Pantas saja dia sudah merasa curiga pada sampul buku itu yang tidak biasa. Alih-alih sekedar buku cerita biasa, ternyata itu adalah buku kehidupan terbuka dari masa depan beberapa orang, termasuk Victoria Hain. Sebuah tokoh dengan nama yang sama dengannya.
Sebuah tokoh yang kini dihidupi oleh jiwanya.
“Astaga, jadi aku adalah kakaknya antagonis?”
Adalah informasi paling dasar dalam cerita ini.
Alih-alih sebagai pemeran utama, Victoria Feyar berakhir menjadi kakak dari antagonis perempuan bernama Victoria Hain, yang akan mati depresi karena sikap dingin suaminya.
“Baiklah, mari kita ceraikan Kakak protagonis pria sebelum terlambat.” Adalah rencana Victoria, demi melindungi dirinya dan adik pemilik tubuh dari dua Kakak beradik pencabut nyawa.
Untungnya ini berhasil, meski bertahun kemudian Victoria dibuat kesal, karena mereka tidak sengaja kembali terlibat dalam situasi utama pada konflik cerita itu dimulai.
“Kakak Ipar, mohon bantu kami....”
-
“Dalam mimpimu.” -- Victoria.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blesssel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
“Kenapa kau murung begitu?”
Estella menggeleng sebagai jawaban.
Walaupun Victoria tahu perasaannya pada Remi, tapi dia tidak pernah ingin membahas itu lagi setelah pernikahan Raphael dan Victoria. Mau bagaimana juga, walaupun dia yang terlebih dahulu menyukai Remi, tapi Kakaknya-lah yang lebih cepat mengambil langkah menjadi bagian keluarga Hain.
Tapi teringat perbincangan tadi malam, Estella tiba-tiba ingin bertanya lagi. “Kak, apa kau benar-benar yakin akan berpisah dengan Kak Raphael? Bukannya kau sendiri ya, yang mengatakan dia adalah hidupmu?”
Mendengar ini Victoria menarik sudut bibirnya. Baginya terlalu menggelikan bagi seseorang untuk mengumumkan hal seperti itu pada orang lain.
“Anggap saja aku berbohong saat itu.”
Mendengar jawaban acuh disertai kekehan, Estella tahu bahwa itu benar-benar nyata. Nyata tidak menginginkan seorang Raphael Hain lagi. Hal ini membuatnya pikirannya tanpa sadar kembali pada kejadian di sekolah. Estella sedikit ragu-ragu, menatap Victoria yang tampak cemerlang dengan rambut oranye-nya.
“Kak jangan marah, … dengan perpisahan kalian, apa itu artinya … aku bisa menyukai Remi sekarang?” Lama keduanya terdiam sembari Victoria terus menyetir. “Lagipula Kakak tahu sendiri kan, betapa aku menyukai Remi sebenarnya?”
Dahi Victoria berkerut kecil sebelum menjawab,
“Ya suka saja terserah mu. Lagian’kan belum tentu juga dia menyukaimu.” Perkataan nyelekit dengan tambahan ekspresi setengah jijik Victoria, membuat Estella segera dibuat kesal.
“Sudah ah, bicara dengan Kakak percuma. Kakak tidak peduli denganku.” Marahnya, memilih menatap keluar jendela dengan tangan bersedekap dada.
Tapi Victoria masih memiliki hal untuk dikatakan.
“Apa yang salah? Kan Kakak katakan sukai saja dia, kau bebas menyukainya. Tapi jika kau mempertimbangkan, harga menyukai seorang Remi Hain terlalu mahal. Dia adalah sahabat dan sekarang saudaramu juga, bahkan jika aku dan Raphael berpisah nanti. Tapi jika semisal kau menyukainya dan dia tidak menyukaimu, takutnya sudah tidak mendapatkan cinta, kau juga akan kehilangan dua hal sebelumnya.”
Victoria benar-benar mengatakan hal itu dari kacamata seorang Kakak. Karena jika ini hanya pemikirannya sendiri, sejujurnya dia tidak peduli. Dia tidak peduli, jika Estella menjadi Estella yang tertulis di buku. Seorang antagonis cinta yang bodoh dan kejam dengan akhir tragis.
Jadi dia ingin membiarkan gadis remaja itu mempertimbangkan semuanya dengan baik. Lagipula dia sudah membuat keputusan, Estella akan dia bawah jauh dari orang-orang dalam cerita ini. Toh yang penting, mereka bukan pemeran utama dalam buku takdir masa depan ini..
“Este, kita adalah pemeran utama dalam cerita kita sendiri.”
Estella yang sempat terdiam kesal, kini menatap bingung Victoria. “Maksud Kakak?”
Victoria menarik nafas panjang. Dia telah melewati banyak hal dalam hidup sebelum ini, jadi dia merasa punya kapasitas untuk memberi nasehat.
“Maksudku, selain Remi kau pasti memiliki keinginan lain dalam hidup bukan? Seperti cita-cita dan impian. Manusia tidak bisa memiliki kisah yang sempurna, jadi pasti ada satu bagian yang akan kurang. Entah itu keluarga, persahabatan, cinta, atau pekerjaan misalnya. Tapi dari semua itu, pilihlah yang bukan manusia. Berjuanglah untuk sesuatu yang tidak ada manusia di dalamnya, sesuatu seperti pekerjaan.”
Estella kaget, benar-benar kaget. Rasanya ini pertama kali dia mendengar Victoria bicara serius, walaupun tampak aneh karena harus sambil melihat rambut oranye-nya.
“Kenapa harus itu? Memangnya kenapa berjuang untuk sesuatu yang ada manusia di dalamnya?”
Victoria tersenyum getir, karena hiduplah yang mengajarinya ini.
“Karena manusia dinamis, sudah pasti berubah. Sebenarnya dunia pekerjaan juga bisa berubah, tapi skill yang ada padamu tidak akan bisa diambil meski tiba-tiba dunia kerja itu berguncang. Berbeda dengan perjuangan terhadap hubungan dengan sesama manusia. Satu kesalahan saja bisa mengambil semuanya darimu, bisa mengambil hatimu, pikiranmu, waktumu dan bahkan tenagamu. Itulah kenapa hubungan harus berjalan dengan keinginan bersama, jika tidak salah satu pihak akan hancur.”
Estella tidak lagi terlalu muda untuk mendengar hal seperti ini. Setelah menjadi yatim piatu karena ditinggalkan Ayah mereka di panti asuhan, dia mengerti dengan maksud hubungan harus karena keinginan bersama.
Estella menelan ludah kasar, tidak menyangka perkataan Victoria tepat sasaran baginya. Jika seseorang seperti orangtua bahkan bisa tidak menginginkanmu, apalagi hanya kekasih atau sahabat?
“Usiamu adalah usia terbaik untuk fokus pada masa depan. Kau bilang ingin menjadi Dokter bukan? Belajarlah dengan baik, karena Kakak akan mengirimmu ke universitas terbaik. Jangan khawatir soal uang, apalagi cinta di usia ini.”
Lidah Estella kelu dan punggung lehernya tegang hebat, namun dia berusaha untuk mengangguk pelan. Dia juga sudah melihat sendiri Kakaknya hampir hancur untuk cinta yang dipaksakan, jadi dia memilih belajar sekarang.
“Tapi kau bisa mencoba memberitahu Remi cintamu, tapi bagusnya nanti saat kelulusan,” ujar Victoria tiba-tiba.
Hal ini jelas mengagetkan Estella, yang baru saja merasa penuh pertimbangan.
“LAH KAKAK INI GIMANA SIH?”
Victoria tertawa dengan memamerkan giginya sembari mengangkat kedua bahunya acuh. Ya, dia baru saja teringat adegan itu dalam buku dimana Estella akan mengatakan cinta pada Remi karena tidak tahan dengan perasaannya lagi, tapi gadis itu akan berakhir ditolak.
Tapi kala itu Estella tidak mau menerima dan menjadi semakin memaksa. Tapi kali ini Victoria akan membiarkan itu terjadi lagi, tapi dia akan memastikan Estella bisa menerima penolakan itu.
Semua orang lebih suka belajar sendiri soal cinta, pikir Victoria konyol, yang sayangnya benar.
•
•
Di tempat berbeda, Raphael tiba-tiba memutuskan untuk pulang lebih awal dari kantor. Dia berencana untuk kembali ke rumah segera, berjaga-jaga jangan sampai sang Kakek tiba. Raphael takut jika pria yang selalu menginginkan cicit itu, akan membuat masalah jika mendengar kehidupan asli pernikahannya.
Raphael mengambil ponselnya dan menghubungi sang Tangan Kanan.
“Halo Ethan, kau dimana?”
“ … ”
“Ah maaf, aku lupa.”
Menepuk dahinya, Raphael kembali memikirkan siapa yang bisa diperintahnya. Tangan kanan yang diluar kota, kepala pelayan yang sakit, dan dirinya yang malas berurusan dengan orang lain?
Tapi Raphael tiba-tiba teringat sekretarisnya. Setelah mempertimbangkan sebentar terhadap tugas yang hendak dia berikan, Raphael akhirnya beranggapan tidak apa-apa. Dia menekan tombol telepon yang menyambungkan di meja Sekretaris.
Elena yang menerima panggilan untuk datang ke ruangan, langsung memperbaiki penampilannya dengan cepat sebelum masuk.
TUK, TUK, TUK.
Elena masuk dengan senyuman terbaiknya.
“Ada apa Pak? Ada yang bisa saya kerjakan?”
Raphael mengangguk canggung. “Mm ya, tolong ikut dengan saya ke apartemen sekarang.”
“Apartemen?”
“Iya. Bersiaplah.”
Raphael yang tidak ingin menjelaskan lebih, segera melangkah masuk ke dalam ruang privatnya di kantor. Elena yang melihat gelagat canggung sang Bos, segera kemana-mana pikirannya.
Sudah lama dia bekerja dan ini kali pertama baginya akan pergi ke tempat Sang Bos. Walaupun selama ini berurusan dengan makan Sang Bos yang harus dikirim ke Apartemen, tapi Elena tidak pernah kesana. “Aku diajak ke Apartemen? Untuk apa?” tanyanya yang penuh bayangan liar.
Menggigit bibirnya, dia langsung pergi bersiap. Tapi pikiran kotor semakin tidak bisa dihentikan dalam otaknya. Hal-hal yang tidak pantas segera menyapa dirinya. Jadi ketika dia disuruh bersiap, Elena sampai pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Raphael yang tidak bisa melihat gelagat aneh sang Sekretaris tidak peduli. Kecuali fakta bahwa parfum Elena terlalu menyengat baginya.
Keduanya pun turun ke depan kantor, dengan sebuah mobil yang menunggu. Degup jantung Elena semakin menjadi, mengira-ngira dia akan duduk dimana. Tapi sayang, degupan itu hanya sampai di degupan. Pada akhirnya dia masih harus duduk di depan dengan supir.
Meski begitu, Elena mencoba menahan senyuman terbaiknya. Lagipula tidak mungkin sang Supir akan ikut dengannya masuk ke Apartemen sang Bos bukan?
Oh entah apa yang akan terjadi? bayang Elena yang tanpa sadar kembali menggigit bibirnya sendiri.
Sang supir yang melihat tindakan Elena, juga tanpa sadar menggigit bibirnya. Jadi ketika mata mereka berdua tidak sengaja bertemu. Ueeekkk! Elena muntah dalam hati.
Dia bergidik ngeri dan jijik, mencoba melihat Raphael dari kaca berharap merasa lebih baik.
Tapi baru saja merasa lebih baik, bukan mual kini dia merasa akan pingsan saja, saat mendengar instruksi Raphael.
“Jadi begini, nanti kalian naik untuk bereskan dan angkat beberapa barangku kembali ke rumah. Sekretaris kamu yang atur, nanti Pak supir yang angkat.”
Entah apa sebutan untuk seorang seperti Raphael, yang bahkan tidak mau repot mengingat nama para pekerjanya.
“Ta-taapi Pak?”
“Punya keluhan Sekretaris?”
Meski dengan berat hati, Elena terpaksa melakukan semua yang diperintahkan. Tidak menyangka dirinya akan mandi, hanya untuk bercucuran keringat.
Memang dia membayangkan akan bercucuran keringat saat disini, tapi jelas bukan cucuran keringat yang ini, resah Elena dihatinya.
Tapi meski begitu, Elena tidak patah semangat dengan mudah. Ketika diingatnya akan pergi ke kediaman sang Bos, yang kemungkinan ada istrinya, Elena melihat adanya kesempatan lain.
Dia tiba-tiba ingin melihat sendiri, sehancur apa hubungan sang Bos dan seberapa besar peluangnya? Jadi sebelum pergi lagi dari Apartemen Raphael, dia bersiap-siap lagi.