Ruby Alexandra harus bisa menerima kenyataan pahit saat diceraikan oleh Sean Fernandez, karna fitnah.
Pergi dengan membawa sejuta luka dan air mata, menjadikan seorang Ruby wanita tegar sekaligus single Mom hebat untuk putri kecilnya, Celia.
Akankah semua jalan berliku dan derai air mata yang ia rasa dapat tergantikan oleh secercah bahagia? Dan mampukah Ruby memaafkan Sean, saat waktu berhasil menyibak takdir yang selama ini sengaja ditutup rapat?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzana Raisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Part 2
Selepas kepergian Wira dan asisten Ruby, suasana mendadak hening. Ruby berdiri seraya menundukkan kepala, sementara Sean menatap pada meja yang terisi penuh masakan kesukaan yang pastinya sudah Ruby ingat di luar kepala. Namun sayang, sebelumnya Ruby sama sekali tak menyadari jika pelanggannya kali ini adalah Sean Fernandez. Kali ini Ruby, tak bisa lagi menghindar.
Diamnya Sean kian menambah rasa canggung serta ketakutan dalam diri Ruby. Mungkin saat ini, Sean bisa jadi akan melemparkan maki, atau pun caci akibat rasa benci yang mungkin saja masih tersisa di hati Sean untuknya, atau bahkan sebaliknya. Seam diam, karna rasa bencinya terhadap dirinya.
"Ruby," panggil Sean.
Perempuan itu terkesiap. Ia lebih dulu menundukkan kepala sebelum menjawab panggilan Sean.
"Ya, Tuan."
Tuan?.
Sean menghela nafas. Ada yang teriris perih saat Ruby memanggilnya dengan sebutan 'Tuan'. Kemana panggilan yang sering Ruby sematkan dulu padanya. 'Sayang atau Mas'. Sean meraup udara dalam-dalam. Benar, semua sudah tak lagi sama selepas ikrar talak yang diucapnya.
"Kau sudah makan?." Tak kuasa berpura-pura abai, pandangan Sean tertuju pada tubuh perempuan yang berdiri diam di sampingnya. Sejenak Sean meneliti penampilan Ruby di balik pakaian kerjanya. Tubuh perempuan itu lebih kurus dari beberapa bulan lalu sebelum pergi dari rumahnya. Selain tubuh, tak ada yang berubah, wajahnya terlihat cantik dan segar meski hanya sedikit tersentuh polesan make up.
"Sudah, Tuan," jawab Ruby lugas.
Sean mengernyit. Bohong. Sean yakin jika Ruby sedang berbohong. Ia melihat ke arah arloji yang melingkar di pergelangan tangan, ini bahkan masih jam dua belas siang dan sedari tadi Ruby-lah yang sudah memasak makan siang untungnya. Jadi fix, Ruby berbohong.
"Baiklah." Sean mulai menyentuh piring, Sigap Ruby menyidukkan nasi putih ke dalam piring milik Sean. Ruby berusaha sekuat mungkin untuk tak melakukan kesalahan meski tak dapat dipungkiri, jika sudut hati terdalamnya ingin berteriak. Ia seakan tak kuat. Apa yang dilakukannya saat ini, dulu menjadi rutinitas hariannya saat masih menjadi istri Sean.
Sean menatap tanpa kedip pada tangan dengan jemari lentik yang kini sedang mencidukkan nasi ke dalam piringnya. Demi apa pun rasanya Sean ingin meraih dan menciumi tangan yang dulu senantiasa memberinya sentuhan mesra. Akan tetap Sean tersadar, jika semua sudah berbeda.
"Terimakasih." Sean masih senantiasa menatap pada Ruby sedangkan perempuan itu sendiri berusaha seprofesional mungkin untuk tidak melibatkan perasaan dalam melakukan pekerjaan.
Ruby lekas mundur beberapa langkah. Mengambil jarak aman dengan pandangan sedikit bergeser dari hadapan Sean. Lagi-lagi pandangan yang didapat seakan meremukan seluruh tulang. Sendok, pisau dan garpu tak disentuh, Sean justru melahap makanan dengan mengunakan tangan, hal tersebut memang kerap Sean lakukan saat berada di hadapan Ruby dan bukan orang lain.
Ruby lekas membuang pandangan. Menghalau rasa tak menentu yang mulai menusuk dalam kalbu.
"Ruby, masakanmu masih sama. Tak ada yang berbeda. Sangat nikmat," puji Sean masih terus menyuapkan makanan ke dalam mulut. Lengan kemeja yang ia singkap sampai ke siku, membuat tonjolan otot lengan Sean terlihat.
Ruby terdiam. Kenapa yang ia fikirkan justru tak sesuai dengan kenyataan, dan kenapa cara bicara Sean terdengar lembut seperti saat mereka masih bersama? Mungkinkah Sean sudah lupa akan peristiwa yang terjadi?.
"Maaf, Tuan. Jika sudah tidak ada yang Tuan inginkan lagi, bolehkah saya keluar lebih dulu dan akan kembali setelah Tuan selesai?." Ruby tak ingin berlama-lama tinggal di satu ruangan yang sama dengan Sean. Ia tak ingin terkurung dalam situasi yang menyesakkan dada.
"Tetap di tempat. Temani aku atau duduklah denganku."
Ruby memejamkan ke dua mata. Demi apa pun, ia membenci berada dalam situasi seperti ini.
💗💗💗💗💗
"Ruby, maafkan aku."
Selepas makan, Sean membawa Ruby untuk duduk di sofa ruang kerjanya. Ruby tak bisa menolak, dan kini ke duanya tengah duduk berdampingan namun tetap berjarak.
"Untuk?."
"Untuk semua yang terjadi pada malam itu. Maaf, karna aku sudah menuduhmu tanpa lebih dulu mendengar penjelasanmu." Sean memiringkan tubuh, ia menatap pada Ruby yang memilih mengarahkan pandangannya ke arah lain.
"Dari dulu bahkan saya sudah memaafkan Tuan." Ada senyum tipis terukir di bibir Ruby, mungkin perempuan itu sudah merasa lega sebab Sean sudah mengetahui semua kebenaran.
Senyum yang terukir di bibir Ruby serta jawaban yang terlontar, rupanya kian menambah rasa bersalah dalam diri Sean. Ruby yang dulu dan sekarang sama sekali tak berubah. Lembut dan pemaaf, meski fitnah kejam pernah didapatnya.
"Ruby, aku- aku rindu," ucap Sean dengan bibir bergetar menahan kelu. Rasa rindu semakin membuncah dalam diri Sean saat Ruby hanya berjarak beberapa jengkal darinya.
Ruby meneguk ludah. Ia lekas menggeser tubuh, menjauh dari Sean.
"Maaf, Ruby. Aku tidak bermaksud lancang, hanya saja aku tidak bisa menahan diri, seakan rasa rindu itu kembali datang saat diri ini kembali berada di dekatmu. Aku memang salah, aku sadar jika kondisinya sekarang tidaklah seperti dulu." Sean kembali menatap Ruby yang masih diam saja. Perempuan itu terlihat tenang. Berbeda dengan dirinya yang hampir meledak-ledak. Resah sebab tak bisa menyentuh Ruby namun juga merasa malu oleh keboodohannya yang tega menceraikan seorang perempuan yang nyata-nyata sama detik ini pun masih teramat ia cinta.
"Ruby, andai waktu dapat diputar, maka seumur hidup tak akan pernah kubiarkan mulut ini mengucap kata pisah apalagi talak untukmu." Sen mengusap wajahnya frustrasi. Sumpah demi apa pun ia menyesal telah mengusap kata talak pada Ruby bahkan dengan begitu lantangnya di hadapan sang ibu dan adiknya.
"Ruby, sungguh aku menyesal telah menceraikanmu. Kau patut membenci atau pun mencaciku, tapi bolehkah aku berharap padamu, Ruby?." Ingin rasanya Sean menyentuh tangan Ruby, menggengamnya dan menempelkannya di dada, agar perempuan itu bisa merasakan degub jantungnya. Akan tetapi Sean tak punya keberanian untuk melakukan hal itu.
"Berharap apa?."
"Berharap, agar kita dapat bersama lagi seperti dulu," jawab Sean dengan menatap ke dua mata Ruby lekat. Sedangkan Ruby, memilih menunduk. Ia tak mampu membalas tatapan mata Sean yang justru membuatnya teringat akan kejadian pedih malam itu.
Tbc.
ama rio dan selena
lha kalau kayak emak seperti diriku iki dengan body yg lebih berisi dak semok yoo harus di permak bb nya juga😁😁😛😛
perlu rasa percaya kepada pasangan sean