telah legam oleh terik matahari. Kerutan di wajah mereka mulai terlihat dengan urat yang nampak menonjol di dekat dahi. Dan helaian uban mulai tampak memutih di rambut Ayah dan Ibuku.
“Apa kabarmu Nak?” tanya Ibuku sambil mengulum senyum di bibirnya yang tampak kering.
“Baik Bu!” jawabku menyalami tangannya yang mulai menampakan urat-urat kasar. Begitupun dengan tangan Ayahku yang ku bawa ke keningku, sudah tak berisi seperti dulu lagi.
“Kamu tampak hitam sekarang Fan! Kerja apa di sana?” tanya Ayahku yang ternyata juga menyadari perubahan pada diriku.
“Jadi Kuli Yah,” jawabku tersenyum simpul.
“Kalau mau jadi Kuli mending di kampung saja sama Ayah, hehehe,” ucap Ayahku sedikit tertawa. Walau tubuhnya telah berubah, namun tawa singkat beliau masih segaring dulu.
“Sudah kucoba bawa ijazah ke mana-mana tapi tidak ada satupun yang menerimaku. Daripada tidak punya uang, terpaksa lah Yah kerja jadi..,
“Mandi dulu sana Nak! Biar badanmu segar. Nanti saja bicaranya,” potong Ibuku melepaskan tas sandang yang masih bergantung di punggungku. “Kamu sudah makan Nak?” imbuh Beliau.
“Belum,” jawabku menggeleng.
“Mandi dulu, setelah itu makan dan istirahat! Ibu dan Ayah mau ke ladang,” saran Ibuku lagi sambil membawa tasku ke dalam kamarku.
“Nanam apa di ladang Bu?” tanyaku mengikuti Ibuku.
“Jagung Nak, baru mulai berbuah,” jawab Ibuku tersenyum. “O iya Nak! sebulan yang lalu, ada temanmu ke sini. Dia menanyakan kamu Nak!
“Siapa Bu?
“Katanya, kalau tidak salah namanya Vika!” jelas Ibuku meletakan tasku di atas kasurku yang masih tampak rapi seperti dulu.
“Vika?” tanyaku tak menyangka.
“Iya Nak, nama gadis itu Vika. Orangnya manis! Apalagi kalau tersenyum, tambah manis!” jelas Ibuku tampak senang. “Dia suka sama kamu ya?” imbuh Ibuku dengan tatapan sedikit curiga.
“Apa katanya Bu?” tanyaku lagi.
“Dia minta nomor Hpmu yang baru. Katanya nomor Hpmu yang lama tidak bisa di hubungi. Ibu mana tahu nomor Hpmu yang baru Nak! Kamu tidak pernah nelpon ke Hp Ayahmu. Di saat Ayahmu mencoba menelpon nomormu yang lama, memang tidak pernah aktif lagi,” urai Ibuku mengeluh.
“Hpku hilang Bu,” ungkapku lesu, duduk di tepi ranjang.
“Hilang Nak?
Aku mengangguk, “iya Bu.
“Kok bisa?” Ibuku duduk di sampingku. Wajah beliau tampak prihatin.
“Di copet waktu di Bis kota,” jawabku pelan.
“Bukan rejeki kita itu Nak! Biarlah, ikhlaskan saja,” ucap Ibuku tersenyum sambil mengelus punggungku. Wanita yang telah melahirkanku itu memang selalu bisa tabah dalam musibah apapun. ”Ya sudah, mandi sana! Ibu mau bantu Ayah. Jangan lupa makan!” tandas beliau lalu pergi meninggalkan kamarku.
Ku baringkan tubuhku di atas kasur, mengingat-ingat wajah Vika. Orang yang telah lama hilang dari benakku, kembali terpikir olehku di hari itu. Meskipun nama Vika tidak pernah ku simpan dalam hatiku, namun ia juga pernah mengisi hari-hariku sebelum aku mengenal Rani. Aku masih ingin tahu bagaimana keadaan dia, dan ayahnya yang dulu sakit.
Namun di saat itu, selintas bayangan Rani juga hadir kembali di ruang mataku yang sudah hampir terpejam karena belum tidur sedikitpun sejak perjalananku dari Pekanbaru. Vika yang tadinya membayang di ruang gelap pejamanku, berganti dengan wajah Rani yang tersenyum kepadaku.
Segera kubangkit, berlari menuju dapur rumahku, di mana dulu sepeda motor Ayahku selalu di letakkan di sana. Ku perhatikan setiap sudut dapur rumahku yang hampir sama besar dengan ruang tamu, namun hanya ada perabotan dapur, kompor minyak, dan beberapa alat untuk memasak, sedangkan astrea milik Ayahku tidak ada lagi di tempat itu.
“Ayahku benar-benar sudah menjual motor itu,” keluhku beranjak dari dapur.
Aku berjalan menuju teras rumahku sambil memikirkan bagaimana caraku menemui Rani saat itu. Kendaraan satu-satunya yang ada di rumahku sudah tidak terlihat lagi.
“Mungkin Andra bisa mengantarku?” pikirku saat itu tak sengaja melihat motor Andra yang ada di teras rumahnya.
Aku segera berjalan menuju rumah Andra yang ada di samping rumahku. Motor astrea model baru yang terpakir di teras rumah Andra menarik perhatianku. Keluarga Andra termasuk orang yang berada di kampungku. Ayahnya yang berprofesi sebagai Kepala Desa, juga memiliki tanah yang cukup luas di kampungku itu. Sedangkan hidupku yang dulu bisa dikatakan setara dengan kehidupan Andra, kini telah jauh berbeda. Dunia seringkali mengubah isinya dengan cara yang tak terduga.
Bersambung.
zaman dulu mah pokonya kalau punya nokia udh keren bangetlah,,,
😅😅😅
biasanya cinta dr mata turun ke hati, kayaknya dr telinga turun ke hati nih ..
meluncur vote,