Hari pertama di SMA menjadi langkah baru yang penuh semangat bagi Keisha, seorang siswi cerdas dan percaya diri. Dengan mudah ia menarik perhatian teman-teman barunya melalui prestasi akademik yang gemilang. Namun, kejutan terjadi ketika nilai sempurna yang ia raih ternyata juga dimiliki oleh Rama, seorang siswa pendiam yang lebih suka menyendiri di pojok kelas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moka Tora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Melodi awal yang rapuh
Hari Senin pagi yang cerah membawa suasana baru ke SMA Pelita Bangsa. Pekan Kreativitas Siswa semakin dekat, dan siswa-siswi mulai sibuk dengan persiapan mereka masing-masing. Di lorong sekolah, poster lomba menghiasi dinding, memuat berbagai kategori, termasuk lomba musik yang menjadi pembicaraan hangat di kelas Keisha.
Keisha duduk di kursinya sambil memandangi Rama dari kejauhan. Setelah percakapan mereka di taman belakang minggu lalu, ia merasa telah membuat sedikit kemajuan. Namun, Rama tetap Rama—pendiam dan penuh keraguan. Keisha tahu, membujuknya untuk benar-benar tampil di lomba musik tidak akan mudah.
“Keisha, kamu serius mau ngajak Rama buat ikut lomba musik?” tanya Rina tiba-tiba, membuyarkan lamunannya.
Keisha mengangguk pelan. “Aku tahu ini sulit, tapi aku yakin dia punya potensi besar. Aku cuma ingin dia percaya diri lagi.”
Rina mendengus. “Percaya diri? Dengan sikap dia yang dingin itu? Good luck, sih. Tapi aku tetap mendukung kamu.”
Keisha tersenyum kecil. Meski kata-kata Rina terdengar pesimis, dukungannya tetap berarti.
~
Saat istirahat, Keisha menemukan Rama di taman belakang, seperti biasa. Namun kali ini, ia membawa sesuatu—sebuah partitur musik sederhana yang ia tulis sendiri semalam. Hatinya sedikit gugup, tetapi ia tahu ia harus mencoba.
“Rama,” panggil Keisha sambil mendekatinya.
Rama menoleh sekilas sebelum kembali ke bukunya. “Apa lagi, Keisha?” tanyanya datar.
Keisha duduk di sebelahnya, membuka lembaran partitur yang ia bawa. “Aku cuma mau kasih ini,” katanya sambil menyerahkan kertas itu.
Rama mengernyit, tapi tetap menerima kertas itu. Ia membaca sekilas, lalu mengangkat alis. “Ini apa?”
“Melodi sederhana. Aku bikin semalam,” jawab Keisha. “Aku tahu ini nggak sebagus karya musisi profesional, tapi aku pikir kamu bisa mulai dari sini.”
Rama menghela napas panjang, meletakkan kertas itu di sebelahnya. “Aku udah bilang, aku nggak mau ikut lomba.”
“Tapi kamu belum nyoba,” balas Keisha lembut. “Kalau kamu nggak suka, kamu bisa berhenti kapan saja. Tapi setidaknya beri dirimu kesempatan.”
Rama terdiam. Pandangannya tertuju pada kertas partitur itu, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu.
“Kenapa kamu ngotot banget, sih?” tanyanya akhirnya.
Keisha tersenyum tipis. “Karena aku percaya kamu bisa. Dan karena aku tahu, jauh di dalam hati, kamu juga ingin mencoba lagi.”
Rama tidak menjawab. Ia hanya menatap Keisha dengan ekspresi yang sulit ditebak, sebelum akhirnya memasukkan kertas partitur itu ke dalam tasnya. “Kita lihat nanti,” gumamnya pelan sebelum kembali tenggelam dalam bukunya.
~
Malam itu, di rumahnya, Keisha tidak bisa berhenti memikirkan reaksi Rama. Ia tahu, meski jawabannya terdengar setengah hati, itu adalah langkah maju. Ia membayangkan Rama memainkan melodi sederhana yang ia buat, dan itu membuatnya tersenyum.
Di sisi lain kota, Rama duduk di depan pianonya yang sudah lama tidak tersentuh. Jarinya menyentuh tuts piano dengan ragu. Di atas stand piano, partitur yang Keisha berikan tergeletak dengan rapi.
Ia menghela napas panjang, lalu mulai memainkan melodi itu. Nada demi nada mengalun, awalnya pelan dan kaku, tetapi perlahan-lahan, jari-jarinya bergerak lebih lancar. Melodi itu sederhana, tetapi memiliki kehangatan yang sulit dijelaskan.
Saat ia selesai memainkan lagu itu, Rama terdiam. Ia menatap piano di depannya dengan perasaan campur aduk. Sudah lama sekali ia tidak merasakan sesuatu seperti ini—sesuatu yang mendekati kedamaian.
~
Keesokan harinya, Keisha merasa deg-degan saat melihat Rama masuk ke kelas. Ia tidak tahu apakah Rama mencoba memainkan melodinya atau tidak, dan ia tidak ingin bertanya duluan. Namun, saat istirahat tiba, Rama mendekatinya—sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Melodinya bagus,” kata Rama singkat.
Keisha terkejut, tetapi ia segera tersenyum lebar. “Kamu mainin?”
Rama mengangguk kecil. “Iya. Aku coba semalam.”
“Dan?”
Rama menatapnya sejenak sebelum menjawab. “Aku nggak janji, tapi aku mau coba latihan lagi.”
Keisha hampir melompat kegirangan, tetapi ia menahan diri. “Itu luar biasa, Rama. Aku bisa bantu kamu kalau kamu mau.”
Rama hanya mengangguk, lalu kembali ke tempat duduknya.
~
Hari-hari berikutnya, Keisha dan Rama mulai menghabiskan waktu bersama untuk berlatih. Mereka menggunakan ruang musik sekolah yang jarang dipakai setelah jam pelajaran selesai. Keisha sering kali hanya duduk di dekat Rama, mendengarkan dengan penuh perhatian saat Rama memainkan piano.
“Keisha, melodinya terlalu sederhana,” kata Rama suatu sore saat mereka sedang berlatih.
Keisha tertawa kecil. “Ya, aku kan bukan komposer. Kalau kamu merasa bisa mengembangkannya, silakan.”
Rama mengangguk, lalu mulai mengimprovisasi melodi itu. Ia menambahkan variasi nada dan irama, membuatnya terdengar jauh lebih indah.
Keisha mendengarkan dengan kagum. “Rama, itu luar biasa,” katanya dengan mata berbinar.
Rama tidak menjawab, tetapi ada sedikit senyum yang tersungging di sudut bibirnya—sesuatu yang jarang Keisha lihat.
~
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Beberapa teman sekelas mereka mulai memperhatikan kedekatan Keisha dan Rama, dan tidak semua orang senang melihatnya.
“Keisha, aku denger kamu sering berdua sama Rama di ruang musik,” kata Rina suatu siang.
Keisha mengangguk. “Iya. Kami latihan buat lomba musik.”
Rina mengernyit. “Kamu yakin dia nggak bikin kamu repot? Maksudku, dia kan... ya, kamu tahu. Susah didekati.”
Keisha tersenyum kecil. “Rama memang nggak gampang didekati, tapi dia orang yang baik kalau kamu mau sabar.”
Namun, tidak semua orang sebaik Rina. Beberapa siswa mulai bergosip tentang Keisha dan Rama, menyebarkan cerita bahwa Keisha hanya ingin mencari perhatian dengan mendekati siswa “aneh” seperti Rama.
Keisha mendengar gosip itu, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya. Yang penting baginya adalah membantu Rama bangkit kembali.
~
Hari-hari menjelang Pekan Kreativitas Siswa menjadi semakin sibuk. Rama terus berlatih, dan setiap kali ia memainkan piano, kepercayaan dirinya perlahan mulai tumbuh. Keisha merasa bangga melihat perubahan kecil dalam diri Rama.
Namun, di balik semua itu, ia tahu masih ada tantangan besar yang harus mereka hadapi. Gosip dan tekanan dari sekitar mulai memengaruhi Rama, dan Keisha hanya bisa berharap ia cukup kuat untuk bertahan.
“Rama, kamu udah siap buat tampil?” tanya Keisha suatu sore setelah latihan.
Rama menatapnya dengan tatapan serius. “Aku nggak tahu. Tapi aku akan coba.”
Keisha tersenyum, meskipun dalam hatinya ia tahu, ini baru permulaan dari perjalanan panjang mereka.
~
Malam itu, Keisha menatap langit dari jendela kamarnya. Ia merasa senang melihat Rama perlahan-lahan membuka dirinya, tetapi ia juga tahu bahwa mereka akan menghadapi banyak rintangan di depan.
“Aku nggak akan menyerah,” bisik Keisha pada dirinya sendiri. “Aku tahu Rama bisa melewati ini.”
Dan di sisi lain kota, Rama duduk di depan pianonya, memainkan melodi yang kini telah berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih indah. Di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang berubah—sebuah harapan kecil yang mulai tumbuh.