Sebuah perjodohan membuat Infiera Falguni harus terjebak bersama dengan dosennya sendiri, Abimanyu. Dia menerima perjodohan itu hanya demi bisa melanjutkan pendidikannya.
Sikap Abimanyu yang acuh tak acuh membuat Infiera bertekad untuk tidak jatuh cinta pada dosennya yang galak itu. Namun, kehadiran masa lalu Abimanyu membuat Infiera kembali memikirkan hubungannya dengan pria itu.
Haruskah Infiera melepaskan Abimanyu untuk kembali pada masa lalunya atau mempertahankan hubungan yang sudah terikat dengan benang suci yang disebut pernikahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kunay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebingungan Abimanyu
Abimanyu tidak tahu kalau Gerald hanya membual. Fiera sama sekali tidak menangis, gadis itu juga tidak mengatakan apa pun mengenai orang yang mengajaknya pergi bersama.
Ya, walaupun Fiera terlihat matanya sedikit memerah dan berkaca-kaca, tapi dia sama sekali tidak menangis. Fiera juga hanya mengatakan kalau Anisa dan juga Bimo sudah berangkat lebih dahulu dan dirinya harus pergi dengan menggunakan angkutan umum.
Gerald tahu mengenai Abimanyu yang pergi bersama dengan Almira dan meninggalkan Fiera karena dia melihat dengan jelas hal itu. Jadi, dia hanya mengambil kesimpulan.
Selama perjalanan pulang, Abimanyu merasakan perasaan yang tidak tenang. Dia terus memikirkan bagaimana Fiera yang tidak mau menatap ke arahnya selama di acara pesta pernikahan Bu Gina.
Dia mengemudikan mobilnya, secepat yang dirinya bisa. Jalanan masih cukup ramai di jam-jam seperti ini. Jarak gedung pesta hingga sampai di rumahnya, membutuhkan waktu sekitar satu jam setengah.
Mobil Abimanyu masuk ke pekarangan rumahnya. Dia melihat kalau bagian dalam rumahnya masih terlihat gelap. Hanya lampu luarnya yang sudah menyala. Apa Fiera belum sampai rumah?
Abimanyu tidak ingin menebak. Dia turun dari mobil, lalu berlari masuk ke dalam rumah. Tanpa menyalakan lampu lainnya, Abimanyu naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamarnya. Masih gelap, tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana.
“Fiera!” panggil Abimanyu seraya terus masuk ke dalam kamar. Dia memeriksa kamar mandi untuk memastikan, tapi memang tidak terlihat keberadaan istrinya.
Abimanyu melirik koper yang masih tergeletak di lantai, yang belum sempat Fiera pindahkan ke kamarnya. Itu artinya, dia memang belum kembali.
Abimanyu kembali keluar dari kamar, tangannya sibuk menghubungi nomor sang istri, tapi sayangnya nomor yang ditujunya tidak dapat dihubungi.
Di mana dia?
Abimanyu menyalakan lampu ruang tengah. Dia tidak berhenti untuk menghubungi nomor istrinya, tapi hasilnya masih sama. Hanya suara operator yang didengarnya.
Abimanyu mengacak rambutnya. Sekarang, dia tidak tahu harus mencari ke mana istrinya. Abimanyu tidak tahu siapa saja teman dekat istrinya, selain dua orang yang tadi bersama-sama datang ke acara pernikahannya Bu Gina.
Tapi, kedua orang itu jelas hanya pulang berdua saja dan Gerald mengatakan kalau Infiera sudah pulang setengah jam sebelumnya, lalu ke mana dia.
Abimanyu stupid!
Dia mengutuk sikapnya yang keterlaluan kali ini. Abimanyu sadar, kalau dirinya melakukan kesalahan fatal. Padahal, sebelumnya dia sendiri yang meminta Fiera untuk memulai hubungan mereka dengan pertemanan. Namun, dirinya malah memperlakukan wanita itu seperti orang asing.
Sejak mengenal Almira beberapa tahun yang lalu, Abimanyu memang sulit sekali menolak permintaan wanita itu. Apa lagi, hubungan mereka berakhir begitu saja karena Abimanyu yang dijodohkan dengan Infiera.
Terkadang, dia berpikir kalau sikapnya yang keterlaluan tidak masalah, karena Fiera sendiri yang menyetujui pernikahan itu. Akan tetapi, dipikirkan lagi, Fiera juga tidak salah. Wanita itu juga pasti terpaksa menerimanya.
***
Di tempat lain, Fiera sedang duduk di dengan menelungkupkan wajahnya di meja. Seorang pria berusia tiga puluhan berjalan ke arahnya dengan membawa satu cangkir kopi. “Kenapa? Apa kau masih merasa frustrasi memikirkan naskah itu?”
Fiera mengangkat kepalanya dari meja dan menatap pria yang kini duduk di seberang meja. “Kak Gio, aku masih engga terima naskahku diubah total, ya!” ketus Fiera.
Pria yang dipanggil Gio, yang tak lain adalah editornya tergelak. “Kalau begitu, tarik saja naskahnya dari sana. Katakan pada mereka kalau kamu akan membatalkan penerbitannya. Aku akan membantu mencari penerbitan yang lebih baik.”
“Benarkah, Kak?”
“Tentu, kau tidak perlu khawatir.”
Fiera tersenyum senang. “Makasih, ya, Ka.”
“Fier, kok kamu tumben datang ke kantor malam-malam?”
Seorang wanita yang duduk di meja lainnya bertanya. Dia adalah Kanza, salah satu editor yang juga sering membantunya, rekan kerja Kak Gio.
“Kak Kanza, aku hanya sedang butuh pencerahan saja. Kakak, kan tahu pembaca mulai membabi buta meminta jumlah update ditambah. Sedangkan aku harus membagi waktu sama kuliah.”
Kanza tertawa dengan keluhan salah satu penulisnya.
“Pembacamu semakin hari semakin banyak saja. Kamu harusnya membuka media sosial khusus untuk nama penamu itu.”
Fiera terdiam. Benar, selama ini dia tidak memiliki media sosial yang bisa menunjang promosinya. Fiera tidak berani jika harus menggunakan nama aslinya. Pembaca mengenalnya sebagai Pena Rindu.
“Baiklah, Kak, aku akan memikirkannya nanti. Kalian di sini sampai jam berapa?” tanya Fiera, dia tahu jika akhir bulan seperti ini tim editor dan juga yang lainnya selalu bergadang hingga larut.
“Sebenarnya sampai tengah malam, tapi karena aku tidak mungkin naik kereta tengah malam. Jadi paling menginap.”
Kanza menunjuk salah satu ruangan yang biasa digunakan untuk beristirahat.
“Yang lain juga akan menginap. Hanya para pria saja yang pulang karena mereka membawa motor.”
“Ah, jadi aku datang ke sini ganggu kalian, ya?” Fiera cemberut, menyesal.
“Kamu baru sadar, Fier?” Gio bercanda, lalu dia tergelak saat melihat wajah cemberut penulisnya itu. Baginya, ekspresi Fiera yang seperti itu sangat menggemaskan, tapi dia tidak pernah punya keberanian untuk mendekatinya.
“Kak Gio!”
“Bercanda, Fier. Kamu bisa datang kapan saja. Lagian, kamu adalah si penulis best seller.”
Fiera tertawa dengan pujian Gio, begitu juga dengan Kanza.
Kanza tiba-tiba bertanya, “Kalian lapar, ga?”
“Nasi goreng satu,” Gio langsung menyahut, karena tahu kalau Kanza pasti akan membeli makanan jika sudah bertanya seperti itu.
“Cepet amat lo!” sungut Kanza, lalu menoleh pada Kanza. “Kamu mau Fier?”
“Ditraktir, gak, nih, Kak?”
“Emm ... dipotong dari gaji kamu bagaimana?”
“Engga jadi, deh, Kak.”
“Haha ... bercanda. Gio yang bayar.”
“Sialan!” Gio menyahut, tapi akhirnya dia menyuruh Fiera memesan dan dia berjanji akan membayarnya untuk Fiera.
Fiera terlihat senang. Setidaknya, tempat itu cukup baik untuk menghindari Abimanyu. Fiera merasa dia butuh menenangkan diri untuk bertemu Abimanyu di rumah dan tempat itu satu-satunya yang bisa dia tuju.
Kanza mulai meninggalkan Fiera untuk memesan makanan, sedangkan Gio melanjutkan pekerjaannya.
Fiera duduk, terpekur menatap ponselnya yang mati. Perlahan, dia menyalakannya—apakah Abimanyu mencarinya? Dia sedikit penasaran dengan hal itu.
Beberapa pesan dari grup kepenulisan, grup kampusnya, tapi Fiera memilih untuk mengabaikannya. Dia lebih tertarik pada satu nama yang memenuhi pikirannya sejak siang. Dosen Galak.
19.07
[Fier, kamu di mana? Kamu masih di jalan? Biar aku yang jemput.]
19.20
[Kenapa nomornya tidak aktif?]
19.30
[Fiera!]
Masih banyak lagi pesan yang dikirim Abimanyu, pria itu bahkan meminta maaf karena dirinya sudah meninggalkan Fiera tadi sore saat mereka hendak pergi ke acara pernikahan Bu Gina.
Namun, Fiera sama sekali tidak berniat untuk membalas pesannya. Apa lagi saat membaca bagian akhir.
[Aku benar-benar tidak punya pilihan. Makanya aku pergi dengan Almira. Aku berniat menyusulmu, tapi sayangnya kau lebih dulu datang bersama Gerald.]
Fiera tersenyum sinis membacanya. ‘Tidak memiliki pilihan?’ gumamnya.
“Aku memang tidak pernah menjadi bagian dari pilihanmu.”
Fiera memasukkan ponselnya ke dalam tas. Tidak lama, Kanza datang menghampiri dengan membawa nasi goreng yang dia beli di depan kantornya.
“Makan dulu, Nak, biar kamu kuat menghadapi kenyataan.”
Fiera tertawa dengan panggilan dari editornya itu. “Makasih maam.”
Infiera menikmati nasi gorengnya dengan lahap. Dia hanya makan sedikit di acara pernikahan Bu Gina, tidak heran jika dirinya sudah merasakan lapar lagi.
***
“Fier, kamu yakin mau pulang? Engga mau nginap saja di sini bareng kakak?” Kanza bertanya saat Fiera berpamitan untuk pulang. Saat ini, waktu sudah menunjukkan sekitar pukul setengah sepuluh.
Fiera tersenyum. “Yakin. Makasih, ya, untuk traktirnya.”
“Itu gue, ya, Fier, yang traktir bukan si Kanza.”
“Siap, makasih, Kak Gio. Aku padamu pokoknya.”
Gio hanya tersenyum sebagai tanggapan.
Sejujurnya, Infiera enggan sekali untuk pulang ke rumah Abimanyu. Dia terlalu marah untuk bertemu dengan pria itu. Fiera merasa sama sekali tidak dihargai sebagai seorang istri.
Tahu, kalau Abimanyu tidak pernah menginginkannya, tapi apakah harus sampai sejauh ini? Dia menggandeng wanita lain di hadapannya? itu menyakitkan.
Seperti biasa, Fiera pulang dengan menggunakan jasa ojek online. Dia melihat mobil Abimanyu yang sudah terparkir di tempatnya. Fiera menghela napas sebelum masuk ke dalam pagar rumah itu.
Baru saja beberapa langkah, terlihat pintu terbuka dari dalam. Abimanyu keluar dengan mengenakan jaket berwarna abu-abu. Pria itu terlihat terburu-buru. Sepertinya akan pergi.
“Fiera?” Abimanyu menghentikan langkahnya saat melihat sang istri yang baru saja kembali. Dia memasukkan kunci mobilnya ke dalam kantong jaket yang dikenakannya.
“Kamu dari mana? Aku baru saja akan mencarimu.” Abimanyu terlihat marah, tapi Infiera sama sekali tidak peduli dengan hal itu.
Fiera mengangkat wajahnya, menatap Abimanyu dengan ekspresi datar. “Aku ada urusan,” ucapnya dengan suara pelan.
“Aku masuk dulu.”
Fiera melangkah melewati Abimanyu begitu saja. Dia terlalu lelah untuk berbicara banyak dengan pria itu.
“Fier,” panggil Abimanyu, menyusul wanita itu yang sudah melewati pintu masuk. “Fiera, kita harus bicara!” Abimanyu mencekal pergelangan tangannya, hingga sang istri menghentikan langkahnya.
“Membicarakan apa? Kalau mau bahas mengenai tadi siang, itu tidak perlu. Lagi pula, memang sudah seharusnya, kan, Bapak bareng sama Bu Almira? Tidak ada kewajiban seorang teman harus selalu bersama, kan?”
Fiera mengungkit hubungannya dengan Abimanyu yang hanya seorang ‘teman’.
Fiera menarik tangannya yang berada di dalam genggaman sang suami, lalu meneruskan langkahnya untuk menuju kamarnya. Dia sangat lelah hari ini.
Namun, lagi-lagi Abimanyu menghentikannya.
“Fiera, aku minta maaf. Sungguh, aku tidak bermaksud mempermainkanmu. Kau tahu kalau aku sudah datang ke salon untuk menjemput, tapi siapa sangka kalau Almira juga ada di dekat sana.”
Infiera membalas tatapan Abimanyu dengan lebih jelas. “Lalu?”
“Ya, kuharap, kau mengerti situasiku. Aku ... tidak bisa menolak permintaannya. Kau, kan, tahu kalau pernikahan kita karena perjodohan dan saat itu aku memang sedang menjalin hubungan dengan Almira. Aku merasa bersalah, sama dia. Jadi, sangat sulit untukku menolaknya.”
Fiera tersenyum mencela diri sendiri. “Tentu aku mengerti. Itu sebabnya, kubilang tidak masalah. Sudah, kan? Itu saja? Aku ingin beristirahat.”
Sekuat tenaga dia menahan air matanya, Fiera tidak bisa lebih lama lagi berdiri di depan Abimanyu karena dia tidak yakin untuk tidak menangis.
“Fiera!” Suara Abimanyu meninggi.
“Apa lagi?” tanyanya dengan nada membentak. Air mata lolos begitu saja di pipinya yang langsung Infiera tepis dengan kasar. “Kau maunya aku bagaimana? Sudah kukatakan, itu terserah kau mau dengan siapa saja. Ya, benar, pernikahan kita memang tidak ada artinya, hanya perjodohan yang tidak pernah kau inginkan. Kau terpaksa menikahiku hingga harus memutuskan Almira. Baiklah, kalau begitu jalani saja kehidupan yang kau inginkan. Mulai sekarang, kita akan kembali seperti semula, hanya dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama.
Bukan begitu? Bukankah seperti itu juga hubungan kita sejak awal.”
“Fiera, bukan begitu maksudku... .”
“Lalu apa? Kau mau berpacaran dengan mantanmu lagi? Silahkan! Atau, kau mau apa? Ah, tenang saja, aku tidak akan melaporkan apa-apa pada ibu dan juga ayah. Kau bisa menjalin hubungan dengannya dengan tenang. Jangan hiraukan aku. Anggap saja aku tidak pernah ada di kehidupanmu!”
Setelah berkata demikian, Fiera melangkah meninggalkan Abimanyu. Air matanya semakin deras, membasahi wajahnya. Sakit sekali rasanya mengatakan semua itu, tapi mau bagaimana lagi?
Abimanyu sejak awal bahkan tidak pernah menghargai kehadirannya. Infiera di mata pria itu seperti tidak ada. Lantas, apa yang ia harapkan lagi?
Abimanyu mengusap wajahnya dengan kasar. Demi Tuhan, dia sama sekali tidak bermaksud mengatakan itu. Dirinya hanya sedikit kesulitan untuk menjelaskan maksud yang ingin di sampaikannya.
Padahal, awalnya dia hanya ingin minta maaf atas kesalahan yang dilakukannya, tapi karena sedikit kemarahan Abimanyu lepas kendali. Wanita itu sama sekali tidak membalas pesannya, meski nomornya sudah aktif. Abimanyu bahkan hendak pergi ke rumah Gerald untuk mengetahu teman-teman yang dekat dengan istrinya.
Lihatlah sekarang apa yang dia lakukan? Bukannya mendapat maaf dari Infiera, wanita itu malah semakin tersinggung. Dia bahkan mengungkit bagaimana hubungan mereka selama ini.