--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 4
Xavier turun dari mobilnya menembus hujan, Proka meneriakinya tapi tak digubris. Payung yang disodorkan tidak berguna, tuannya berlari cepat entah ke mana.
“Hey! Tunggu!” teriak Xavier. Tapi ... “Ah, sial!”
Wanita berjubah itu lebih cepat dari yang dia duga. Menghilang menembus gelap melalui celah bangunan yang berhimpitan.
Proka datang tergopoh dengan payung yang hanya dipakai sendiri. “Sebenarnya siapa yang Anda cari, Tuan?”
“Seseorang yang mungkin bisa menyembuhkan kutukanku!” jawab Xavier sembari berbalik badan, kembali ke jalanan depan.
Proka celingukan ke belakang, tapi gegas mengejar Xavier setelah tak melihat apa pun di sekitaran.
Di jalanan semula, perhatian Xavier terganggu lagi.
“Orang itu!" Arahnya berbelok ke emperan toko, menghampiri orang yang diobati perempuan misterius yang dikejarnya, masih duduk di tempat sama menunggu hujan mereda.
“Paman, apa Anda mengenal wanita bertopeng tadi?”
Bukannya menjawab, lelaki tua itu malah meringiskan wajahnya lalu beringsut.
Xavier sadar dirinya terlalu impulsif dan bersemangat sampai lupa pada pribadi yang biasa menahan diri.
Paman itu pasti menyadari siapa dia dari aroma tubuh yang menyengat hidung.
Lekas Xavier menjauhkan diri.
“Aku hanya bertanya, bukan untuk menakuti Paman. Bisa Paman menjawab pertanyaanku?”
Pasang mata pria tua itu menatap Xavier dengan wajah mendongak. “Tidak. Aku bahkan tidak tahu dari mana datangnya. Dia menyembuhkan kakiku yang terkilir jatuh saat aku turun dari angkutan, hanya dengan usapan telapak tangannya." Jawaban yang lancar dan sangat jelas.
“Terima kasih atas jawaban Paman. Aku hanya butuh itu. Permisi. Ayo, Proka!”
Proka sigap menuju mobil, membukakan pintu untuk tuannya. “Apa kita perlu pergi ke toko untuk mengganti pakaian Anda, Tuan?”
Baju Xavier dalam keadaan kuyup.
“Tidak perlu. Kita kembali saja.”
“Baik!”
Dari sebuah sisi yang cukup gelap, seseorang mengintip, menatap mobil Xavier yang mulai jauh.
“Untuk apa dia mengejarku?” ~Wanita bertopeng.
...----------------...
Esok harinya ....
Xavier sudah bersiap dengan tampilan rapi.
Hari ini adalah hari di mana dia akan dipertemukan dengan Putri Ashiana, calon istrinya di istana Kaisar.
Luhde mengantar sampai Xavier memasuki mobilnya. “Semoga semua berjalan baik, Tuan Muda.”
“Tentu saja," jawab Xavier. “Meski kutukanku bertambah dengan menikahi putri yang sakit itu, hidupku tidak akan banyak berubah, Luhde.”
Luhde hanya tersenyum menyikapi balasan tuan yang lebih muda dari dirinya, lalu berseru pada Proka, ”Kau hati-hatilah mengendarai mobil.”
“Baik, Paman Asisten," jawab semangat Proka sembari meletakkan tangan di pelipis, membentuk hormat. “Kami pergi. Kau bekerjalah yang baik, Paman!”
WUSSHH!
Mobil melaju kencang meninggalkan halaman rumah.
“Anak itu!” Luhde menggeleng, lalu mendesah panjang. “Kali ini aku harus bekerja keras.”
Xavier memberinya tugas tambahan---mencari identitas wanita bertopeng, harus sampai dapat.
°
°
Sampai di istana.
Kali ini tidak banyak yang hadir, hanya ada keluarga Kaisar.
Meskipun nama putri Ashiana dan bagaimana kondisinya cukup terkenal di seantero Zorg, tapi wujud dan tampilan gadis itu, selain pihak istana, tidak ada yang tahu. Termasuk Xavier sendiri yang hanya seorang panglima pengganti.
Tidak mencuatkan ekspektasi apa pun dalam pikiran, tapi Xavier berhasil menelan ludah. Gegas dia memalingkan wajah kembali ke posisi lurus, tatapannya jatuh ke lantai. Baru saja dia melihat sosok yang akan menjadi istrinya dalam waktu dekat.
“Silakan mendekat pada calon suamimu, Putri.” Dengan suara dan senyum yang tetap tenang, Bjorn Philaret berkata pada keponakannya.
Dua dayang di kiri dan kanan Ashiana membawa putri itu pada Xavier yang kini berdiri diam di bawah singgasana Kaisar.
“Lepaskan dia!” titah Kaisar lagi pada kedua dayang, lalu keduanya pun menjauh setelah itu, meninggalkan Ashiana di samping calon pengantinnya.
Saat itu juga ....
GREB!
Xavier melebarkan mata, terkejut saat tiba-tiba Ashiana menubrukkan diri, merapat ke dada dan perutnya dengan dua tangan mengalungi leher.
Proka yang menunggu di sudut sedikit jauh juga ikut terkejut.
Xavier menelan ludah kedua kali.
Ashiana, dengan wajah polos seperti bocah, mendongak ke wajah Xavier. Tidak ada secarik pun kata kecuali kedip-kedip yang seolah sedang memindai.
“Pu-putri.” Untuk sesaat Xavier hanya bisa diam dalam situasi itu.
Di masing-masing posisi, Kaisar Bjorn dan Ratu Jennefit saling melempar pandang sembari mengulas senyuman puas.
“Sepertinya Asha sangat menyukaimu," kata Kaisar.
Asha, panggilan pendek Ashiana di lingkup keluarganya.
Xavier masih dalam keterkejutan.
Dari sorot mata Jennefit, mendefinisikan sebuah makna yang bergaung dalam benaknya, “Akhirnya bocah gila itu akan keluar dari istana.”
Dan Xavier lagi-lagi melihat itu walau sekilas, dia cukup andal dalam memindai ekspresi orang, jadilah sesuatu yang mengejutkan dia lakukan. Raut terkejut dia hapus dari wajahnya, berganti menjadi senyuman hangat.
“Tentu saja, Yang Mulia," dia mengiyakan kalimat yang tadi diujarkan Kaisar. “Dan aku juga langsung menyukainya.” Pinggang Ashiana digamitnya mendekat. “Ternyata putri secantik ini.”
Semua terperangah lalu tergagap, termasuk di sana ada Putra Mahkota Arion, pemuda itu sampai memajukan tubuh dari ketenangan bersandar kursi.
Juga ada putri Anolla--- adik Arion yang baru kembali dari liburan. Ini kali pertama Anolla melihat wujud seorang Xavier. “Dia sangat tampan.”
Tapi lagi-lagi bau kutukan menjadi penutup segala pujian.
“Nampak sudah wujud asli mereka dalam hitungan detik," cibir Xavier di dalam hati. “Seharusnya mereka tidak memasang wajah seterkejut itu.”
“K-kau langsung menyukainya?” Jennefit bertanya kaku.
“Benar, Yang Mulia Ratu. Lebih dari itu, sepertinya aku sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.”
Jennefit menelan ludah.
“Syukurlah kalau kalian cocok." Kaisar mengalihkan keterbataan Ratu Jennefit. “Dengan begini aku tidak akan cemas lagi, Asha akan bersama orang yang tepat.”
“O-oh, ya. Iya, benar. Aku sangat senang sampai sulit berkata-kata.” Raut wajah Jennefit langsung dirubahnya menjadi senang, sadar ekspresi terkejutnya tersampaikan sedikit berlebihan.
Xavier hanya memulas senyum, lalu memutuskan keadaan dengan, “Mohon maaf, Yang Mulia. Saya harus segera undur diri. Pelatihan keprajuritan akan dimulai sebentar lagi.”
Kaisar menjawab tanggap, “Tentu saja, Kapten. Kau bisa kembali pada tugasmu. Yang terpenting aku sudah mempertemukan kalian secara langsung dan tak disangka kau bahkan bisa tertarik cepat pada keponakanku. Itu sungguh luar biasa.”
Senyum Xavier terpulas tenang.
“Terima kasih, Yang Mulia, saya merasa sangat terhormat. Tolong jaga putri untukku sampai hari pernikahan kami tiba.” Wajah tulus Xavier terus berpendar menyilaukan semua mata.
“Tentu! Tentu saja. Asha akan selalu dalam penjagaan terbaik kami," tanggap Kaisar.
“Terima kasih.”
Detik berikutnya, yang dilakukan Xavier lebih mengejutkan dari yang tadi.
Sebuah kecupan didaratkan di kening Ashiana, sampai tatapan polos wanita itu menjadi sedikit bingung.
“Aku harus kembali, calon istriku. Tolong jaga dirimu.” Dilepasnya rangkulan Ashiana, lalu mengkode dua dayangnya untuk mendekat.
Keadaan menjadi beku karena perbuatannya, termasuk dayang-dayang itu. Mereka sadar setelah mendapat tepukan seorang pelayan pria di belakangnya. “Ambil putri kembali.”
“Ba-baik!” Keduanya melanting cepat sesuai titah.
Tidak terkecuali Proka, matanya sampai sulit berkedip saking pemandangan itu tidak biasa sejauh dirinya mengenal Xavier.
“Saya pamit, Yang Mulia." Xavier membungkuk hormat, lalu berbalik badan setelah mendapat anggukan persilakan dari Kaisar.
Proka cepat tanggap atas gestur mata Xavier. Sesaat membungkuk hormat pada Kaisar dan istrinya, lalu mengekor tuannya dari belakang.
Sepeninggal Xavier, Ashiana langsung dibawa kembali dua pelayannya ke dalam kamar.
Semua pelayan dan para penjaga diminta pergi oleh Kaisar.
Menyisakan dirinya, Jennefit, Putra Mahkota dan adiknya, Putri Anolla. Tentu saja mereka akan membahas yang baru saja terjadi.
Dan Jennefit yang pertama meluapkan perasaannya.
“Bagaimana kalau saat mereka menikah, Ashiana sungguh bisa hamil dan melahirkan bayi laki-laki?! Posisi kita akan terancam!”
Kaisar Bjorn bangkit dari kursinya dan menatap lurus ke depan dengan tangan terkait di balik punggung. “Jangan berlebihan dulu. Aku yakin Xavier hanya bermain kamuflase untuk menutupi perasaan yang sebenarnya. Meski dengan kutukan yang seperti itu, dia pria sehat yang pasti tidak akan sudi menyentuh seorang wanita gila.”
“Ayah benar. Aku yakin Xavier hanya bersikap naif di depan saja.” Putra Mahkota berkicau, mendukung asumsi ayahnya.
Sampai Putri Anolla yang masih berusia 19 tahun ambil bagian, “Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Bisa saja Panglima membuat Kak Asha sembuh dan mereka sungguh bisa membangun keluarga utuh.” Gadis ini tersenyum menatap setitik pemandangan yang entah apa. “Kak Asha bahkan tidak terganggu dengan bau menyengat dari tubuh Panglima.” Dengan perangainya, seraya tersenyum, dia berlalu santai meninggalkan kedua orang tua dan kakaknya yang melotot dengan pikiran penuh.
“Dalam obsesi ... ada banyak ketakutan. Sadarlah, kalian terlalu konyol.” ~Anolla.
Tujuan Kaisar; memutus keturunan Eugen Philaret.
Di tangan Xavier, berubah menjadi tanah mematikan ( untuk musuh2nya )...
/Drool//Drool//Drool/
👍