Di puncak Gunung Kunlun yang sakral, tersimpan rahasia kuno yang telah terlupakan selama ribuan tahun. Seorang pemuda bernama Wei Xialong (魏霞龙), seorang mahasiswa biasa dari dunia modern, secara misterius terlempar ke tubuh seorang pangeran muda yang dikutuk di Kekaisaran Tianchao. Pangeran ini, yang dulunya dipandang rendah karena tidak memiliki kemampuan mengendalikan Qi surgawi, menyimpan sebuah rahasia besar: dalam tubuhnya mengalir darah para Dewa Pedang Kuno yang telah punah.
Melalui sebuah pertemuan takdir dengan sebilah pedang kuno bernama "天剑" (Tian Jian - Pedang Surgawi), Wei Xialong menemukan bahwa kutukan yang dianggap sebagai kelemahannya justru adalah pemberian terakhir dari para Dewa Pedang. Dengan kebangkitan kekuatannya, Wei Xialong memulai perjalanan untuk mengungkap misteri masa lalunya, melindungi kekaisarannya dari ancaman iblis kuno, dan mencari jawaban atas pertanyaan terbesarnya: mengapa ia dipilih untuk mewarisi teknik pedang legendaris ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaiiStory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persimpangan Takdir 命运的十字路口
Bulan merah di langit malam perlahan tertutup awan gelap, seolah langit sendiri tidak sanggup menyaksikan drama yang akan terungkap. Di halaman Kuil Seribu Bayangan, tiga sosok masih berdiri dalam ketegangan—membentuk segitiga takdir yang akan mengubah sejarah dunia kultivasi selamanya.
"Ibu tidak perlu melakukan ini," Wei Tianfeng—atau lebih tepatnya, Kaisar Ular yang mengendalikan tubuhnya—tersenyum dingin. "Bukankah sudah cukup pengorbanan yang ibu lakukan selama ini?"
Selir Yang menggenggam Pedang Bulan Perak lebih erat, matanya berkaca-kaca. "Justru karena ibu telah mengorbankan terlalu banyak, ibu tidak bisa membiarkan pengorbanan itu sia-sia."
"Pengorbanan?" Xialong mengernyitkan dahi. Ada sesuatu dalam nada suara ibunya yang mengisyaratkan rahasia yang lebih dalam.
Tawa Tianfeng menggema di udara malam. "Oh? Dia belum memberitahumu?" Matanya yang kini berkilat kekuningan menatap tajam ke arah Xialong. "Tentang bagaimana dia mengorbankan setengah nyawanya untuk memecah reinkarnasi Dewa Pedang menjadi dua?"
Dunia seolah berhenti berputar. Xialong menatap ibunya, mencari bantahan, namun yang ia temukan hanya air mata yang mengalir di pipi wanita anggun itu.
"Ya, Xialong," Selir Yang berbisik pedih. "Kau dan Tianfeng... kalian berdua adalah pecahan dari jiwa yang sama. Dua sisi dari koin yang sama."
Tian Jian bergetar hebat di tangan Xialong, seolah merespons kebenaran yang terungkap. Potongan-potongan puzzle mulai tersusun dalam benaknya—mengapa ia dan Tianfeng selalu memiliki hubungan yang kompleks, mengapa Tianfeng begitu membencinya, dan mengapa...
"Mengapa aku tidak bisa menggunakan Qi sedangkan dia begitu berbakat," Xialong menyelesaikan pemikirannya dengan suara tercekat. "Karena kekuatan itu terbelah..."
"Tepat sekali, adik kecil," Tianfeng mengangkat tangannya, dan energi hitam membentuk pedang gelap yang merupakan cerminan gelap dari Tian Jian. "Ketika ibu kita yang tercinta memecah reinkarnasi Dewa Pedang, dia membagi tidak hanya jiwa, tapi juga kekuatan. Kau mendapatkan kemurnian dan kebijaksanaan..." mata ularnya berkilat berbahaya, "sementara aku mendapatkan ambisi dan kekuatan mentah."
"Tapi kenapa?" Xialong berpaling pada ibunya. "Kenapa ibu melakukan ini?"
Selir Yang mengambil napas dalam. "Karena ramalan kuno mengatakan bahwa reinkarnasi Dewa Pedang akan membawa kehancuran atau penyelamatan—tergantung pilihan yang ia buat. Ibu... ibu tidak bisa membiarkan takdir dunia bergantung pada satu pilihan. Dengan memecah jiwamu..." air matanya jatuh, "setidaknya ada kesempatan bahwa salah satu dari kalian akan memilih jalan yang benar."
"Dan lihat apa yang terjadi," Tianfeng tertawa keras. "Salah satu dari kami memang memilih jalan yang berbeda. Tapi apakah itu jalan yang 'benar'? Siapa yang berhak menentukan apa yang benar dan salah?"
Mendadak, langit menggelap sepenuhnya. Awan-awan hitam berputar di atas kuil, membentuk pusaran energi jahat yang membuat udara terasa berat. Dari kegelapan, sosok-sosok bermunculan—puluhan kultivator berjubah hitam dengan topeng ular.
"Perkenalkan," Tianfeng membentangkan tangannya. "Klan Ular Hitam yang sebenarnya. Mereka yang telah setia menunggu selama berabad-abad, bersembunyi di antara rakyat biasa, menanti kebangkitan yang sejati."
Xialong dan ibunya seketika berdiri punggung-memunggung, dikelilingi oleh musuh yang jumlahnya jauh lebih banyak dari yang mereka duga. Tian Jian dan Pedang Bulan Perak bersinar terang dalam kegelapan, seperti dua bintang yang menolak padam.
"Dan sekarang," Tianfeng melanjutkan, "kalian akan menyaksikan rahasia terakhir yang bahkan Selir Yang yang agung tidak ketahui." Ia mengeluarkan gulungan kuno yang dicuri, membukanya perlahan. "Tentang mengapa Kaisar Ular memilih tubuhku sebagai wadah."
Huruf-huruf kuno di gulungan itu mulai bersinar dalam cahaya ungu yang tidak alami. Tianfeng membacanya dengan suara yang semakin dalam dan bergema, seolah ribuan suara berbicara bersamaan:
"Ketika bulan berdarah membelah langit malam, Dua jiwa yang terpisah akan menemukan takdir, Yang satu membawa cahaya, yang lain kegelapan, Namun hanya dalam persatuan terletak kekuatan sejati. Karena mereka yang terbagi tidak akan pernah utuh, Hingga pengorbanan terakhir membuka pintu..."
"Ramalan ini," Selir Yang terkesiap. "Tidak mungkin..."
"Oh, sangat mungkin, ibu tersayang," Tianfeng tersenyum kejam. "Dengan memecah jiwa Dewa Pedang, ibu justru menciptakan kondisi sempurna untuk kebangkitan Kaisar Ular. Karena yang ia butuhkan bukanlah wadah yang dipenuhi dendam..." ia mengacungkan pedang gelapnya ke arah Xialong, "tapi sepasang jiwa yang terpisah, yang ketika bersatu akan membuka gerbang ke kekuatan yang bahkan para Dewa takutkan."
Tepat saat itu, formasi Klan Ular Hitam aktif. Lingkaran-lingkaran segel kuno muncul di tanah, memancarkan cahaya ungu yang sama dengan tulisan di gulungan. Xialong merasakan tarikan kuat pada jiwanya, seolah ada tali tak terlihat yang menariknya ke arah Tianfeng.
"Tidak!" Selir Yang bergerak cepat, Pedang Bulan Perak menebas udara dalam arc keperakan. "Aku tidak akan membiarkan kalian mengorbankan anak-anakku!"
Namun serangannya tertahan oleh barrier energi yang dibentuk oleh puluhan kultivator Klan Ular Hitam. Satu per satu, mereka membuka topeng mereka, menampilkan wajah-wajah familiar—pejabat istana, jenderal, bahkan beberapa pelayan yang selama ini melayani keluarga kerajaan.
"Terkejut?" Tianfeng tertawa. "Selama ribuan tahun, kami telah menyusup ke setiap lapisan masyarakat. Menunggu, mengamati, mempersiapkan momen ini."
Xialong mencoba melawan tarikan energi itu, tapi semakin ia melawan, semakin kuat tarikannya. Tian Jian bersinar semakin terang di tangannya, seolah mencoba membantu, namun bahkan pedang legendaris itu tampak kewalahan menghadapi kekuatan kuno yang telah dipersiapkan selama ribuan tahun.
"Ibu," ia berteriak di tengah angin kencang yang mulai berputar di sekitar mereka. "Apa yang harus kulakukan?"
Selir Yang, masih berusaha mempertahankan barrier-nya sendiri, menatap putra bungsunya dengan air mata yang tak terbendung. "Maafkan ibu, Xialong. Ibu pikir dengan memisahkan kalian, ibu bisa mencegah takdir ini. Tapi ternyata..." ia terisak, "ibu justru membuat segalanya lebih buruk."
"Tidak ada yang bisa mencegah takdir!" Tianfeng mengangkat pedang gelapnya tinggi-tinggi. "Saatnya untuk menyatukan apa yang seharusnya tidak pernah terpisah!"
Energi hitam dari pedangnya melesat seperti ular yang menyerang, mengikat tubuh Xialong dalam lilitan yang tidak bisa dilepaskan. Bersamaan dengan itu, sosok Kaisar Ular yang transparan mulai muncul di belakang Tianfeng, semakin solid dengan setiap detik yang berlalu.
"Tidakkkkk!" jeritan Selir Yang membelah malam ketika tubuh Xialong mulai terangkat ke udara, tertarik ke arah Tianfeng oleh kekuatan yang jauh melampaui kemampuannya untuk melawan.
Namun di tengah kekacauan itu, sesuatu yang aneh terjadi. Tian Jian dan pedang gelap Tianfeng mulai beresonansi, menghasilkan nada yang membuat seluruh barrier energi bergetar. Xialong merasakan ingatan-ingatan asing membanjiri benaknya—tapi kali ini bukan hanya dari kehidupan lamanya sebagai Dewa Pedang.
Ia melihat Tianfeng kecil yang kesepian, berlatih pedang sendirian di tengah malam. Ia melihat tatapan iri kakaknya setiap kali Selir Yang memeluknya dengan kasih sayang. Ia melihat pertarungan demi pertarungan yang Tianfeng menangkan, namun tetap merasa kosong di dalam. Dan yang paling menyakitkan—ia melihat momen ketika Kaisar Ular pertama kali membisikkan janji-janji manis ke telinga kakaknya yang rapuh.
"Kakak..." Xialong berbisik, air mata mengalir di pipinya. "Maafkan aku..."
Sesuatu dalam suaranya membuat Tianfeng tersentak. Untuk sesaat, kilatan ular di matanya memudar, digantikan oleh kebingungan yang sangat manusiawi. "Xiao... long?"
Moment keraguan itu tidak berlangsung lama. Sosok Kaisar Ular di belakang Tianfeng menggeram marah, mencengkeram pundak wadahnya dengan cakar energi hitam. "Jangan biarkan dia mempengaruhimu! Ingat apa yang telah mereka lakukan padamu!"
Namun benih keraguan telah tertanam. Resonansi antara kedua pedang semakin kuat, menciptakan melodi aneh yang terdengar seperti lagu tidur kuno—lagu yang dulu sering Selir Yang nyanyikan untuk mereka berdua.
Selir Yang, melihat perubahan ini, tiba-tiba memahami sesuatu. Dengan gerakan cepat, ia menusukkan Pedang Bulan Perak ke tanah, tepat di tengah formasi. "Anak-anakku," suaranya bergetar namun tegas. "Ibu akhirnya mengerti. Ramalan itu benar—kekuatan sejati memang terletak dalam persatuan. Tapi bukan persatuan yang dipaksakan oleh kebencian..."
Pedang Bulan Perak mulai bersinar semakin terang, memancarkan energi keperakan yang membentuk ribuan benang cahaya. Benang-benang itu melilit ke sekeliling Xialong dan Tianfeng, menghubungkan mereka berdua dengan cara yang berbeda dari tarikan gelap Klan Ular Hitam.
"...melainkan persatuan yang lahir dari pengertian dan penerimaan."
Saat cahaya keperakan itu menyentuh mereka, baik Xialong maupun Tianfeng dikejutkan oleh gelombang emosi dan memori yang lebih kuat dari sebelumnya. Namun kali ini, mereka tidak hanya melihat kesedihan dan penderitaan satu sama lain—mereka juga merasakan kasih sayang tersembunyi, kerinduan akan persaudaraan yang tidak pernah mereka miliki, dan yang paling penting... pengharapan akan penebusan.
Di tengah badai energi yang semakin kacau, dua saudara yang terpisah oleh takdir akhirnya mulai memahami kebenaran terdalam, bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada penyatuan fisik atau spiritual semata, melainkan pada penerimaan akan dualitas dalam diri mereka sendiri.
Namun apakah pemahaman ini datang terlampau terlambat? Karena tepat saat cahaya keperakan Pedang Bulan Perak mencapai puncaknya, sosok Kaisar Ular mengeluarkan raungan murka yang mengguncang fondasi kuil itu sendiri. Pertarungan sejati... baru akan dimulai.