Diaz, CEO yang menjual bunga dan coklat setiap hari Sabtu. Dia mencari wanita yang cocok dengan sepatu kaca biru milik ibunya. Apa sebenarnya tujuan mencari wanita itu? Memangnya tidak ada wanita lain? Bukankah bagi seorang CEO sangat mudah mencari wanita mana pun yang diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Sabar Membuka Topengnya
Bab 32
Dulu, Leri sangat menyukai kue ini. Setiap kali Tuan Gunawan—di kehidupan masa lalu—membawanya ke restoran mewah, sekeluarga, ia selalu memilih madeleine sebagai camilan favoritnya. Rasa mentega yang lembut, aroma vanila yang khas, dan teksturnya yang ringan membuatnya merasa bahagia.
Dan sekarang, tanpa sadar, ia hampir melakukan hal yang sama.
Diaz memperhatikan perubahan ekspresi Lili. Gadis itu terlihat seperti sedang mengalami sesuatu yang tidak dapat dijelaskan. Mata Lili menatap kosong ke arah piring di hadapannya, seolah pikirannya sedang berada di tempat lain.
"Lili?"
Suara Diaz membuyarkan lamunannya. Lili tersentak, buru-buru menarik tangannya kembali dan menegakkan punggungnya.
"I-iya. Kenapa Tuan Diaz?"
Diaz menatapnya lekat-lekat, tetapi tidak mendesak. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Lili, tetapi ia memilih untuk tidak bertanya sekarang.
Lili menggenggam salah satu bagian dress-nya, berusaha mengendalikan perasaannya.
Ya ampun... lagi-lagi aku tak bisa mengendalikan diri.
Ia pikir ia sudah bisa menjalani hidupnya sebagai Lili, tetapi setiap kali ada sesuatu yang familiar, kebiasaan masa lalunya selalu muncul tanpa bisa ia kendalikan.
Sementara itu, Diaz diam-diam memperhatikan setiap gerak-geriknya.
###
Sementara itu dari salah satu sudut kota yang lain.
Di sebuah lounge eksklusif, Monica duduk dengan anggun di sofa berlapis beludru merah, memutar-mutar gelas anggurnya dengan ekspresi santai. Meski di luar ia tampak tenang, dalam pikirannya berbagai rencana berputar. Ia tahu betul siapa yang ia inginkan, dan ia tidak akan membiarkan siapa pun merebut posisinya.
Ponselnya bergetar. Nama Eriva muncul di layar.
Monica tersenyum sinis sebelum mengangkat panggilan itu. "Ada apa?"
Suara Eriva terdengar dari seberang telepon, sedikit terburu-buru namun tetap penuh perhitungan. "Kita harus merencanakan sesuatu untuk menjauhkan Lili dari Diaz."
Monica mendengkus pelan. "‘Kita’?" Ia tertawa kecil. "Kau bicara seolah kita berada di pihak yang sama."
Eriva menggigit bibirnya. Ia tahu Monica memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Diaz dibanding dirinya, tetapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahan. "Dengar, aku tahu kau juga tidak ingin Lili berada di dekat Diaz. Jadi bukankah lebih baik jika kita bekerja sama?"
Nada bicara Monica berubah tajam. "Jangan terlalu percaya diri, Eriva. Aku ini bukan orang yang bisa kau atur. Aku dan Diaz sudah saling mengenal sejak lama. Keluarga kami dekat. Aku bahkan sudah lama berada di lingkaran pribadinya. Kau pikir aku butuh bantuanmu?"
Eriva terdiam. Ia sadar bahwa Monica memang punya keuntungan lebih darinya. Jika Monica benar-benar serius, maka Lili akan lebih sulit untuk bertahan di sisi Diaz. Namun, ia tidak bisa menunjukkan kelemahannya.
Dengan cepat, ia mengubah strategi. "Aku tidak berniat menyingkirkanmu, Monica. Kita bisa bersaing secara sehat untuk mendapatkan Diaz. Tapi sementara ini, kita singkirkan dulu gangguan yang terlalu banyak. Terlalu banyak lawan hanya akan membuat segalanya semakin sulit."
Monica berpikir sejenak. Eriva memang bukan ancaman utama baginya, tetapi ada benarnya juga. Jika terlalu banyak orang yang mencoba merebut perhatian Diaz, maka permainan ini akan menjadi lebih rumit.
Akhirnya, Monica tersenyum. "Baiklah. Untuk sementara, aku akan bekerja sama denganmu. Tapi ingat, ini hanya untuk sekarang. Jangan pernah mengira kita berada di pihak yang sama."
Eriva menghela napas lega. "Setuju."
Sebuah persekutuan baru saja terbentuk. Tapi apakah keduanya benar-benar bisa saling percaya?
Lihat saja Monica, kau memang lebih dulu mengenal dan dekat dengan Diaz, tapi aku sudah menggenggam kepercayaan keluarganya. Hahahah!
###
Di rumah besar keluarga Asher, Paman Hanavi sedang membersihkan taman dengan teliti. Tangannya dengan cekatan memangkas dahan-dahan kecil, merapikan bunga, dan memastikan halaman tetap rapi. Baginya, pekerjaan ini bukan hanya sekadar rutinitas—ini adalah caranya untuk tetap berada di tempat ini.
Langkah seseorang terdengar mendekat.
"Hanavi."
Hanavi berhenti dan menoleh. Melinda, mantan istrinya, berdiri di sana dengan tatapan tajam.
"Aku sudah berkali-kali bilang, jangan terlalu memperhatikan Eriva," ucap Melinda dengan nada penuh peringatan. "Dia bukan Leri."
Hanavi menatapnya dengan lembut, tetapi dalam matanya ada keteguhan yang sulit digoyahkan. "Aku tahu. Aku bisa merasakan siapa anak kandungku dan siapa bukan."
Melinda mendesah, tampak frustasi. "Kalau begitu, kenapa kau masih di sini? Aku bisa membantumu hidup lebih baik. Jika hanya untuk biaya hidup, aku bisa memberi apa pun yang kau butuhkan. Pergilah dari tempat ini."
Hanavi tersenyum tipis, lalu kembali merapikan daun-daun yang berserakan di tanah. "Aku tidak butuh uangmu, Melinda. Aku sudah lama bisa mengurus diriku sendiri."
Melinda mengerutkan kening. "Aku tidak mengerti kenapa kau masih bertahan di sini. Jangan berharap apa pun dariku. Kau lihat sendiri, aku sudah menjalani hidup dengan baik sekarang."
Setelah mengatakan itu, Melinda berbalik, meninggalkannya begitu saja.
Hanavi hanya diam, menatap punggung mantan istrinya yang semakin menjauh. Setelah Melinda benar-benar pergi, ia bergumam lirih, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
"Kau tidak tahu, Melinda… Anak kita sudah ada di dekat kita. Tapi sebagai seorang ibu, kau tidak peka. Hanya harta yang kau pertahankan."
Matanya menatap kosong ke arah langit yang mulai benderang. Ia tahu kenyataan ini akan sulit diterima, tetapi hatinya tidak bisa salah.
###
Setelah menyelesaikan sarapan di restoran mewah yang membuat Lili merasa canggung sejak awal, Diaz segera mengarahkan mobilnya ke lokasi proyek yang akan mereka tinjau hari ini.
Lili duduk diam di kursi penumpang, masih bertanya-tanya kenapa dia harus ikut dalam perjalanan ini.
"Kenapa aku harus ikut? Bukankah proyek ini bukan bidangku? Lagi pula, perusahaanku tidak ada kerja sama untuk proyek ini."
Diaz tetap fokus menyetir, tetapi tanpa melihat ke arahnya, dia menjawab dengan nada tenang namun penuh otoritas.
"Aku membutuhkan pendapatmu."
Lili mengernyit. "Pendapatku?"
Diaz akhirnya meliriknya sekilas sebelum kembali menatap jalan.
"Proyek ini bukan sekadar membangun gedung. Sekolah kesehatan membutuhkan fasilitas yang menunjang pembelajaran yang efektif, termasuk laboratorium, ruang praktik, dan area penelitian. Luas lahan yang akan digunakan harus disesuaikan dengan kebutuhan itu. Aku ingin tahu perspektifmu, mungkin ada detail yang terlewat atau ada ide lain yang bisa meningkatkan nilai properti ini."
Lili tercenung. Kalimat itu terdengar sangat profesional dan masuk akal. Lagipula, dia memang belum pernah terlibat dalam proyek semacam ini, jadi mungkin ini bisa menjadi pengalaman baru baginya.
"Baiklah," ujarnya akhirnya. "Aku akan ikut dan melihat apakah ada sesuatu yang bisa kubantu."
Baru saja Lili mulai menikmati perjalanan yang terasa lebih tenang dari sebelumnya, ponsel Diaz berdering. Dari ekspresi pria itu yang langsung berubah dingin, jelas bahwa panggilan itu bukan kabar baik.
Diaz menerima teleponnya dengan nada ketus. "Apa?"
Bersambung...