NovelToon NovelToon
Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Dokter Genius / Beda Usia / Roman-Angst Mafia
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.

Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.

Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24 : Buket bunga

Matahari mulai condong ke barat, dan gerbang sekolah Imperial High School menjadi saksi riuh-rendahnya murid-murid yang berkumpul setelah hari panjang mereka. Di antara kerumunan itu, Luna berdiri santai bersama teman-temannya dari kelas 320, menunggu pamannya, Bradley, datang menjemput. Seperti biasa, suasana penuh canda tawa—Daniel sibuk melontarkan lelucon garing, sementara Freya sibuk memeriksa Instagram untuk mencari tahu tren terbaru.

Tiba-tiba, seorang pria dengan helm besar dan jaket kurir berwarna mencolok muncul dari kejauhan, berjalan cepat ke arah Luna. "Permisi, apa benar Anda nona Luna?" tanya pria itu dengan suara sopan tapi tegas, membuat semua kepala di sekeliling Luna spontan menoleh.

Luna mengerutkan dahi. "Iya, benar. Ada apa ya?" tanyanya sambil menatap pria itu curiga.

Kurir itu tersenyum lega dan mengeluarkan sebuah buket bunga mawar merah yang besar, diikat rapi dengan pita emas. "Ah, saya ingin mengantarkan buket bunga ini untuk Anda. Tolong tanda tangani di sini," katanya sambil menyerahkan clipboard.

"Apakah ini lelucon?" Luna bergumam pelan sambil mengambil pena. Dengan penasaran, dia membubuhkan tanda tangannya, sementara teman-temannya mulai ribut.

"Buket bunga? Dari siapa tuh?" seru Freya, mencondongkan tubuh untuk mengintip.

Luna menerima bunga itu dengan ragu dan langsung membuka kartu kecil yang tersemat di tengah mawar-mawar itu. Tulisannya rapi dan elegan: Selamat atas kelulusanmu dan menjadi juara pertama. Dari, L.

"L?" Luna mengulang sambil mengernyit. "Siapa L ini? Aku tidak kenal siapa-siapa yang namanya L."

Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, Theresa berteriak dengan nada menggoda. "Ooooh, Luna punya penggemar rahasia!"

Daniel ikut menimpali, "Jangan-jangan ini pria tampan dari universitas sebelah! Wah, Luna, kau beruntung sekali!"

"Apa kau tahu siapa kira-kira orangnya?" Freya berbisik dengan mata berbinar, memancing tawa seluruh kelompok.

Wajah Luna langsung memerah. "Berhenti membuat teori konyol!" gerutunya, meski jelas-jelas terganggu dengan nama terakhir yang disebut Freya.

Sementara itu, di kejauhan, kurir tadi berjalan cepat ke arah sebuah sedan hitam mewah yang terparkir tidak jauh dari gerbang sekolah. Dia mengetuk kaca jendela dengan sopan, dan kaca jendela itu perlahan turun, memperlihatkan wajah dingin seorang pria tampan—Lucius.

"Saya sudah menyerahkan buketnya, Tuan," lapor kurir itu.

Lucius hanya mengangguk pelan, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. "Bagus," katanya singkat sebelum menoleh ke Rudolf yang duduk di kursi pengemudi. "Beri dia tip yang pantas."

Rudolf, tanpa banyak bicara, menyerahkan amplop tebal kepada kurir itu, yang langsung mengangguk penuh rasa terima kasih sebelum pergi. Lucius kembali mengarahkan pandangannya ke gerbang sekolah, memperhatikan Luna dari kejauhan. Dia menyandarkan dagunya pada tangannya, senyum kecil tetap menghiasi wajahnya.

"Luna," gumam Lucius pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Senang melihatnya tertawa seperti itu"

Namun, di dalam mobil, Rudolf berdeham kecil, memecah keheningan. "Tuan Lucius, saya rasa memerhatikan seorang gadis SMA terlalu lama dari dalam mobil hitam ini... bisa dianggap mencurigakan."

Lucius menatapnya datar. "Kau bicara terlalu banyak, Rudolf."

Rudolf tersenyum kecil, menghidupkan mesin mobil. "Seperti biasa, Boss. Seperti biasa."

...****************...

Suasana di depan gerbang sekolah semakin ramai. Lalu lintas para orang tua dan jemputan yang datang silih berganti menambah riuh suasana. Tiba-tiba, sebuah suara deru mesin jeep yang gagah memecah keramaian, dan semua kepala, termasuk teman-teman Luna, spontan menoleh ke arah kendaraan itu.

Jeep tua dengan body kokoh itu berhenti dengan gaya dramatis—ban bergesekan dengan kerikil dan menimbulkan sedikit debu beterbangan. Dari dalamnya, keluar seorang pria dengan jaket kulit hitam, kacamata hitam, dan raut wajah seperti karakter utama dalam film aksi. Bradley, paman Luna yang, meskipun umurnya tidak lagi muda, tetap memiliki aura "pria bad boy yang pensiun dini."

"Luna, maaf menunggu lama. Ada sedikit masalah tadi di lokasi syuting!" seru Bradley sambil membuka kedua tangannya lebar-lebar.

Luna, yang sudah terbiasa dengan sikap antik sang paman, hanya memutar mata sebelum tersenyum dan membalas pelukannya. "Paman, kau datang tepat waktu, terima kasih."

Namun, begitu Bradley melirik buket bunga yang Luna pegang, mata elangnya langsung menyipit. "Bunga ini... siapa yang memberikannya?" tanyanya penuh curiga, seolah dia detektif yang sedang menangani kasus penculikan.

"Ah, ada yang mengirimnya padaku sebagai ucapan selamat. Memangnya kenapa?" Luna mencoba mengalihkan, tapi terlambat. Bradley sudah memegang buket itu, membaca kartu kecilnya dengan seksama, lalu mendengus.

"'Dari L'? Siapa si L ini? Apa dia murid di sini? Atau, jangan-jangan, dia bukan orang baik-baik?!" Bradley sudah mulai membayangkan skenario-skenario aneh dalam pikirannya, salah satunya melibatkan duel ala koboi dengan "L" yang bahkan belum dia kenal.

Di sisi lain, dari kejauhan, di dalam sedan hitam yang masih terparkir rapi, Lucius sedang memperhatikan pemandangan itu dengan alis sedikit berkerut. Matanya tertuju pada Bradley, yang masih memegang buket bunga itu.

"Siapa laki-laki itu?" gumam Lucius, nadanya sedikit dingin. "Dia terlihat sangat dekat dengan Luna."

Rudolf, yang duduk di kursi pengemudi, melirik bosnya dari kaca spion dan menyeringai kecil. "Mungkin... pacarnya, Boss?" ucapnya, sengaja memancing.

Lucius langsung menoleh tajam ke arah Rudolf. "Pacar? Kau bercanda? Luna tidak mungkin berkencan dengan pria seperti itu—terlihat seperti pengemudi jeep yang tidak punya tujuan hidup. Apalagi wajahnya tidak lebih tampan dariku"

"Tentu saja, Boss," jawab Rudolf dengan nada diplomatis, meskipun sulit baginya menahan senyuman lebar.

Sementara itu, di depan gerbang, Bradley masih menginterogasi Luna. "Kalau ini dari penggemar rahasiamu, paman harus tahu siapa dia! Aku tidak akan membiarkan sembarang orang mendekati keponakanku!" katanya dramatis, membuat beberapa siswa yang lewat menatap mereka aneh.

Luna menghela napas panjang. "Paman, tolong hentikan. Kau membuatku terlihat seperti tokoh utama dalam drama romantis murahan."

"Tapi kau harus berhati-hati Luna, jangan terlalu percaya dengan laki-laki" jawab Bradley tanpa ragu, membuat Luna hampir ingin menggali lubang di tanah dan mengubur dirinya sendiri.

"Kalau begitu aku tidak boleh percaya dengan paman?" ejek Luna.

"Eyyy, bukan begitu maksudku"

Di kejauhan, Lucius masih mengamati. Dia mengetukkan jarinya di sandaran kursi dengan wajah datar, tetapi pikirannya penuh pertanyaan.

"Siapa laki-laki itu?" Lucius bertanya lagi, kali ini lebih kepada dirinya sendiri. "Kalau dia berani menyakiti Luna... aku tidak akan tinggal diam."

Rudolf, yang jelas mendengar gumaman itu, hanya bisa menahan tawa kecil di dalam hati.

Keributan antara Luna dan Bradley masih berlangsung di depan gerbang sekolah, menarik perhatian beberapa siswa yang lewat. Namun, semuanya mendadak berhenti ketika sosok anggun bu Evelyn melangkah keluar dari gedung sekolah. Rambutnya yang digelung rapi, dipadukan dengan senyum lembutnya, membuat suasana terasa seperti adegan slow motion dalam film romansa.

Bradley yang tadinya sibuk mencak-mencak soal "L misterius" mendadak membeku. Matanya melebar, rahangnya sedikit terbuka, dan—entah kenapa—seolah ada musik klasik yang hanya bisa dia dengar. "Luna... katakan padaku, siapa bidadari itu?" bisiknya dramatis, sambil menunjuk ke arah bu Evelyn.

Luna memutar matanya. "Paman, dia wali kelasku, bu Evelyn," jawabnya datar, sudah tahu pasti ke mana arah pikiran Bradley.

Bu Evelyn, yang tampak sedang memesan taksi melalui ponselnya, melirik ke arah mereka dan tersenyum sopan. Melihat itu, Bradley hampir terjungkal.

"Bu, ibu mau pulang?" tanya Luna, mencoba mengalihkan perhatian pamannya yang kini tampak seperti tokoh pria dalam drama klise.

"Iya, Luna. Aku sedang menunggu taksi. Tapi kurasa butuh waktu lama karena sedang jam sibuk," jawab bu Evelyn sambil memandang jalanan dengan gelisah.

Mendengar itu, Bradley langsung menegakkan tubuhnya seperti ksatria yang siap bertempur. "Tidak perlu menunggu taksi! Luna, kita bisa mengantarnya, kan? Benar, kan?!" katanya dengan suara yang terlalu keras, membuat beberapa siswa menoleh.

Luna menatap pamannya dengan pandangan penuh tuduhan. "Paman, kau bahkan tidak tahu arah rumah bu Evelyn, kan?"

Bradley terlihat gugup, tapi langsung membalas, "Tenang saja, gurumu bisa memberitahu kita nanti" jawabnya penuh semangat. Luna hanya bisa menepuk dahinya.

Bu Evelyn, yang tampak bingung tapi juga tersentuh oleh kebaikan itu, akhirnya menjawab, "Apa tidak merepotkan?"

"Tidak-tidak, sama sekali tidak merepotkan!" seru Bradley terlalu cepat, terlalu antusias. Luna memandangnya dengan tatapan penuh kecurigaan. "Paman, kau ini kenapa sih?"

Evelyn tersenyum manis. "Baiklah, kalau begitu, terima kasih sebelumnya."

Bradley berdehem, mencoba mengembalikan martabatnya. "Ayo kita pergi sekarang. Luna, cepat masuk mobil. Ibu Evelyn, mari, silakan duduk di kursi depan. Kau pasti nyaman di sana." Bradley bahkan membukakan pintu jeep dengan gaya ala pelayan hotel mewah.

Saat bu Evelyn masuk ke mobil, Bradley memutar ke kursi pengemudi sambil bersiul kecil, wajahnya dipenuhi senyum lebar seperti anak kecil yang baru saja menemukan mainan baru.

Sementara itu, bu Evelyn tersenyum sopan. "Terima kasih ya Luna, pak Bradley. Ini benar-benar membantu saya."

"Oh, tidak masalah, bu Evelyn. Apa pun untuk seorang... Bidadari... Ah bukan wanita yang luar biasa," jawab Bradley, sedikit gugup tapi mencoba terdengar santai.

Di dalam mobil, suasana jadi sedikit aneh karena Bradley terus mencari alasan untuk berbicara dengan Evelyn, sementara Luna sibuk menahan diri agar tidak melempar sesuatu ke arah pamannya.

"Jadi, Bu Evelyn," kata Bradley, mencoba terdengar santai. "Apakah Anda... eh, sering menggunakan taxi untuk pulang?"

Evelyn, yang belum menyadari niat tersembunyi Bradley, menjawab, "Oh, tidak juga. Tapi saya belum punya mobil sendiri, jadi ini cara paling praktis."

Bradley langsung terlihat seperti menemukan kesempatan emas. "Kalau begitu, Anda bisa mengandalkan saya. Anda butuh jemputan, saya siap. Anda butuh bantuan pindah rumah, saya punya jeep ini. Bahkan kalau Anda butuh partner berbelanja, saya... eh, saya juga bisa!"

Luna, yang sudah tidak tahan lagi, menutupi wajahnya dengan tangan. "Paman, kau benar-benar tidak tahu malu."

Evelyn hanya tertawa kecil, merasa bingung tapi terhibur. "Terima kasih atas tawarannya, Bradley. Anda benar-benar... perhatian."

Kata "perhatian" itu membuat Bradley merasa seperti pahlawan. Dia bahkan mengetuk dashboard jeep-nya dengan penuh semangat. "Luna, catat itu. Pamanmu perhatian."

Luna yang mendengar itu hampir tersedak udara. "Oh my God, pamanku sepertinya sudah tidak waras" batin Luna dalam hati.

...****************...

1
dheey
bagussss luna!!!
Ratna Fika Ajah
Luar biasa
Nurwana
mo tanya thor... emang umur Luna dan Lucius berapa???
Seraphine: Perbedaan usia 8 tahun
Jadi waktu Luna masih SMA dia 18 tahun.
dan si Lucius ini ngempet dulu buat deketin Luna sampai si Luna lulus jadi dokter dulu, karena bab2 awal dia masih abege 🤣✌️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!