John Ailil, pria bule yang pernah mengalami trauma mendalam dalam hubungan asmara, mendapati dirinya terjerat dalam hubungan tak terduga dengan seorang gadis muda yang polos. Pada malam yang tak terkendali, Nadira dalam pengaruh obat, mendatangi John yang berada di bawah pengaruh alkohol. Mereka terlibat one night stand.
Sejak kejadian itu, Nadira terus memburu dan menyatakan keinginannya untuk menikah dengan John, sedangkan John tak ingin berkomitmen menjalin hubungan romantis, apalagi menikah. Saat Nadira berhenti mengejar, menjauh darinya dan membuka hati untuk pria lain, John malah tak terima dan bertekad memiliki Nadira.
Namun, kenyataan mengejutkan terungkap, ternyata Nadira adalah putri dari pria yang pernah hampir menghancurkan perusahaan John. Situasi semakin rumit ketika diketahui bahwa Nadira sedang mengandung anak John.
Bagaimanakah akhir dari kisah cinta mereka? Akankah mereka tetap bersama atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Menahan Rasa
Kembali pada saat ini...
Suara John yang tenang dan penuh keyakinan masih terngiang jelas di telinganya, “Kau baik-baik saja? Jangan takut, kau sudah aman. Sudah, sudah... Aku di sini sekarang. Tidak ada yang akan menyakitimu lagi,” Kata-kata itu terucap dengan tulus, seperti angin sejuk yang menenangkan jiwa yang terluka.
John yang memeluknya, memberi rasa aman yang seumur hidup belum pernah ia rasakan. Saat Nadira menatap mata John, ada sesuatu di sana, keteduhan, perlindungan, dan mungkin, rasa kasih sayang yang membuatnya merasa lebih baik.
"Apa karena itu aku menyukainya?" batinnya, bingung dan terjebak dalam perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Nadira menunduk sambil tersenyum tipis, tersadar bahwa mungkin itulah alasannya, atau mungkin juga ada sesuatu yang lebih dalam yang membuatnya tak bisa jauh dari pria itu.
Usia sarapan, John menatap Nadira, lalu berkata, “Nadira, aku sudah mencari tempat aman untukmu. Ada beberapa pilihan, seperti rumah singgah atau apartemen sementara yang bisa kamu tinggali. Aku bisa membantu biaya sewa sampai kamu punya rencana.”
Nadira tampak terkejut, ia menggigit bibirnya dan melihat John dengan tatapan kecewa. “Om… kenapa tidak boleh di sini saja?"
John menghela napas, berusaha bersikap sabar namun tetap tegas. “Nadira, tempatku ini bukan tempat yang tepat buat kamu tinggal untuk jangka panjang. Aku hanya ingin kamu bisa berdiri di atas kakimu sendiri.”
Nadira menatap John dengan tatapan memelas mengundang iba. “Aku hanya merasa lebih tenang di sini, Om… Please, izinkan aku tetap tinggal di sini, ya?”
John terdiam, dalam hati berkata, "Aku tak boleh lemah karena wajahnya yang memelas. Kalau aku biarkan dia di sini, lama-lama aku akan terlalu terikat… aku tak bisa membiarkan itu terjadi" Ia menghela napas panjang. “Dengar, Nadira. Ini yang terbaik untukmu… dan juga untukku. Aku harap kamu bisa mengerti.”
“Om, aku ingin selamanya bersamamu...” gumam Nadira dengan suara kecil dan nada penuh harap, hampir seperti bisikan. Matanya mengarah pada sosok pria di depannya, yang meski menampilkan ekspresi datar, tetap memberi kesan hangat dan aman yang selama ini tak pernah ia rasakan dari keluarganya. Ia meremas jemarinya sendiri, menahan debar di dadanya, seolah takut permintaan itu akan segera ditolak.
Sejenak, John terdiam mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Nadira. Rasa kaget dan bingung berbaur, namun wajahnya tetap mempertahankan ekspresi tenang. Dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang aneh, sebuah dorongan untuk menghibur Nadira, tetapi ia tidak ingin memberikan harapan yang mungkin akan ia sesali.
“Nadira…” John akhirnya menjawab, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya. “Kau tahu, hidup tidak selalu seperti yang kita harapkan.”
Nadira menatapnya, sepasang mata penuh harap itu mulai berkaca-kaca. “Tapi… aku merasa aman di sini, Om. Lebih aman daripada di mana pun.”
John menarik napas panjang, mencoba menahan perasaan yang terus berkecamuk dalam dirinya. Ia menyadari betapa rapuh gadis itu, betapa ia sangat mendambakan tempat di mana ia bisa merasa diinginkan dan terlindungi. Tapi John tahu, menjaga jarak adalah pilihan terbaik, terutama bagi Nadira.
“Kau butuh waktu untuk sembuh, Nadira. Untuk merasakan apa itu kemandirian,” katanya akhirnya, berusaha terdengar bijaksana. “Dan mungkin… akan ada tempat yang lebih baik untukmu daripada di sini.”
Mendengar itu, Nadira menunduk, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang terpancar dari matanya. Meski tak bisa menahan rasa sedih, ia mengangguk perlahan, berusaha menerima kata-kata John meski hatinya masih berbisik sebaliknya.
***
Di ruang keluarga rumah besar itu, Beno, ayah Nadira, tampak gelisah, duduk dengan raut wajah tegang sambil mengetukkan jari-jarinya di sandaran kursi. Tatapannya tajam, penuh amarah yang tertahan, mengarah pada salah seorang pelayan yang berdiri di hadapannya dengan gugup.
“Di mana Nadira?” tanyanya dengan nada dingin namun menekan, seolah setiap kata bisa memicu ledakan emosi yang tak tertahan.
Pelayan itu menggigit bibir, tampak ragu untuk menjawab. “Maaf, Tuan, saya tidak melihat Nona Nadira sejak kemarin malam. Nona… dia tidak kembali ke kamarnya.”
Beno mendengus kasar, matanya menyipit penuh amarah. Di sampingnya, seorang perempuan anggun namun berwajah sinis, ibu tiri Nadira, Sandra, menyeringai tipis sambil melipat tangan di dadanya.
“Sia-sia saja kita membesarkan anak itu,” desisnya tajam. “Jika dia bahkan tidak bisa memberi manfaat untuk keluarga ini. Kalau begini, untuk apa dia ada di sini?”
Tak jauh dari mereka, Sasha, kakak tiri Nadira, ikut angkat bicara, menyisipkan komentar dengan nada meremehkan. “Iya, Pa, kita harus segera menemukan dia sebelum semuanya terlambat. Rekan bisnis Papa sudah setuju dengan rencana itu. Apa jadinya kalau Nadira kabur begitu saja?”
Beno menatap Sasha sejenak, rahangnya mengeras. “Aku tahu, Sasha. Kita tidak punya waktu banyak. Gadis itu sudah membuat kita menunggu terlalu lama!” Suaranya terdengar semakin geram.
Ia berdiri, berjalan mondar-mandir sejenak, tampak berpikir keras. Kemudian, ia menghadap kembali ke pelayan yang tampak ketakutan. "Panggil Romi kemari!" Pelayan itu hanya bisa mengangguk cepat, kemudian mundur perlahan dan pergi untuk melaksanakan perintah.
Tak lama kemudian seorang pria bertubuh kekar menghadap Beno. "Apa ada tugas untuk saya, Tuan?" tanyanya.
“Kau, cari Nadira! Pergi ke semua tempat yang mungkin ia datangi. Tidak ada alasan untuk kembali sebelum kau menemukannya. Mengerti?” perintah Beno dengan nada dingin.
Romi mengangguk patuh. "Baik, Tuan." Pria itu bergegas pergi melaksanakan perintah Beno.
Sementara itu, Sasha dan Sandra tersenyum penuh arti, seolah menantikan hasil dari pencarian itu.
Beno menghela napas dalam, mencoba menahan amarahnya yang memuncak. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan hubungan bisnisnya. Dan jika itu berarti harus “mengorbankan” Nadira, maka ia akan melakukannya tanpa ragu.
“Kita akan menemukan dia,” gumam Beno pada dirinya sendiri, tekad di matanya tampak begitu kuat. “Dan memastikan dia tidak akan kabur lagi.”
"Selama ini kita tidak mendisiplinkannya, jadi dia tumbuh menjadi liar di luar sana. Pergi pagi-pagi, pulang larut malam. Apa itu perilaku yang pantas untuk seorang anak perempuan?" Sandra berucap dengan nada kecewa, melipat tangannya di depan dada.
Sasha, yang duduk di sebelah ibunya, segera menimpali, "Benar kata Mama. Papa seharusnya membiarkan kami mendidiknya. Karena Papa tidak mengizinkan, dia jadi seperti ini."
Beno menghela napas panjang, menatap kedua wanita itu dengan tatapan lelah. "Bagaimanapun juga, harta yang aku miliki sekarang, enam puluh persen adalah milik ibunya," katanya, berusaha mempertahankan nada tenang meskipun suaranya terdengar penuh beban.
Sandra mendengus kesal. "Apa kamu bersimpati padanya? Karena ibunya? Kita harus menjalin hubungan diam-diam selama bertahun-tahun hanya demi wanita itu! Dia tahu kita saling mencintai, tapi tetap memilih tidak menolak perjodohanmu."
Beno terdiam, menundukkan kepala saat suara Sandra terus menggema di ruangan itu. Sementara itu, Sasha menyeringai kecil, setuju dengan ibunya.
"Kalau saja dari awal Papa tidak terlalu lunak pada anak itu, semuanya tidak akan seperti ini," Sasha menambahkan, menatap ayahnya dengan pandangan penuh tuntutan.
Beno kembali menghela napas, kali ini lebih berat. Kata-kata mereka adalah pengingat pahit dari masa lalu yang tak bisa ia ubah, dan tanggung jawab yang tak pernah berhenti membebani dirinya.
...🍁💦🍁...
To be continued
beno Sandra dan sasa merasa ketar-ketir takut nadira mengambil haknya dan beno Sandra dan sasa jatuh jatuh miskin....
mampus org suruhan beno dihajar sampai babak belur sampai patah tulang masuk rmh sakit....
Akhirnya menyerah org suruhan beno resikonya sangat besar mematai2 nadira dan dihajar abis2an sm anak buahnya pm john....
belajarlah membuka hatimu tuk nadira dan nadira walaupun msh polos dan lugu sangat cocok john sangat patuh n penurut.....
Sampai kapan john akan hidup bayang2 masalalu dan belajar melangkah masa depan bersama nadira....
masak selamanya akan menjadi jomblo abadi/perjaka tuwiiiir🤣🤣🤣😂