Di usianya yang baru menginjak 17 tahun Laila sudah harus menjadi janda dengan dua orang anak perempuan. Salah satu dari anak perempuan itu memiliki kekurangan (Kalau kata orang kampung mah kurang se-ons).
Bagaimana hidup berat yang harus dijalani Laila dengan status janda dan anak perempuan yang kurang se-ons itu?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Rezeki tidak disangka-sangka dan bisa datang dari arah mana saja.
"Tapi Pak Arman sendiri sudah mencicipi kue buatan saya?." Tanya Laila memastikan.
"Sudah, tapi beberapa teman-teman di pabrik juga sudah mencicipi. Mereka semua mengatakan sangat enak dan mengenyangkan."
Di dalam hati tidak ada hentinya Laila berucap syukur atas limpahan rezeki ini.
"Bagaimana, Bu?." Pak Arman menatap intens. Seakan terhipnotis kecantikan Laila yang terpancar dari dalam dirinya.
"Apa Ibu bisa menyediakannya? Kalau bisa besok pagi sudah saya ambil."
"insya Allah bisa, Pak Arman."
"Ini untuk pembayaran yang besok pagi akan saya ambil. Untuk yang siang harinya akan dibayarkan nanti pada saat pengambilannya."
Ibu Laila menerima amplop kecil berwarna putih.
Kesepakatan sudah terjadi, Arman pun pamit undur diri. Pria itu kembali bekerja di pabrik besar itu.
Ibu Laila membalas tatapan kedua anaknya saat masuk ke dalam rumah.
"Alhamdulillah kita ada rezeki, kalian tidak perlu lagi berjualan di jalan dekat sekolah. Cukup belajar saja di rumah."
Kedua anak kecil itu belum sepenuhnya paham apa yang dikatakan Ibunya. Ibu Laila pun duduk di antara mereka. Mengulas senyum sebelum menjelaskan secara detail pada keduanya. Akhirnya mereka pun paham dan menurut apa yang dikatakan sang Ibu.
"Tapi aku mau bantu Ibu."
"Boleh, Kak."
"Hore" Salwa pun bersorak gembira.
Selepas shalat dhuha, Ibu Laila dan kedua anaknya segera berangkat ke pasar dengan menaiki angkutan umum. Karena memang ada bebarapa bahan yang masih kurang. Setibanya di pasar, Laila segera mendatangi tempat penjual pisang kemudian ke tempat penjual bahan-bahan kue dan berakhir di tukang sayuran.
Selesai dari sana si kecil Halwa berhenti di depan toko pakaian.
"Ada apa, Dik?." Tanya Salwa.
"Aku mau itu" Halwa menunjuk pakaian dengan gambar princess yang menanggung.
Ibu Laila tersenyum.
"Coba itu tanya dulu, ya."
"Iya" sambil mengangguk Halwa menujukkan wajah gembira.
Uang memang ada, tapi sebenarnya untuk membeli beras dan lauk yang lainnya. Tapi karena Halwa menginginkan pakaian itu Ibu Laila pun mengesampingkan kebutuhan yang lain. Demi memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang memang hanya sedikit memiliki pakaian terusan seperti itu.
Ada rezeki anak-anak pada setiap rezekinya.
"Satu untuk Adik Halwa" Ibu Laila menyerahkan satu bungkus kantung plastik pada Halwa.
"Terima kasih, Bu."
"Sama-sama, sayang."
"Satunya lagi untuk Kakak Salwa" Ibu Laila menyerahkannya pada Salwa.
"Terima kasih, Bu. Tapi aku tidak memintanya."
"Iya, tapi Ibu mau menghadiahkannya untuk Kakak karena kerja keras Kakak mau berjualan."
Salwa pun tersenyum lalu memeluk Ibunya dan sekali lagi mengucapkan terima kasih. Lalu mereka pun menuju pangkalan mobil angkutan umum yang akan membawa mereka kembali ke rumah.
Perjalanan memang cukup jauh yang harus ditempuh mereka, hampir satu jam setengah untuk sampai di rumah dengan kondisi jalanan yang sangat hancur. Salwa dan Halwa sangat menikmatinya, mereka tertawa bahagia karena tubuh mereka seperti sedang bergoyang.
Mereka bertiga tiba di rumah. Karena saking senang dan tidak sabarannya setelah mandi kedua anak perempuan itu mengenakan pakaian barunya. Kemudian tidur terlelap karena kelelahan. Ibu Laila sendiri merapikan barang belanjaannya yang memang tidak banyak. Tapi cukup sebagai modal untuk usaha kecil-kecilannya.
Ucapan syukur yang selalu membasahi bibir Laila. Sang Ilahi sudah begitu sangat baik mempermudah jalan rezekinya beserta anak-anaknya. Laila pun selalu sungguh-sungguh dalam membuat kue-kuenya. Tidak ingin mengecewakan orang-orang yang telah memberinya kepercayaan terutama kedua anaknya yang selalu menyukai kue buatannya.
Sebelum jam tiga pagi Laila bisa memejamkan mata, setelah kue-kuenya selesai dikukus.
*****
Tiga puluh menit lebih awal Arman mendatangi rumah Laila. Pria tampan itu begitu bersemangat bertamu ke rumah janda dua anak itu. Laila segera mengeluarkan kue-kue yang sudah dimasukkan ke dalam plastik berukuran besar. Mempermudah Arman membawanya di atas motor.
"Maaf saya datang lebih cepat."
"Tidak apa-apa, Pak Arman. Kebetulan kue-kuenya juga sudah siap."
"Nanti siang kalau sudah siap diambil kuenya telepon saya saja."
"Maaf, Pak. Saya tidak memiliki handphone."
"Oh...maaf."
"Tidak apa-apa, Pak."
"Saya pastikan nanti jam satu ada yang mengambil kuenya ke sini."
"Baik, Pak."
"Oke deh, saya bawa ya kuenya."
"Terima kasih banyak, Pak."
"Sama-sama, Bu."
Laila masuk kembali ke dalam rumah setelah Arman pergi dari rumahnya.
"Aku mau bantu Ibu" Salwa sudah mandi dan bersiap membantu Ibunya.
"Iya, Kak. Tapi sekarang Kakak makan dulu. Halwa mana?."
"Masih mandi."
"Ya sudah tunggu dulu Adik Halwa baru ke dapur."
"Iya, Bu."
Salwa dan Halwa sudah duduk, di depan mereka sudah ada piring berisi makanan ke sukaan keduanya, ayam kecap sedikit pedas dari merica.
"Enak sekali, Bu." Puji Salwa. Makanan yang baru pertama kali dimakannya setelah kepergian kedua orang tuanya. Biasanya Mama dua hari sekali akan memasak itu.
"Iya, enak banget, Bu." Sambung Halwa memuji.
"Terima kasih kalian selalu memakan apa yang Ibu buatkan untuk kalian."
"Terima kasih juga Ibu selalu memberikan yang terbaik untuk kami."
Ibu Laila begitu terharu.
Tepat pukul satu siang Arman kembali ke rumah Laila, pria itu mengambil sisa dan menyelesaikan pembayarannya. Sekaligus mengingatkan kembali untuk membuatnya besok pagi.
Keberadaan Arman siang itu terlihat bebarapa tetangga dan tentu saja menjadi bahan gunjingan yang langsung bisa di dengar Laila dan juga Arman.
"Aduh jauh-jauh deh dari Laila, perempuan itu pembawa sial."
"Betul banget, nanti yang ada mati sebelum menikmatinya."
"Ha...ha...ha..."
"Lagi pula sekarang Laila sudah berani mengundang laki-laki ke rumahnya."
"Mungkin kesepian atau sudah bosan hidup susah jadi mau laki-laki kaya."
"Siapa juga yang mau hidup miskin seperti Laila. Sudah janda, punya anak gila pula, belum lagi pembawa sial."
Ketiga orang itu saling bersahutan membicarakan Laila dan Arman.
"Maaf kalau kedatangan saya kemari malah menjadi bahan hinaan untuk kamu."
"Tidak apa-apa, Pak. Itu sudah menjadi makanan saya sehari-hari.
"Ya tapi saya jadi tidak enak sama kamu."
"Jutsru saya yang tidak enak sama Pak Arman. Jadi jelek namanya karena saya."
"Saya juga untungnya sudah terbiasa diperlakukan seperti ini di pabrik. Jadi tidak aneh lagi" Arman tersenyum. Memperlihatkan lesung pada kedua pipinya, semakin membuat Arman semakin tampan.
Tidak ingin terlalu lama menjadi bahan omongan, Laila pun segera meminta Arman supaya cepat pergi dari rumahnya. Dan Laila segera mengunci pintu.
Satu dari ketiga tetangga itu ada yang berani menghadang jalannya Arman. Hampir saja membuat laki-laki itu celaka.
"Astagfirullah, Mbak. Ada apa?."
"Jangan mau sama janda itu."
"Saya mengambil pesanan kue saja."
"Makanan yang dibuatnya menggunakan ilmu hitam supaya terasa lebih enak." Fitnah keji yang dilontarkannya pada Laila.
Bersambung.....
jangan lupa dateng aku di karya ku judul nya istri kecil tuan mafia
jangan lupa mampir di beberapa karyaku ya😉