Novel Ketiga
Berdasarkan survei, sedia tisu sebelum membaca😌
--------
Mencintai, lalu melepaskan. Terkadang cinta itu menyakiti, namun membawa kebahagiaan lain di satu sisi. Takdir membawa Diandra Selena melalui semuanya. Merelakan, kemudian meninggalkan.
Namun, senyum menyakitkan selalu berusaha disembunyikan ketika gadis kecil yang menjadi kekuatannya bertahan bertanya," Mama ... apa papa mencintaiku?"
"Tentu saja, tapi papa sudah bahagia."
Diandra terpaksa membawa kedua anaknya demi kebahagiaan lainnya, memisahkan mereka dari sosok papa yang bahkan tidak mengetahui keberadaan mereka.
Ketika keegoisan dan ego ikut andil di dalamnya, melibatkan kedua makhluk kecil tak berdosa. Mampukah takdir memilih kembali dan menyatukan apa yang telah terpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perbedaan Kasta
Mita menatap keluar jendela mobil yang membawanya. Matanya mengawasi setiap orang yang berlalu lalang di sekitar sekolah di dekat taman yang sering dikunjunginya. Ia memegang hati-hati sebuah kotak makan lucu berkarakter yang biasa disukai oleh anak-anak.
Sejak tadi ia sudah menunggu seseorang keluar dari bangunan itu. Hingga bel istirahat berbunyi, anak-anak berlarian keluar. Namun yang ditunggu Mita tak kunjung muncul. Ia mulai putus asa, berpikir jika gadis kecil yang kemarin bertemu dengannya hanya istirahat didalam.
"Lily bilang dia bersekolah disini. Apa tidak keluar untuk bermain?" Padahal ia sudah turun tangan untuk memasak sendiri, berharap Lily menyukai masakannya.
"Mungkin nona Lily membawa bekal sendiri Nyonya dan sedang makan siang di dalam." Sopir pribadi keluarga Abraham itu sudah banyak melihat Mita berubah. Bahkan kedatangan wanita paruh baya itu ke dapur membuat gempar para pelayan yang berjaga.
"Sayang sekali," lirihnya sedikit kecewa. Ia masih sedikit berharap dan menunggu sebentar lagi, namun Lily belum juga muncul.
Mita menghela nafas pelan. "Kembali saja." Sopir itu mengangguk. Saat ingin menjalankan mobil, ia tidak sengaja menangkap sosok yang dicari sang Nyonya. "Nyonya, bukankah itu nona Lily?" Mita sontak bergerak cepat menatap arah pandang sopir.
Benar, itu memang Lily. Gadis kecil itu sedang duduk di pinggir trotoar bersama seorang bocah yang terlihat kumuh. Mita segera turun dari mobil mendekati mereka.
"Lily?" Gadis itu sedang berbagi makan siangnya?
Lily terkejut melihat kehadiran Mita. Ia langsung berdiri. "Nyonya ...."
"Lily, apa yang kau lakukan disini? Lihat pakaianmu kotor, kan." Mita mengibas-ngibas pakaian Lily dan sedikit menjauhkan posisi Lily dari bocah kumuh itu.
"Jangan terlalu dekat dengannya, kau tidak lihat kondisinya?" bisiknya. Mita merasa agak risih dengan keadaan di depannya.
Melihat sikap Mita yang seperti ini, Lily tidak menyukainya. Ia semakin yakin untuk tidak terlibat begitu jauh dengan sang nenek. Kasta mereka berbeda. Mita merupakan wanita sosialita yang menjunjung tinggi martabatnya, sedangkan ia gadis kaya yang sederhana.
"Dia temanku, Nyonya." Lily menjelaskan. Mita jelas tidak terima penjelasan tersebut. Bagaimana mungkin Lily berteman dengan orang seperti ini!
"Apa kau tidak bisa menceri teman lain yang lebih baik?"
Bocah kumuh itu juga tidak bodoh. Ia mendengar jelas perkataan Mita yang tidak menyukainya. Ia juga sering meminta Lily agar tidak mendekatinya, tapi gadis itu tidak mendengarkan.
"Lily, dengarkan dia," katanya. Lily menggeleng, ia melepaskan pegangan tangan Mita. "Aku sudah menceritakan tentang dia pada mama dan mama tidak keberatan."
Mita tidak mengerti cara ibu Lily mendidik Lily seperti ini. Bagaimana bisa membiarkan Lily bermain dengan sembarang orang! Namun, ia juga tak bisa melarang, mengingat ia hanya bertemu sekali dan bukan siapa-siapa.
"Mama sangat peduli. Selama mereka orang baik dan dapat dipercaya, tidak peduli seburuk apa, kita tidak seharusnya menjauhinya. Mereka juga berhak mendapat pengakuan dari orang lain," kata Lily seolah tahu pikiran Mita, membuat wanita itu membeku.
"Maaf Nyonya ... sudah Lily bilang jika kita berbeda. Anda tidak akan cocok dengan Lily." Gadis itu hendak pergi membawa bocah laki-laki itu, namun Mita menahannya.
"Maaf ... lain kali tidak akan seperti ini." Mita merasa malu dengan dirinya, bahkan anak kecil lebih mulia darinya. Seharusnya ia yang menunjukkan contoh baik pada mereka, bukan mereka yang mengajarinya.
"Nyonya, aku tak bermaksud mengajarimu. Tapi, itulah yang ditanamkan ibuku padaku. Jangan memaksakan diri untuk menerima kasta kami."
Bagai ditusuk ribuan jarum, hati Mita begitu perih. Dulu gadis yang menjadi menantunya juga mengatakan hal yang sama. Jangan memaksakan diri menerima kaum rendah. Lebih baik terus terang daripada berpura-pura.
Sama seperti Lily. Jika Nyonya tahu Lily anak dari wanita yang kau benci, apakah masih bisa menerima dengan baik? Nyonya akan menyesali pertemuan kita. Aku hanya anak yang terlahir tanpa nama Abraham dibelakangnya.
"Tidak, bukan seperti itu Lily. Aku hanya khawatir, itu saja. Seharusnya aku tidak seperti ini, maaf." Mita menyesal. Ia tak ingin Lily menjauhinya.
"Tidak perlu minta maaf, anda tidak salah. Setiap orang itu berbeda-beda, aku mengerti." Lily tersenyum.
"Aku yang salah. Maafkan Oma ya, Nak. Jangan menjauhiku," mohonnya, memegang tangan bocah laki-laki itu dan tangan Lily.
Lily bisa melihat penyesalan di mata Mita. Lily kecil tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Apa Oma nya benar-benar berubah?
.
.
.
.
"Kau membawa pekerjaan mu kemari?" Serena melihat tumpukan dokumen yang dibawa Dian. Keduanya sedang makan siang sambil menunggu buah hati mereka pulang, sedangkan suami Sera sedang bekerja sebagai Manajer di sebuah perusahaan besar.
"Bukan."
"Lalu?"
"Aku ingin memasukkan teman Lily ke sekolah. Sayang sekali jika dibiarkan, dia sangat pintar," jelas Dian.
"Teman yang mana?" Seingatnya Lily tidak memiliki teman, hanya bergaul dengan Emilio dan putranya.
Dian tersenyum. "Seorang anak kecil yang tinggal di pinggiran kota. Aku melihatnya mengumpul barang bekas di sekitar jalan." Ia bangga pada Lily yang justru memilih berteman dengan orang seperti itu, padahal ada banyak teman yang sepadan di dekatnya.
Serena merasa prihatin mendengarnya. Ia bersyukur masih diberi kehidupan yang layak sehingga anaknya dapat hidup dengan baik.
"Tapi, aku takjub dengan tekadnya. Dia masih bisa bermimpi menjadi orang yang luar biasa meski hanya seorang pemulung jalanan. Tapi yang membuatku iri, dia dan keluarganya sangat harmonis. Mereka tidak mengeluh meski merasa kesulitan."
Dari anak itu kita bisa melihat bahwa materi bukan segalanya. Tak apa hidup biasa saja, yang terpenting bagaimana kita menjalani hidup dengan ikhlas. Ingat! Uang bisa dicari, namun kebahagiaan sulit untuk diraih.
Serena tersenyum, ia memegang tangan Dian di atas meja. "Kau sudah melakukan hal yang benar."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Bab ini sudah di Up dari kmren ya Say. Gak tau kenapa proses review nya lama dari biasanya....