YAKIN GAK MAU MAMPIR?
***
Berkaca dari kehidupan rumah tangganya yang hancur, ibu mengambil ancangan dari jauh hari. Setelah umurku dua tahun, ibu mengangkat seorang anak laki-laki usia enam tahun. Untuk apa? Ibu tidak ingin aku merasakan kehancuran yang dirasakannya. Dia ingin aku menikah bersama kak Radek, anak angkatnya itu yang dididik sebaik mungkin agar pria itu tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh suaminya, ayahku, padanya. Namun, ibu lupa, setiap manusia bukan binatang peliharaan yang bisa dilatih dan disuruh sesuka hati.
Meskipun aku hidup berumah tangga bersama kak Radek, nyatanya rasa sakit itu masih ada dan aku sadari membuat kami saling tersakiti. Dia mencintai wanita lain, dan menikah denganku hanya keterpaksaan karena merasa berhutang budi kepada ibu.
Rasa sakit itu semakin dalam aku rasakan setelah ibu meninggal, dua minggu usai kami menikah. Entah seperti apa masa depan kami. Menurut kalian?
Mari baca kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dari Aku, Tidak
🦋🦋🦋
Lampu di atas pintu operasi yang semula merah berubah menjadi hijau, menandakan operasi telah selesai. Dokter ikut keluar, menarikku menghampiri dokter berjenis kelamin wanita itu yang membawakan berita kalau kak Radek yang sejak dua jam lalu dibawa masuk ke ruangan itu berhasil dioperasi.
"Untung saja pisau itu tidak mengenai jantungnya, hampir saja," kata dokter itu dengan senyuman.
Hati ini rasanya bisa bernapas lega.
"Siapanya Pak Radek?" tanya dokter wanita itu yang terdengar cukup mengenal kak Radek.
"B-bukan siapa-siapa. Kalau begitu, saya pamit pergi. Pihak rumah sakit bisa menghubungi keluarganya," ucapku dan berjalan meninggalkan tempat itu.
Aku ke lobi rumah sakit, menghampiri Riza dan anak laki-laki yang tadi aku tolong yang duduk di bangku tunggu, tengah dihibur dalam pembicaraan oleh seorang polisi yang ikut bersama kami ke rumah sakit. Polisi itu berdiri dengan senyuman ramah saat melihatku berdiri di hadapan mereka.
"Operasinya selesai. Terima kasih, Pak," ucapku kepada pria yang belum pernah aku lihat itu.
"Sama-sama, Buk."
“Kalau begitu, saya pamit pergi.” Aku menganggukkan kepala dan menggandeng tangan Riza, mengajak anak itu meninggalkan rumah sakit.
“Tante!” panggil bocah laki-laki tadi yang memanggil kak Radek ayah.
Jelas, itu anak pria itu yang dikandung oleh kak Karina empat tahun lalu. Dari prediksiku, anak ini tua beberapa bulan dari Riza. Bukan hanya kak Karina, saat itu aku juga mengandung anak kak Radek, di mana kehamilan itu disembunyikan ayah dari semua orang, termasuk dariku dengan menyuap dokter yang memeriksa kondisiku saat itu, saat aku di rawat di rumah sakit setelah kepala bagian belakangku dipukul malam itu oleh seseorang yang ternyata itu adalah ayah.
Ternyata, gejalah pusing dan rasa mual yang sempat beberapa kali aku rasakan saat itu bukan karena kelelahan belajar dan bekerja, itu faktor kehamilan.
“Iya?” tanyaku kepada anak itu dengan senyuman.
Anak itu memainkan tangan kanannya, memanggilku, menyuruhku mendekatinya. Kakiku melangkah pelan dengan perasaan penasaran menghampiri anak itu. Bocah laki-laki itu menarik tanganku, membuat tubuhku merendah, dan mengecup pipi kanan dan kiriku.
“Terima kasih,” ucapnya, lucu sekali.
Sejenak aku terdiam kaget dengan tingkah anak itu. Senyuman langsung muncul di bibirku dan membelai rambutnya. Rasanya hati ini nyaman dan bahagia melihat senyuman anak ini.
“Iya. Jaga Ayah baik-baik. Ingat pesan Tante, jangan bilang kalau Tante sudah menolongmu,” bisikku dengan suara kecil ke telinga kanan bocah itu.
“Iya Tante cantik,” ucapnya, membuatku kembali tersenyum senang.
Tangan Riza kembali aku genggam dan meninggalkan bangunan itu dengan tangan melambai ke arah bocah laki-laki itu dengan senyuman, Riza juga melakukan hal yang sama. Baru bertemu dan menghabiskan sedikit waktu bersama, putraku sudah bisa akrab dengan anak itu.
Keluar dari rumah sakit, tidak sengaja aku menabrak seorang wanita karena sibuk berbicara bersama Riza yang banyak bercerita mengenai bocah tadi.
“Maaf,” ucap wanita itu.
“Galuh,” kata wanita itu, kaget. “Galuh ….” Wanita itu memelukku erat, antusias sampai menangis.
Maya ada orangnya. Wanita dengan setelan seragam guru yang saat ini memelukku adalah Maya. Mataku sedikit salah fokus dengan pakaiannya, sepertinya wanita ini sukses dalam karirnya. Hal itu membuatku sedikit iri, tetapi juga sadar kalau itu pantas didapatkannya.
“Kamu di sini? Ke mana saja kamu selama ini? Mendengar kamu menghilang begitu saja membuatku takut, bingung, dan penasaran setengah mati. Mengapa pergi tanpa meninggalkan pesan? Om Zidan juga cemas saat itu. Masalah apa yang membuatmu pergi?” tanya Maya.
Tentu itu membuat mereka bingung. Setelah ayah membiusku, ayah langsung membawaku tanpa jejak meninggalkan kota ini. Oleh sebab itu, sulit bagiku sekarang untuk menceritakannya, aku tidak tahu cara menceritakannya.
“Maaf, kamu salah orang,” ucapku dengan senyuman.
“Salah orang? Tidak, kamu benar-benar mirip Galuh. Jangan berbohong, kamu tidak bisa membohongiku.” Maya tampak tidak percaya dengan perkataanku sedikitpun.
“Ibu …,” panggil Riza, terlihat lelah.
“Ibu? Kami sudah menikah? Kamu punya anak?” tanya Maya, kaget.
***
Tidak bisa aku sembunyikan kebenarannya dari Maya. Kami duduk di kantin rumah sakit dan di sana aku menceritakan semua yang terjadi padaku sampai hidup dengan kesulitan dan penuh tekanan bersama ayah selama empat tahun ini. Maya meneteskan air mata mendengar ceritaku, langsung memegang kedua tanganku dengan sedikit mengeluskan kedua jari jempolnya bersama ekspresi prihatin.
“Masa ada Ayah yang begitu kejam pada putri dan cucunya sendiri. Aku tidak bisa membayangkannya sudah berapa besar luka yang kamu rasakan selama ini. Kenapa tidak menghubungi polisi?” tanya Maya.
Sejenak aku diam dengan menatap meja kantin yang kosong karena pesanan kami belum datang.
“Dia Ayahku. Meksipun cara bersikapnya kasar dan kejam, dia juga memiliki sisi lembut,” terangku yang aku rasakan dari faktanya, apalagi ketika mengingat ayah pernah membelaku mati-matian dari gosip ibu-ibu setempat saat itu yang menyebutku wanita murahan.
‘Putriku tidak murahan. Dia jauh lebih mahal dari anak-anak kalian.’
Selain itu, ayah pernah merelakan dirinya ditabrak mobil saat aku ingin menyelamatkan Riza dari todongan mobil. Ayah jahat, kejam, tetapi tidak seutuhnya dengan darah dagingnya sendiri. Waktu itu ayah sempat ingin menjualku ke rumah malam, baru dua langkah meninggalkan rumah itu, ayah kembali masuk dan membawaku pergi dari tempat itu.
“Tapi, dia itu penjahat besar, Luh … Ayahmu pernah masuk berita saat itu, dia itu penjahat kelas kakap, suka berjudi, menjual wanita, dan merampok,” jelas Maya yang tidak bisa aku tolak kebenarannya.
“Benar. Aku tidak membelanya. Tapi, apa yang dilakukannya padaku tidak akan aku laporkan. Jika suatu saat dia tertangkap oleh orang lain, akan aku relakan. Dia pantas mendapatkannya. Tapi, Dari aku, tidak,” terangku, sudah memikirkannya mateng-mateng sejak dulu.
“Lalu, ini anak Kak Radek?” tanya Maya, beralih menatap Riza.
“Iya. Sebenarnya aku sempat hampir keguguran karena melompat dari mobil, di malam aku dikira terbakar di rumah yang masuk berita hari itu. Untungnya, kandunganku bisa diselamatkan tanpa ada cacat pada Riza. Ayah pernah bercerita kalau dokter yang menanganiku saat itu bahkan menyebut kondisi janinku saat itu sebagai keajaiban. Ketika itu Ayah masih menyembunyikan tentang kondisi kehamilanku dan baru aku tau setelah kami berada di kota itu. Mungkin, itu sebabnya Ayah bersikap baik padaku setelah koma,” ceritaku dengan senyuman Riza hadir dalam hidupku.
“Hmm … kenapa kamu ada di sini? Kamu baik-baik saja?” tanya Maya, beralih dari pembicaraan kami sebelumnya.
Tidak, aku tidak bisa memberitahu mengenai pertemuanku dengan kak Radek.
“Hanya ingin memeriksa kondisi Riza saja. Kamu, kenapa di sini?” tanyaku, berusaha mengalihkan topik pembicaraan dari pertanyaan Maya padaku.
Maya mengelus perutnya yang sedikit membesar.
“Kamu sudah menikah?” tanyaku, kaget.
“Enam bulan lalu aku menikah dan sekarang dalam kondisi berbadan dua. Kamu akan menjadi Tante … tapi, sebelum itu, aku juga sudah menjadi Tante,” kata Maya dengan wajah senang dan membelai rambut Riza.
“Suamimu?” tanyaku, penasaran.
“Maya!” panggil seorang pria, yang rasanya berdiri tidak jauh dari belakangku.
Pria itu melangkah menghampiri kami, berdiri di samping Maya yang duduk di hadapanku. Pria itu tertegun kaget menatapku, begitupun dengan diriku. Pria itu adalah Raga.
“Galuh,” ucap Raga, kaget.
kurang ajar radek alias rada dekil
mungkin othor suka menyiksa Galuh....
trims thor🙏