~Jingga melambangkan keindahan dan kesempurnaan tanpa celah ~
Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan cinta Jingga. Seorang yang rela menjadi pengantin pengganti untuk majikannya, yang menghilang saat acara sakral. Ia memasuki gerbang pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap di cintai.
Jingga menerima pernikahan ini, tanpa di beri kesempatan untuk memberikan jawaban, atas penolakan atau penerimaannya.
Beberapa saat setelah pernikahan, Jingga sudah di hadapkan dengan sikap kasar dan dingin suaminya, yang secara terang-terangan menolak kehadirannya.
"Jangan harap kamu bisa bahagia, akan aku pastikan kamu menderita sepanjang mejalani pernikahan ini"~ Fajar.
Akankah Jingga nan indah, mampu menjemput dinginnya sang Fajar? layaknya ombak yang berguling, menari-nari menjemput pasir putih di tepi pantai.
Temukan jawabannya hanya di kisah Jingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rengganis Fitriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Oma
Fajar meliriknya sekilas, dengan tatapan mata yang menghunus tajam, “Bukankah sudah ku katakan kamu harus menuruti semua perintah dan aturan dalam keluarga ini?!”.
“Tapi Tuan, bukankah juga sudah tertulis jika masing-masing di antara kita tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing, tak ada larangan pula untukku tetap bekerja?”. Jingga menunduk, ia berbicara dengan cukup pelan.
“Baik-baik, kamu boleh bekerja tapi tunggu sampai Oma tertidur terlebih dahulu”.
“Tertidur?”.
“Ya, biasanya Oma akan mudah tertidur, entah itu di saat siang hari atau malam hari. Kamu boleh pergi meninggalkan rumah ini untuk bekerja!”. tukasnya dengan tubuh condong ke ara Jingga.
Hay Jingga, bukankah dosa bagi seorang wanita jika pergi keluar rumah tanpa seijin dan ridho suami, jika dengan tetap berada dalam rumah menjadikan ladang pahala bagimu maka bersabarlah.
Jingga, menepuk-nepuk dadanya. Ia tak tahu apa yang akan dengan hidupnya setelah kedatangan Oma Fajar di rumah ini. Hanya saja ia berharap akan adanya kebaikan dan perubahan alur cerita pernikahannya.
.
.
.
Suara alarm rumah terdengar cukup nyaring, ini kali pertama bagi Jingga mendengar suara tersebut. Semua pelayan dan penghuni rumah saling berlomba-lomba menuju halaman depan, termasuk Fajar, ia menarik tangan Jingga dan membawanya keluar dari rumah itu. Sementara Jingga, ia mendongak menatap suaminya dengan tatapan heran bercampur was-was, ia takut sesuatu hal buruk akan terjadi.
“Apakah itu bunyi peringatan akan datangnya bahaya?”, desis Jingga, dalam hati yang tak sampai ia utarakan.
Jingga dan Fajar mulai menuruni anak tangga secara bersamaan dengan bergandengan tangan, Reza yang berada di belakang mereka hanya tersenyum melihat pemandangan yang terpampang di depannya. “Ah sepertinya Tuan muda, sedang memanfaatkan keadaan”. cicitnya lirih bersuara, yang seketika membuat Fajar menoleh padanya dengan tatapan mata menusuk, saat itu pula Fajar lekas melepas gandengan tangannya dengan Jingga.
“Kamu bisa berjalan sendiri”.
Suasana yang membuat keadaan jadi canggung, kala tangan itu tiba-tiba melepas genggamannya.
“Ah iya Tuan”. Jawab Jingga dengan menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mengurangi rasa canggung.
Semua pelayan sudah berbaris cukup rapi dari ujung taman depan hingga pintu depan rumah utama. Mereka berjajar menggunakan baju seragam warna hitam dan putih, kepalanya menunduk dan tangan berada didepan. Terdapat beberapa buket bunga segar yang di siapkan untuk menyambut kedatangan Oma.
“Kenapa formal sekali acara penyambutannya? Seperti akan kedatangan tamu mentri atau presiden saja”. Guman Jingga dalam hati.
Beberapa saat kemudian, sebuah mobil mewah mulai memasuki halaman utama, yang kemudian di susul beberapa mobil di belakangnya. Para pelayan semakin merapatkan barisan menunduk dengan sangat hormat.
Jingga kembali tertegun melihat pemandangan yang ada, “Bersiaplah Oma sudah datang”, sebuah bisikan kalimat terdengar cukup lembut di telinganya.
Ternyata suamiku juga masih memiliki sisi lembutnya.
Tak berselang lama seorang wanita berusia senja mulai turun dari mobil mewahnya, kakinya yang renta menginjak rerumputan yang masih basah oleh embun pagi itu.
Jingga berkedip, menatap tamu istimewanya yang datang. Wanita senja dengan perawakan yang cukup menawan. Kulitnya seputih susu dengan potongan rambut pendeknya. Tak lupa ia menyematkan topi warna senada dengan baju yang ia gunakan saat itu. Wanita senja itu membuka kaca mata hitamnya lalu menyelipkan di salah satu saku bajunya. Benar-benar style bangsawan.
“Oma”, cukup keras suara itu terdengar dari orang di sampingnya.
Fajar lekas setengah berlari menuju Omanya, sedang Jingga mengekor di belakangnya, ia tersenyum ramah turut menyambut kedatangan tamu istimewanya.
Bu Nadin pun demikian, ia berdiri tepat di sebelah Oma Fajar.
Oma pun demikian, beliau berlari kecil menuju tengah halaman dengan rambut yang berkibar di balik topi penutupnya. Ia merentangkan tangan seakan sedang menyambut kedatangan cucu kecilnya.
“Fajar cucuku”. ucapnya dengan tersenyum.
“Oma”. Keduanya saling berpelukan melepas rindu yang sudah lama tertahan, konon katanya Fajar kecil lebih sering tinggal bersama dengan Oma dari pada dengan Mamanya. Omah lah yang merawatnya hingga remaja. Namun saat sudah remaja, Oma memutuskan untuk meninggalkan surabaya dan menikmati masa tuanya di salah satu tempat yang cukup indah di belahan bumi ini.
“Ah kenapa kamu masih saja bertingkah seperti ini, Oma rasa kamu masih Fajar, kecil yang baru bisa jalan”. Oma menepuk-nepuk pundak Fajar, ia tertegun melihat perubahan besar pada diri Fajar. Cucu kecilnya sudah dewasa, wajahnya semakin menawan perawakannya sempurna. Bahkan kabar terakhir yang ia dapat bahwa cucu kesayangannya telah menikah.
“Bagaimana kabar oma? Apakah Oma sehat-sehat saja?”.
“Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja bahkan sangat sehat. Lihat Oma masih cantik dan muda seperti dulu bukan?”. Seperti itulah Oma, ia tak ingin terlihat tua. Pandangan Oma berubah menatap wanita yang ada di sebelah Fajar.
“Siapakah dia?”, tanyanya dengan mata yang mengamati setiap detail yang ada pada tubuh Jingga. Ia melihat dari atas hingga ke bawah, kemudian beralih memandang wajahnya untuk beberapa saat.
“Saya Jingga oma”. ia menunduk membungkukkan tubuhnya dengan hormat, menyapa wanita senja di depannya. Tangannya terulur untuk mencium punggung tangannya.
“Dia istri Fajar, cucu menantu Oma”, suara Bu Nadin menjawab rasa ingin tahu Oma.
Oma seseorang yang penting dalam hidup Fajar, ia meninggalkan satu moment penting dalam hidupnya kala tak bisa menghadiri pernikahan cucu satu-satunya.
Matanya masih memindai setiap detail yang melekat pada diri Jingga. Tak ada komentar yang di ucapkannya. Ia lebih memilih untuk menggandeng Fajar dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Sementara Bu Nadin menggandeng tangan Jingga mengajaknya turut serta masuk bersama. “Apakah ada masalah dengan penyambutan Oma?”, suara Bu Nadin mulai terdengar di sela-sela perjalanan ke dalam rumah.
“Tidak ada Ma, semua berjalan sesuai yang direncanakan”. Jawab Jingga dengan tersenyum pada Mama mertuanya.
“Bagus”.
.
.
.
Hari masih pagi menuju siang. Semua anggota keluarga berkumpul di ruang keluarga. Fajar memutuskan untuk tidak bekerja hari ini, sementara Pak Angga beliau sedang bertugas ke luar negeri sehingga tak dapat turut hadir menyambut Ibundanya.
Bu Nadin dan Jingga berlalu ke dapur, ingin memastikan jamuan untuk tamu penting mereka telah di siapkan dengan cukup baik. Ia benar-benar ingin memastikan semua sesuai dengan apa yang di harapkan. Bukan apa-apa, oma termasuk orang yang relatif cerewet. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memahami segala keinginan oma.
“Jingga Mama harap kamu bisa bersabar saat menghadapi Oma nanti, karena sebenarnya Oma adalah orang yang baik”. Tutur Bu Nadin menginterupsi sebelum sesuatu hal buruk terjadi.
Jingga hanya tersenyum hangat menangapi wejangan dari Ibu Mertuanya.
Sementara itu Fajar saat ini sedang menemani Oma yang sedang duduk bersantai di ruang keluarga. Seperti biasah Oma akan melihat drama korea kesukaannya untuk mengisi waktu luangnya.
“Fajar...”.
“Iya Oma”. Jawabnya dengan duduk bersendekap.
“Apa kamu mencintai istrimu?”.