Terjebak Badgirl

Sera yakin, meskipun ia bicara pada ayahnya tentang niat busuk mereka, ayahnya tidak akan percaya. Ayahnya terlalu buta karena terlalu percaya pada mereka.

Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berjalan menuju kamarnya. Langkahnya terasa berat, seolah-olah setiap jejak yang ia tinggalkan membawa luka yang semakin dalam. Setibanya di kamar, ia segera mengunci pintu dan membiarkan dirinya larut dalam tangisan yang selama ini ia tahan.

Air matanya mengalir begitu deras, membasahi bantal yang ia peluk erat. Ia hanya ingin mendapat sedikit perhatian dari seorang ayah, ingin mendengar kata-kata hangat yang menenangkannya, tapi kenyataan justru memberinya luka yang tak kunjung sembuh.

"Kenapa Ayah begitu jahat?" bisiknya dalam isakan yang tertahan.

Ia tidak menginginkan kekayaan ayahnya. Ia tidak menginginkan posisi dalam perusahaan. Ia hanya ingin bebas mengejar mimpinya. Apakah itu sesuatu yang terlalu sulit dimengerti?

Sera terdiam sejenak, menatap langit-langit kamar dengan mata yang mulai membengkak. Bagaimana ia bisa memberitahu ibunya soal ini? Jika ia bercerita, orang tuanya pasti akan bertengkar lagi, sama seperti dulu saat mereka berebut hak asuh dirinya. Dulu, ia masih kecil dan hanya bisa menangis di sudut ruangan setiap kali mendengar pertengkaran itu.

Namun kini, ia sudah tumbuh. Ia bisa mengambil keputusan sendiri. Dan ia sudah memutuskannya.

Apapun yang terjadi, ia tidak ingin tinggal dengan ayahnya lagi. Ia lelah menghadapi saudara tiri dan ibu tiri yang selalu menjatuhkannya. Ia muak dengan kepura-puraan mereka, dengan senyum palsu yang hanya mereka tunjukkan di depan ayahnya.

Dengan air mata yang masih mengalir deras, ia mengingat kembali masa-masa bahagia ketika keluarganya masih utuh. Ia merindukan kakaknya, satu-satunya orang yang dulu selalu berdiri di sisinya, membelanya dari ketidakadilan.

"Hiks... hiks... Kak, aku merindukanmu. Apa Kakak bahagia di sana? Aku rindu..." suaranya bergetar, penuh kerinduan yang tak bisa ia sampaikan pada siapa pun.

Kakaknya dulu selalu melindunginya. Sekarang, ia tidak punya siapa pun lagi. Ia sendirian dalam kegelapan ini, mencoba bertahan tanpa pegangan.

Dengan tangan gemetar, ia bangkit dari kasur dan berjalan menuju kamar mandi. Menyalakan keran, ia meraup air ke wajahnya, mencoba menghapus jejak kesedihan yang masih terasa begitu kuat. Ia menatap bayangannya di cermin—mata bengkak, wajah pucat, bibir bergetar.

Tapi ia tidak bisa terus seperti ini.

Ia mengepalkan tangannya, mencoba menanamkan keyakinan dalam dirinya sendiri.

"Semangat, Sera. Ini belum seberapa. Perjalananmu masih panjang!" katanya pada bayangannya di cermin.

Ia akan membuktikan bahwa ia bisa. Ia akan melangkah sendiri tanpa bergantung pada siapa pun.

Dengan tekad yang semakin kuat, ia kembali ke kasur dan merebahkan tubuhnya. Menatap langit-langit kamar, pikirannya kembali melayang pada semua kesedihan yang ia alami. Ia merasa tidak beruntung dalam cinta maupun keluarga. Tidak ada hal romantis dalam hidupnya kali ini.

Namun satu hal yang ia yakini, suatu saat nanti, anaknya tidak akan merasakan apa yang ia rasakan saat ini. Ia akan menjadi ibu yang baik, memberikan kasih sayang yang tidak pernah ia dapatkan dari ayahnya.

Sera menghela napas panjang. Dalam hati, ia berdoa, memohon kekuatan untuk menghadapi hari esok. Perlahan, kelopak matanya menutup, membiarkan alam mimpi menyambutnya dalam kehangatan yang tidak bisa ia temukan di dunia nyata.