Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 31
POV SHANUM
"Ya Allah, kenapa aku bisa nikah sama laki-laki kayak Raka? Dosa apa yang aku perbuat sampai-sampai harus menjalani cobaan kayak gini?"
Bolehkah aku mengeluh? Dari sekian kesakitan yang dia cipta di hatiku, pagi ini adalah hal yang tak akan pernah bisa aku lupakan. Bisa-bisanya dia tidak mengakui janin yang ada di perutku. Jelas-jelas yang menanam adalah dirinya. Siapa lagi?
Kuhela napas tatkala ucapan Raka yang menuduhku berselingkuh mengiang kembali di telinga. Hanya karena melihatku sedang bersama Benny yang waktu itu tak sengaja bertemu saat aku berbelanja keperluan bayi. Sungguh, malapetaka bagiku bertemu dengannya.
"Ya Allah!"
Aku berguling menghadap langit-langit kamar, kusapu perut saat gerakan bayiku terasa. Tak apa, jika dia tidak mau mengakuinya. Sampai kapanpun aku tidak akan mengizinkannya untuk menyentuh anakku.
Tok-tok-tok!
"Sha, kamu lagi apa, sayang? Makan dulu."
Suara Mamah membuatku menoleh pada daun pintu yang tertutup. Malas menyahut, apalagi harus beranjak. Kenapa menunggu sidang itu rasanya lama sekali? Aku ingin semuanya cepat berakhir dan menjalani kehidupanku dengan normal.
"Shanum! Ayo, keluar, Nak! Papah udah nunggu," panggil Mamah lagi sembari mengetuk pintu.
Dengan malas aku beranjak dan mengikuti langkah Mamah menuju ruang makan di mana Papah sudah menunggu. Tak ada yang bertanya apapun padaku, kurasa mereka mengerti apa yang saat ini tengah aku rasa.
"Jangan terlalu sering banyak ngelamun, kasihan bayi kamu. Makan yang banyak, dia butuh asupan gizi," ujar Mamah sembari mengusap bahuku dan memberiku tambahan sayur.
Aku tidak menolak, melempar senyum ke arahnya tanpa mengucap apapun. Makan dengan tenang meski lidah rasanya hambar.
****
"Mau ke mana, Sha?" Mamah bertanya saat kuhampiri.
"Mau lihat toko, Mah. Shanum mau meriksa barang yang datang," jawabku seraya meraih tangan Mamah dan menciumnya dengan takzim.
Bukan toko kue, tapi toko aksesoris milik Raka yang sekarang sudah beralih menjadi milikku. Bagaimana reaksi Raka ketika tahu jika toko kini bukan lagi miliknya. Semoga kamu masih bisa membanggakan mantan kamu itu, Raka.
Mobil kuparkir agak jauh dari toko karena secara kebetulan melihat Raka berdiri mematung di depannya. Di hadapan laki-laki itu, dua dus berisi barang-barang miliknya teronggok. Aku tersenyum puas, rasa sakit yang dia torehkan sedikit terbalas dengan menyaksikan sendiri kejadian pengusiran itu.
"Kamu pasti kaget, Raka."
Tidak beranjak sampai Raka membawa dua dus tersebut masuk ke dalam mobilnya. Apa yang akan kamu lakukan setelah ini untuk membahagiakan mantan kamu itu? Aku yakin tidak akan lama lagi mobil dan rumah akan dijualnya.
Turun dari mobil setelah Raka menghilang, Irwan dan Doni menyapaku dengan ramah.
"Kamu kenapa, Don? Apa Raka yang mukul kamu?" tanyaku sembari menyelidik wajah Doni yang lebam dan sedikit terdapat darah yang sudah hampir mengering.
"Ya, siapa lagi kalo bukan dia. Dia nggak terima karena aku nggak mau kasih kunci laci uang sama dia, Sha." Doni meringis sembari memegangi sebelah pipinya.
"Kompres dulu biar mendingan. Kayaknya daging dalam pipi kamu itu robek, ada darah soalnya." Kutunjuk pipi sendiri sebagai isyarat untuk memberitahunya.
Doni tidak menjawab, melengos masuk ke dalam gudang meninggalkan kami.
"Gimana? Ada perkembangan di toko atau masih sepi?" Aku bertanya karena hanya melihat beberapa pelanggan saja tadi.
"Alhamdulillah, Sha. Semakin banyak pelanggan yang datang. Kamu tahu, Sha, Raka nggak terima toko ini udah bukan punya dia lagi," ucap Irwan memberitahu.
Ya, aku sudah melihatnya tadi, tapi kenapa rasanya kasihan sekali? Melihat ekspresi wajah yang begitu sedih, aku jadi tidak tega. Mungkin karena status kami yang masih suami istri sehingga aku begitu kasihan terhadapnya.
"Syukurlah kalo gitu. Aku mau periksa ke lantai dua dulu," pamitku pada Irwan.
Lantai dua ruko ini kuubah menjadi tempat service. Ada tiga orang yang aku rekrut untuk bekerja sebagai tukang service di sini. Aku tersenyum ketika melihat mereka bekerja dengan serius memperbaiki ponsel-ponsel yang rusak.
Tak sia-sia aku buka jasa service, nyatanya memang banyak yang membutuhkan.
"Jangan terlalu serius, kalo waktunya istirahat kalian harus berhenti dan makan." Aku mengingatkan mereka agar tidak melupakan kesehatan diri sendiri.
"Baik, Bu. Terima kasih atas perhatiannya," ujar salah satu dari mereka yang menoleh sekilas, kemudian kembali sibuk dengan ponsel di hadapannya.
Aku kembali turun, memeriksa stok di gudang. Barang-barang yang aku pesan di sini, semuanya adalah keluaran terbaru. Duduk di lantai sebuah ruangan kecil seperti mushola yang digunakan mereka untuk beristirahat dan menunaikan kewajiban.
Kembali terbayang wajah muram raka yang terlihat bersedih. Apakah aku kejam sudah merampas tempat usahanya tanpa izin terlebih dahulu? Aku tidak tahu, ya Allah.
"Apa aku datang aja ke rumah, ya? Kenapa aku jadi ngerasa salah kayak gini? Ya Allah, beri petunjuk hamba!" Kusapu wajah, menutupnya untuk beberapa saat.
Tak ada yang aku lakukan selain memeriksa keadaan toko dan gudang. Di siang hari, aku memutuskan untuk mendatangi Raka sekedar mengetahui keadaannya saja. Aku khawatir Raka melakukan sesuatu yang bisa merugikan diri sendiri.
"Mudah-mudahan Raka masih punya akal pikiran, dan nggak nekad ngelakuin hal buruk."
Harapan yang timbul di hatiku. Sebelum itu, aku menyempatkan diri untuk membeli makan siang. Aku yakin Raka belum mengisi perut, jika dia tinggal di rumah kami maka, tidak akan ada makanan di sana kecuali dia membelinya.
Tak apa, aku memang masih berkewajiban melayaninya sebagai suami karena status kami masih resmi secara hukum dan agama. Tak ada kata talak yang keluar dari lisan Raka. Namun ....
"Kamu nggak salah pilih Raka daripada Benny, Shil?"
Aku melirik ketika sebuah percakapan mampir di telinga. Ada Shila rupanya.
"Aku tuh cuma mau uang dari Benny, tapi kalo cinta sebenarnya aku cinta sama Raka. Ya, karena dulu dia kere aja makanya aku tinggalin. Sekarang, 'kan, usaha dia udah maju. Uangnya banyak."
Astaghfirullah, Shila benar-benar tidak bisa menggunakan otaknya.
"Terus kamu sekarang mau ke sana? Pake bawain makanan segala."
Keningku mengernyit mendengar percakapan selanjutnya. Shila akan datang ke rumah? Membawakan makanan? Jelas sudah.
"Iya, biar dia makin kelepek-kelepek sama aku. Secara dia mau cerai sama Shanum, dan perempuan gatel itu juga udah nggak tinggal di rumah itu. Jadi, makin besar kesempatan aku buat deketin Raka."
Oh, jadi begitu? Biarlah, aku akan berpura-pura tidak tahu saja. Ingin melihat apa yang akan terjadi saat mereka bertemu. Kuputuskan mengikuti Shila ke rumah. Sungguh pemandangan memuakkan ketika Raka menyambutnya dengan ramah.
Tidak berselingkuh katanya? Tapi begitu mesra. Dasar laki-laki buaya dan perempuan gatel. Benar, ini kesempatan untuk memergoki mereka. Raka tidak bisa lagi berkutik dan mengelak setelah ini.
Kubuka pintu dengan paksa, tapi alangkah terkejutnya aku dengan pemandangan di depan mata. Mereka ... mereka melakukan itu di rumah ini! Sungguh tak beradab.
"Ka-kamu!"