BURUK RUPA JADI RATU TUAN KEJAM

Sementara itu di kediaman Abraham, tampak pria itu sedang duduk sambil menikmati secangkir kopi.

Jari-jemarinya bermain lincah di layar handphone.

Tidak lama kemudian Medi dan dua orang berjas kulit datang menghampiri mereka.

"Mereka datang ingin menemu tuan."

"Ada hal penting apa hingga kalian datang kemari? Abraham tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari layar handphone.

"Kami sudah menyelesaikan pemantauan pada gadis itu seperti yang tuan perintahkan. Jika ada tugas lain, tolong beri tahu pada kami agar secepatnya kami kerjakan."

"Apa gadis yang mereka maksud itu nona kania? Kalau iya, berarti selama ini beliau sudah merencanakan semuanya dari awal ingin merusak masa depan gadis itu. Tapi kenapa? Yang aku tahu selama ini, beliau tidak akan menyakiti orang, jika orang itu tidak mencari masalah dengannya? Apa ini ada hubungannya dengan Nona Vanesa atau almarhum tuan Aldo? Tapi tunggu dulu sepertinya aku mengenal salah satu dari mereka tapi dimana?

Medi yang berdiri diantara mereka, mencerna semua perbincangan sambil melirik sesekali salah satu dari kedua pria itu.

"Kurasa cukup, sekarang pergilah."

"Baik tuan." Belum juga melangkah keduanya kembali berbalik.

"Apa lagi?

"Ibu gadis itu meninggal, operasinya gagal."

"Feeling ku benar, tuan Abraham sudah merencanakan semuanya dengan matang. Kasihan nona Kania."

Mendengar ucapan pria itu barulah Abraham mengangkat wajahnya.

"Terus apa urusannya denganku?

"Kami hanya ingin menyampaikan itu. Kalau begitu kami permisi."

Kedua pria itu pun pergi.

"Apa ini salahku?

Seketika Medi terjaga dari lamunan dan berusaha memutar otak menjawab pertanyaan Abraham.

"Ini sudah takdir tuan. Segala yang bernyawa pasti akan mati, tinggal kita sebagai manusia bisa tidak menerima yang sudah di gariskan itu."

"Maksudmu, aku yang tidak bisa menerima takdir? Tatap tajam Abraham seolah-olah ingin melahap manusia yang ada di hadapannya.

"Mana saya berani menyalahkan anda."

"Sudahlah, sekarang kamu keluar."

Medi menunduk hormat dan berlalu pergi.

"Adikku meninggal dan ibunya meninggal, bukankah ini sudah adil. Sekarang aku akan melepaskannya."

Abraham berdiri dari tempat duduknya dan keluar mengikuti Medi.

Tujuh hari kemudian.........

Keadaan Kania berangsur-angsur membaik.

Kepergian ibunya benar-benar menyisakan duka yang mendalam. Mengurung diri dalam kamar hingga membuatnya tidak bisa berpikiran jernih.

"Aku harus bangkit, jika begini terus aku tidak akan bisa membalas mereka satu persatu."

Kania berdiri dari tempat duduknya dan melangkah masuk ke kamar mandi.

Ada sekitar dua puluh menit Kania di dalam bilik kecil itu hingga dia keluar.

Dikenakannya baju kaos, celana panjang jeans dan tidak lupa memakai topi.

Kania mengambil handphone yang sengaja di letakkan diatas meja lalu mengirim pesan singkat pada seseorang.

Tidak lama kemudian sebuah balasan pesan singkat masuk.

Kania segera mengambil tas kecilnya lalu keluar dari dalam rumah dan tak lupa menguncinya.

Sudah ada sebuah mobil menunggunya di depan pintu pagar.

"Apa kamu baik-baik saja? tanya sang pengemudi yang tak lain adalah Linda saat Kania sudah berada dalam mobil dan duduk disampingnya.

"Jangan kuatir, aku baik-baik saja kak."

"Tidak usah panggil kakak, Linda saja agar lebih akrab."

"Baik."

"Aku sudah mendapatkan pekerjaan baru untukmu. aku harap kamu tidak lagi bekerja di club' malam itu lagi karena tempatmu memang bukan disitu."

"Kakak serius, eee.... maksudku, Linda serius sudah menemukan tempat kerja baru untukku?

"Iya, aku harap kamu betah bekarja di sana."

"Terima kasih Linda, aku benar-benar membutuhkan pekerjaan itu."

"Kalau begitu tersenyumlah, wajahmu jangan di tertekuk seperti itu."

Kania tersenyum manis, dia benar-benar berharap bisa keluar dari club' malam itu seperti janjinya dulu pada almarhumah ibunya sebelum meninggal.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Keduanya berbincang santai, saling cerita masa lalu hingga chemistry mereka benar -benar dapat.

"Kania sekarang umur berapa? Tanya Linda yang saat itu fokus mengemudi.

"Bulan depan usiaku genap delapan belas tahun."

"Oh ternyata kita hanya beda dua bulan saja."

"Masa sih? Kania beranjak kaget.

"Tidak usah sekaget itu, bukan kamu saja yang tidak percaya kalau usiaku baru delapan belas tahun, bahkan orang lain banyak yang beranggapan sepertimu. Pekerjaan, begadang dan juga minuman minuman beralkohol yang membuat wajahku terlihat dua tahun lebih tua di tambah lagi aku kurang perawatan seperti anak gadis pada umumnya. Mungkin kamu juga tidak percaya kalau dulunya aku ini adalah seorang model."

"Kalau itu aku percaya, aku akui kamu memang cantik. Ya itu tadi, cuma kurang perawatan dan kamu juga memiliki tinggi badan sama seperti model pada internasional tidak sepertiku mirip ayam katek habis bertelur."

"Ha ha ha......" Linda terbahak sampai-sampai air matanya keluar.

Kania memanyun-manyunkan bibirnya.

"Iya iya maaf, kamu itu tidak Kate Kania, badanmu bagus, berotot seperti gadis asia pada umumnya. Gadis sepertimu ini biasanya lincah bergerak. Andai kamu masuk karate atau panca silat mungkin kamu cocok."

"Aku pernah terpilih mewakili sekolah mengikuti perlombaan karate antar pelajar dan aku berhasil menjuarainya."

"Nah apa aku bilang, feeling ku ini tidak pernah meleset, Kate sepertimu juga bisa berprestasi seperti gadis normal....ha ...ha...."

Kembali Linda tertawa hingga Kania memukul lengannya.

"Sakit tahu ..kecil-kecil begitu tapi pukulanmu sakit juga."

"Kamu lupa kalau Kate-kate begini pernah jadi juara karate antar pelajar loh."

Keduanya tertawa lepas, beban yang mereka tanggung seakan hilang sesaat.

Obrolan di mobil membuat mereka semakin akrab.

Tidak terasa mobil yang mereka tumpangi berbelok masuk ke halaman sebuah restoran mewah.

"Ayo keluar." ajak Linda

"Kita kesini mau ngapain?

"Nanti kamu tahu sendiri."

Keduanya keluar dari dalam mobil dan melangkah masuk kedalam restoran tersebut.

Pengunjung saat itu terlihat ramai menikmati hidangan yang ada di meja.

"Restoran ini warisan nenekku sebelum beliau meninggal."

"Wow...terus kenapa kamu masih bekerja di club' malam itu padahal kamu bisa mengolah restoran ini sendiri?

"Karena sesuatu hal, hidupku belum tenang bila aku belum menemukannya."

Menemukan apa dan siapa? Kania mengangguk, dia tidak berani melanjutkan pertanyaannya saat melihat kesedihan di wajah Linda.

Melihat kedatangan keduanya, seorang perempuan paruh baya menyambut kedatangan mereka.

"Akhirnya kamu datang juga keponakanku yang cantik, imut dan tidak sombong."

Perempuan paruh baya itu mencubit pipih Linda saking gemesnya.

"Apaan sih Tante Carlota, malu tahu di lihatin pengunjung."

"Biarin, Tante sangat gemes melihatmu Rosa Linda."

"Hi...begini-nih kalau kebanyakan nonton telenovela semua orang dinamai sama seperti pemeran yang ada dalam telenovela tersebut."

Kania cekikikan melihat Tante dan keponakan itu. Mereka benar-benar akrab, tidak seperti keluarga mereka yang saling membenci satu sama lain.

"Sudah-sudah ayo masuk, biar nanti Tante suruh karyawan menyiapkan makanan kesukaanmu."

Ketiganya segera masuk ke sebuah ruangan khusus.

Tidak berapa kemudian semua menu spesial di restoran itu sudah tersaji diatas meja.

"Ayo nak di makan, jangan malu-malu anggap saja restoran milik sendiri tapi jangan di jual...hi hi..."

Kembali Tante Carlota tertawa cengengesan.

"Terima kasih Tante." ucap Kania.

"Tanteku ini memang begitu, humoris orangnya tapi hatinya sangat baik."

"Terima atas sanjungannya ponakanku sayang, ayo dimakan keburu dingin."

Keduanya pun menikmati hidangan diatas meja dengan Carlota yang terus saja mengoceh.