NovelToon NovelToon
Serat Wening Ening Kasmaran

Serat Wening Ening Kasmaran

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Mengubah Takdir
Popularitas:971
Nilai: 5
Nama Author: RizkaHs

Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.

Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ꦲꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀

Sawata salah mênggêni kaputusan, kakuwasan binasa.

Pada suatu sore yang cerah di desa kecil di pinggiran pantai Pulau Jawa, Mela, seorang gadis muda yang tinggal bersama ibunya, baru saja selesai menjual jamunya keliling desa. Bakul bambu yang tergantung di punggungnya terasa lebih ringan setelah habis terjual. Angin laut yang berhembus pelan mengusap wajahnya yang lelah, sementara senja mulai merunduk di balik pepohonan. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti. Dari kejauhan, di ujung pantai, Mela melihat sebuah kapal besar yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Kapal itu bukan kapal nelayan biasa, melainkan kapal besar dengan layar putih yang berlayar anggun menuju bibir pantai. Di atasnya, tampak beberapa orang asing yang berpakaian aneh berbeda jauh dengan pakaian penduduk desa. Mereka mengenakan jubah panjang, topi tinggi, dan sepatu kulit. Wajah mereka juga terlihat asing, jauh dari wajah-wajah pribumi yang biasa ia temui.

Mela berdiri terpaku sejenak, matanya tidak bisa lepas dari kapal itu. "Siapa mereka?" pikir Mela dalam hati, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dengan penuh rasa penasaran, Mela berjalan cepat menuju rumah. Ia tak sabar untuk memberitahu ibunya mengenai kejadian aneh itu. Setibanya di rumah, ia segera menyapa ibunya yang sedang sibuk menyiapkan makan malam.

"Ibu… ibu… ada yang aneh di pantai!" kata Mela terburu-buru.

Ibunya yang sedang berbaring sejenak memandang, Mela. "Ada apa, Mel? Kenapa kamu tampak tergesa-gesa?"

"Mela baru saja melihat kapal besar di pantai! Ada orang-orang asing di sana, ibu!" Mela menjelaskan dengan cemas. "Mereka… mereka mengenakan pakaian yang sangat berbeda, seperti bangsawan. Tetapi wajah mereka tidak seperti orang-orang di sini. Mereka tampak sangat asing."

Ibu Mela mengernyitkan dahi, sedikit bingung dengan apa yang didengar. "Kapal besar? Orang-orang asing?" Ibu Mela berusaha menenangkan anaknya. "Mungkin itu hanya kapal dagang dari luar pulau. Jangan terlalu khawatir, Mel. Mungkin mereka hanya datang untuk berdagang atau berkunjung."

Namun, Mela merasa tidak nyaman. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Sebagai seorang gadis muda yang selalu berhati-hati, Mela merasa ada sesuatu yang berbeda dengan kedatangan orang-orang asing itu. Ia bergegas keluar lagi, kali ini untuk melihat lebih dekat kapal besar itu.

Setelah berjalan menuju pantai, Mela melihat lebih jelas keberadaan kapal tersebut. Kapal itu berlabuh di dermaga yang biasa digunakan untuk kapal-kapal dagang, namun tidak pernah ada kapal sebesar itu sebelumnya. Orang-orang yang turun dari kapal itu mulai berinteraksi satu sama lain. Mela memperhatikan mereka dengan seksama dari balik semak-semak yang tumbuh di sekitar pantai.

Di antara orang-orang itu, terdapat beberapa pria yang tampak memimpin, mengenakan pakaian yang sangat rapi dengan simbol-simbol asing yang Mela tidak pernah lihat sebelumnya. Mereka tidak tampak seperti orang yang datang untuk berdagang, melainkan seperti pemimpin atau prajurit yang sangat terhormat.

Mela mengamati mereka lebih dalam, merasa ketegangan di dalam hatinya semakin meningkat. Tiba-tiba, salah satu pria dengan jubah putih yang memimpin kelompok itu menoleh ke arah Mela yang sedang mengintip dari kejauhan. Pandangannya yang tajam langsung mengenai Mela.

Mela cepat-cepat bersembunyi di balik pohon besar, namun hatinya berdebar-debar. "Siapa mereka? Mengapa mereka melihatku?" pikirnya. Namun, ia tidak berani lagi mendekat. Mela merasa semakin takut dengan kehadiran orang-orang asing itu.

Ia kembali pulang dengan langkah terburu-buru, mendapati ibunya masih berada di rumah. Mela langsung memberitahu ibunya tentang kejadian yang baru saja ia saksikan.

"Ibu… ibu, mereka bukan hanya datang berdagang. Mereka tampak seperti… seperti orang yang datang untuk menguasai," ujar Mela dengan gugup.

Ibunya menatap anaknya dengan penuh perhatian. “Jangan terlalu banyak berpikir yang bukan-bukan, Mel. Kita tunggu saja apa yang akan mereka lakukan. Yang penting kita tetap tenang dan jangan menyinggung mereka.”

Namun, meskipun ibunya berusaha menenangkan Mela, rasa cemas di hati mereka berdua tetap ada. Keberadaan orang-orang asing itu menandakan sesuatu yang besar. Sebuah perubahan yang mungkin akan datang pada hidup mereka, meskipun mereka tidak tahu apa itu.

Pada awalnya, Mela merasa cemas dan takut akan kehadiran orang-orang asing yang datang dengan kapal besar dan pakaian yang aneh. Namun, seiring berjalannya waktu, pikiran buruk yang sempat menguasai hatinya mulai memudar. Orang-orang asing itu, yang ternyata adalah pasukan Belanda, ternyata tidak seperti yang dibayangkan oleh Mela. Mereka tidak datang dengan niat jahat, melainkan dengan tujuan yang lebih kompleks.

Mela sering bertemu mereka di pasar, tempat ia menjual jamunya. Mereka tidak hanya membeli rempah-rempah dan jamu-jamuan dari Mela, tetapi juga sering memberi kata-kata yang baik, bahkan membantu Mela saat ia kesulitan. Salah satu dari mereka, seorang pria yang tampak lebih muda dibandingkan yang lain, sering kali mendekati Mela dan ibunya dengan senyum ramah. Namanya adalah Pieter.

Suatu pagi, setelah Mela selesai menjual jamunya, Pieter mendekatinya sambil membawa beberapa barang yang tampaknya berat. Mela yang sedang membereskan bakulnya melihat Pieter datang dan langsung menatapnya dengan penasaran.

"Selamat pagi, Mela," sapa Pieter dengan nada yang hangat.

"Selamat pagi, Pak Pieter," jawab Mela, sedikit ragu karena perasaan was-was yang masih tersisa dalam dirinya. "Apa yang membawa Anda ke sini pagi-pagi, Pak?"

Pieter tersenyum lebar. "Saya membawa beberapa barang yang berat, ingin saya bantu bawa?" tanyanya dengan tulus.

Mela terkejut, ia tidak pernah berpikir bahwa orang asing seperti Pieter akan menawarkan bantuannya. Biasanya, orang-orang sepertinya tidak peduli dengan orang-orang kecil seperti dirinya. "Ah, Pak, saya bisa membawa sendiri," kata Mela sambil sedikit tersenyum canggung. "Tapi terima kasih banyak."

Pieter mengangguk, namun ia tetap bersikeras. "Kami Belanda bukan hanya datang untuk berdagang. Kami datang untuk membangun hubungan baik dengan penduduk lokal. Jika Anda kesulitan, kami siap membantu," ujar Pieter.

Mela terdiam sejenak. Kata-kata Pieter terasa berbeda dari yang ia bayangkan sebelumnya. "Apa maksud Anda dengan membangun hubungan baik?" tanya Mela, masih ingin tahu lebih banyak.

Pieter menjelaskan dengan perlahan. "Kami datang untuk menjalin hubungan yang saling menguntungkan. Kami ingin memajukan daerah ini, membantu kalian berkembang, dan tentunya kami juga mendapat keuntungan dari perdagangan. Namun, bukan berarti kami ingin menguasai atau menindas kalian," katanya.

Mela mendengarkan dengan seksama. Awalnya ia merasa sulit untuk mempercayai apa yang dikatakan Pieter, mengingat semua cerita tentang penjajahan yang dia dengar dari orang-orang tua di desanya. Tetapi, ada sesuatu dalam cara Pieter berbicara yang membuatnya merasa lebih tenang. Tidak ada rasa sombong atau kekuasaan dalam nada bicaranya.

"Jadi, Anda benar-benar ingin membantu kami?" tanya Mela ragu.

"Ya, kami ingin membantu. Kami memiliki banyak sumber daya yang bisa digunakan untuk meningkatkan pertanian, perdagangan, dan banyak hal lainnya. Namun, tentu saja kami juga ingin melihat hasil dari kerjasama ini," jawab Pieter.

Mela mulai merasa sedikit lega. Sejak kedatangan orang-orang asing itu, desa mereka memang sedikit berubah. Ada lebih banyak orang yang datang dan pergi, serta beberapa jalan yang dibangun lebih baik. Meski begitu, Mela tetap merasa ada hal yang perlu ia waspadai.

Beberapa hari kemudian, saat Mela kembali ke pasar, ia melihat Pieter sedang duduk bersama beberapa pemimpin desa yang lain. Mereka terlihat sedang berbicara dengan serius, namun tak lama kemudian, salah satu pemimpin desa mendekati Mela.

"Mela," kata pemimpin desa itu dengan ramah. "Kami baru saja berbicara dengan Pak Pieter. Ternyata mereka ingin memperkenalkan teknologi baru yang bisa membantu kita bertani lebih baik. Mereka punya alat-alat baru untuk membantu kita mengolah tanah."

Mela mendengarkan dengan seksama. "Benarkah? Mereka benar-benar peduli dengan kami?" tanya Mela dengan tidak percaya.

"Ya, mereka peduli. Mereka ingin membantu kami berkembang, meskipun ada banyak keuntungan yang mereka harapkan," jawab pemimpin desa tersebut.

Pikiran Mela mulai berubah. Ketika ia kembali ke rumah, ia menceritakan semuanya kepada ibunya. "Bu, saya rasa saya salah paham tentang mereka," ujar Mela dengan suara yang lebih tenang.

Ibunya yang sedang meminum jamu, Mela menoleh. "Apa maksudmu, Mel?"

"Mereka, orang-orang Belanda itu, mereka tidak seperti yang saya kira," kata Mela. "Mereka sangat ramah. Mereka sering membantu kami, dan mereka ingin berbagi pengetahuan untuk membantu desa kita berkembang."

Ibu Mela mengangguk pelan. "Mungkin memang ada hal-hal baik yang bisa kita ambil dari mereka, Mel. Tapi tetap ingat, kita harus bijak dalam melihat setiap situasi."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!