Di alam semesta yang dikendalikan oleh Sistem Takdir Universal, setiap kehidupan, keputusan, dan perjalanan antar galaksi diatur oleh kode takdir yang mutlak. Namun, segalanya berubah ketika Arkhzentra, seorang penjelajah dari koloni kecil Caelum, menemukan Penulis Takdir, alat kuno yang memberinya kekuatan untuk membaca dan memanipulasi sistem tersebut.
Kini, ia menjadi target Kekaisaran Teknologi Timur, yang ingin menggunakannya untuk memperkuat dominasi mereka, dan Aliansi Bintang Barat, yang percaya bahwa ia adalah kunci untuk menghancurkan tirani sistem. Tapi ancaman terbesar bukanlah dua kekuatan ini, melainkan kesadaran buatan Takdir Kode itu sendiri, yang memiliki rencana gelap untuk menghancurkan kehidupan organik demi kesempurnaan algoritmik.i
Arkhzentra harus melintasi galaksi, bertarung melawan musuh yang tak terhitung, dan menghadapi dilema besar: menghancurkan sistem yang menjaga keseimb
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dimensi yang Hilang
Dimensi Tanpa Akhir
Ark melayang di dalam dimensi Corestar, menghadapi ujian traumatis dari kehendak kosmik Corestar. Ia harus memilih antara menyerahkan kemanusiaannya untuk harmoni atau mempertahankan kebebasannya, dengan risiko kehilangan segalanya.
Cahaya biru berkedip pelan di sekeliling Arkhzentra. Ia melayang tanpa arah di ruang yang tampaknya tak berujung. Tidak ada lantai, tidak ada langit, hanya kehampaan bercahaya dengan pola acak yang terus berubah. Thummm... thummm... Ritme berat itu terdengar, seperti suara jantung raksasa yang berdenyut di kejauhan, menggetarkan udara yang sebenarnya tidak ada.
Tubuh Ark terasa aneh. Ia merasakan kehadiran fisiknya, tetapi setiap gerakan yang ia coba lakukan terasa terhenti sebelum terlaksana. Ia mengulurkan tangan ke depan, atau setidaknya ia pikir ia melakukannya. Tidak ada yang terjadi. Udara di sekitarnya seperti menahan gerakannya, membuatnya merasa seperti bayangan dirinya sendiri.
“Apa ini...” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia bahkan tidak yakin ia mengucapkannya.
Di tempat itu, suara bukanlah sesuatu yang terjadi di udara. Semua bunyi datang dari dalam dirinya, dari pikirannya, seperti gema yang ia ciptakan sendiri.
“Corestar,” panggilnya, mencoba lebih keras. Kali ini, suara itu terasa lebih nyata, bergema di ruang hampa yang mengelilinginya.
“Arkhzentra.”
Suara itu datang dari segala arah sekaligus. Lembut tetapi penuh kekuatan, seperti angin sejuk yang bisa memecahkan batu. Cahaya biru di sekelilingnya mulai berkumpul di satu titik, membentuk bola bercahaya yang berdenyut. Zzzzt... dum. Bola itu melayang mendekat, berhenti hanya beberapa meter darinya.
“Kau telah memasuki kehendakku,” suara itu melanjutkan, meskipun bibir bola cahaya itu tidak bergerak. “Aku adalah inti keseimbangan. Kehendak yang memelihara dimensi ini. Dan kau telah membawa fragmenku kembali ke rumah.”
Ark menatap bola itu, napasnya perlahan. Meski ia merasa ringan, tubuhnya mulai terasa berat oleh tekanan kata-kata itu.
“Kalau begitu, biarkan aku pergi,” katanya. “Aku telah melakukan bagian tugasku. Aku tidak perlu di sini lebih lama lagi.”
“Tidak semudah itu, Arkhzentra,” jawab Corestar. “Kehadiranmu di sini telah mengubah kehendakku. Harmoni membutuhkan penjaga. Aku harus tahu apakah kau layak menjadi bagian dari keseimbangan ini.”
“Keseimbangan?” Ark mengernyitkan dahi. “Aku tidak peduli dengan keseimbanganmu. Yang aku pedulikan adalah menghentikan Velkarith sebelum dia menghancurkan semuanya.”
“Apakah kau tahu apa yang kau katakan?” Corestar bertanya, suaranya terdengar lebih berat. “Keseimbangan adalah segalanya. Tanpanya, tidak ada yang bisa bertahan.”
Trauma Masa Lalu
Cahaya biru di sekitar Ark tiba-tiba berubah. Gelombang warna biru memudar, menggantinya dengan hitam pekat. Woooosh... Udara terasa berat dan dingin. Ark menemukan dirinya berdiri di tengah reruntuhan, tanah yang hancur di bawah kakinya terasa nyata. Di sekelilingnya, api berkobar, menciptakan suara gemuruh. Craaaaak... Boom!
Ia mengenali tempat itu. Caelum. Kota kelahirannya.
“Tidak...” bisiknya, matanya melebar. “Ini sudah terjadi. Ini tidak nyata.”
Jeritan terdengar dari segala arah. Aaaahhh! Sosok-sosok samar berlarian di antara api dan asap, bayangan mereka seperti hantu yang tak terjangkau. Di tengah kekacauan itu, Ark melihat seseorang. Seorang gadis kecil dengan rambut kotor dan wajah penuh debu. Lianne. Adiknya.
“Kak Ark!” serunya, suara itu nyaris tenggelam oleh gemuruh kehancuran.
Ark bergerak maju, tubuhnya terasa lebih berat dengan setiap langkah. Ia mencoba meraih gadis itu, tetapi setiap kali ia mendekat, jaraknya semakin jauh.
“Kenapa kau tidak menyelamatkan aku?” suara gadis itu berubah. Bukan suara Lianne yang ia ingat, tetapi suara yang lebih tua, lebih dingin.
Ark berhenti, tubuhnya gemetar. “Aku... aku sudah mencoba,” katanya.
“Tidak cukup,” suara itu berbisik. “Kau tidak pernah cukup.”
Dialog Filosofis
Cahaya biru kembali mengelilinginya, menghapus bayangan kota yang terbakar. Ark mendapati dirinya kembali melayang di kehampaan.
“Kau gagal menyelamatkan kotamu,” kata Corestar, suaranya dingin. “Apa yang membuatmu berpikir kau bisa menyelamatkan semesta?”
Ark mengepalkan tinjunya, rahangnya mengeras. “Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Aku tidak akan menyerah.”
“Tidak ada gunanya berjuang melawan kehendak yang lebih besar,” Corestar menimpali. “Lemurian mencoba menjadi lebih dari yang seharusnya, dan mereka hancur. Velkarith adalah warisan mereka. Begitu pula kau.”
“Kalau begitu, aku akan menghancurkan warisan itu,” balas Ark, suaranya penuh kemarahan.
“Dan menggantinya dengan apa? Kekacauan tanpa akhir?” Corestar menantang. “Aku bisa memberikanmu cara untuk menghentikan Velkarith. Menjadi bagian dari keseimbangan ini. Tetapi kau harus menyerahkan kehendakmu.”
Ark terdiam. Kata-kata Corestar bergema dalam pikirannya, menciptakan suara berat yang tak bisa ia abaikan.
Kehendak Kosmik
Corestar mengubah ruang di sekitarnya lagi. Kali ini, Ark melihat dirinya sendiri. Tetapi bukan dirinya yang sekarang. Sosok itu terlihat damai, tanpa kemarahan atau rasa sakit.
“Ini adalah dirimu yang menerima harmoni,” kata Corestar. “Dirimu tanpa beban.”
Ark menatap versi dirinya itu dengan jijik. “Itu bukan aku.”
“Tidak,” jawab Corestar, nadanya tenang. “Tetapi itu bisa menjadi kau.”
Sosok itu menatap Ark dengan senyuman kecil. “Hidup tanpa penderitaan,” katanya. “Tanpa rasa sakit. Kau bisa menghentikan Velkarith. Menghentikan segalanya. Tetapi kau harus melepaskan semua yang membuatmu manusia.”
Ark merasa hatinya berdebar keras. Thump-thump-thump. Kata-kata itu menekannya seperti beban besar. Tetapi ia tahu jawabannya.
“Tidak,” katanya akhirnya, suaranya tegas. “Aku tidak akan menyerahkan kemanusiaanku. Kalau itu artinya aku harus terus berjuang, maka aku akan melakukannya.”
Corestar terdiam. Untuk beberapa saat, hanya ada suara ritme berat yang mengisi kehampaan.
“Kau memahami kehendakmu,” kata Corestar akhirnya. “Kau memilih jalan yang sulit. Tetapi pilihanmu adalah milikmu sendiri.”
Cahaya biru mulai berkumpul di sekitar Ark, membentuk lingkaran yang semakin kecil.
“Pergilah, Arkhzentra. Pertarunganmu belum selesai.”
Ark merasa tubuhnya ditarik dengan kecepatan tinggi. Vrooooom! Cahaya biru berubah menjadi putih terang, menyilaukannya. Ia tidak tahu ke mana ia pergi, tetapi ia tahu satu hal: ia belum selesai.
Cahaya biru di sekeliling Ark berpendar semakin terang, menekan pandangannya hingga hanya ada kilatan putih yang menyilaukan. Wooooosh... Ziiiing! Tubuhnya seolah melesat dengan kecepatan yang sulit dijelaskan. Ia tidak tahu apakah ia sedang bergerak maju, mundur, atau tetap di tempat yang sama. Sensasi itu membuat pikirannya bercampur antara ketakutan dan ketegangan, seperti berada di tepi kehancuran tetapi juga di ambang kebangkitan.
“Apa yang terjadi padaku?” gumamnya, meski ia tidak yakin ada yang mendengar.
“Aku sedang melihat ke dalam jiwamu,” jawab suara Corestar, lembut tetapi menghantam seperti palu. “Setiap keputusan, setiap keraguan, semua menjadi bagian dari ujian ini.”
Ark mencoba membuka mulutnya untuk membalas, tetapi ia terdiam ketika ruang di sekelilingnya berubah lagi. Kali ini, ia berdiri di hutan. Daun-daun hijau yang tebal melingkupinya, gemerisik lembut seperti bisikan. Crak-crak-crak... Suara ranting patah terdengar di kejauhan. Angin hangat menyentuh wajahnya, membawa aroma manis yang aneh.
“Aku kenal tempat ini...” bisiknya, matanya menyipit mencoba mengenali lingkungan itu. “Ini tempatku dulu bermain dengan Lianne...”
Suara Corestar kembali, tetapi kali ini lebih tenang. “Kenangan ini adalah momen terakhir di mana kau merasa damai. Sebelum semuanya hancur. Sebelum kau menjadi Arkhzentra yang kau kenal sekarang.”
Ark mengepalkan tinjunya. “Kenapa kau menunjukkan ini padaku? Ini tidak ada hubungannya dengan apa yang terjadi sekarang.”
“Tentu saja ada,” jawab Corestar. Cahaya biru mulai berkumpul di antara pepohonan, membentuk sosok yang menyerupai Lianne. Gadis kecil itu memandang Ark dengan mata besar penuh harapan. “Kau tidak akan pernah bisa menyelamatkan orang lain sampai kau berdamai dengan apa yang hilang.”
“Aku tidak bisa menyelamatkan Lianne,” kata Ark dengan suara berat. “Tapi aku tidak akan kehilangan orang lain lagi. Tidak Lyrientha. Tidak Rhaegenth. Tidak siapa pun.”
Sosok Lianne tersenyum kecil sebelum menghilang, dan hutan perlahan memudar kembali menjadi kehampaan. Corestar berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih dalam. “Kau menolak menyerah pada masa lalumu, dan kau memilih untuk tidak menyerahkan kehendakmu. Pilihan ini akan mengikat nasibmu dengan apa yang akan datang.”
“Kalau begitu biarkan aku pergi,” Ark membalas dengan tajam. “Aku punya pertarungan yang harus aku selesaikan.”
“Pergilah,” Corestar akhirnya berkata, tetapi dengan nada yang lebih hangat. “Dan bawa kehendakmu ke dunia luar.”
Cahaya biru semakin menyilaukan. Ark merasakan gravitasi yang tiba-tiba menarik tubuhnya, membuatnya terlempar dengan kecepatan tinggi. Suara angin berdesing di telinganya. Whooooshhh! Dalam kekacauan itu, ia hanya bisa memikirkan satu hal: menemukan jalan kembali ke teman-temannya.