Dia meninggal tapi menghantui istri ku.
Ku genggam tangan Dias yang terasa dingin dan Bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat membasahi anak rambut di wajahnya. Mulutnya terbuka menahan sakit yang luar biasa, sekalinya menarik nafas darah mengucur dari luka mengangga di bagian ulu hati.
"Bertahanlah Dias." ucapku.
Dia menggeleng, menarik nafas yang tersengal-sengal, lalu berkata dengan susah payah. "Eva."
Tubuhnya yang menegang kini melemas seiring dengan hembusan nafas terakhir.
Aku tercekat memandangi wajah sahabat ku dengan rasa yang berkecamuk hebat.
Mengapa Dias menyebut nama istriku diakhir nafasnya?
Apa hubungannya kematian Dias dengan istriku, Eva?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seina
Kami berjalan lebih dekat ke arah setitik cahaya samar, bukan senter, bukan pula api yang menyala. Sepertinya sisa nyala api, bara yang sudah tak menyinari.
Rintik hujan terasa menyentuh wajah, namun tak akan menyurutkan langkah kami, ingin mengetahui siapakah yang ada di dalam sana.
Licin dan lembab terasa di kaki, rumput yang menutupi tanah itu terasa seperti hamparan jebakan, terkadang membuat terpeleset lantaran lumpur menggenangi di bawahnya. Kami berhenti di jarak beberapa langkah.
"Biar aku yang buka." setengah berbisik, kemudian aku berlari menyentuh dinding pondok yang terbuat dari daun yang di sandarkan, di ikat tak rapat, sungguh ini hanyalah gubuk sementara yang di buat oleh seorang anak kecil, pikirku.
Eva juga mendekat dengan memegang golok penjahat itu, kini beralih menjadi miliknya. Sementara Gerry pun siaga dengan senjata andalannya, mengarah ke depan tak mungkin meleset.
"Satu, dua, ti..."
Set!
Aku membuka sebagian rerumputan yang menutupi bagian depannya.
"Ooowaaaaa..." jeritan langsung terdengar memekakkan telinga.
"Seina!" Eva langsung menjatuhkan goloknya, senter yang menyorot ke dalam pun tak berpindah lagi, Zalli sedikit gemetar, namun juga tercengang melihat siapa yang ada di dalamnya.
"Mbok Yem?"
Kami berkata bersamaan, Gerry dan aku sangat terkejut melihat perempuan tua itu memeluk Seina ketakutan.
"Mas! Mbak!" perempuan tua itu juga tak kalah terkejut. Dia maju dengan kaki mengesot, sambil memeluk Seina lalu memberikan kepada Eva.
"Mbok?" Eva pun mendekati perempuan tua yang ketakutan itu.
"Seina Mbak, dia terluka. Maafkan Si Mbok." katanya semakin menangis, ku lihat diapun memegang pisau yang sama seperti istriku, aku jadi curiga, apakah dia merupakan komplotan para penjahat itu?
"Tidak apa-apa, terimakasih sudah menjaga Seina." kata istriku, dia langsung mendekap Seina, menciumi wajahnya.
"Seina sayang." aku pun mendekati anakku, mengecup wajahnya, tangannya hingga kakinya bergantian. Kemudian Eva memberinya asi agar tidak menangis.
"Lengannya luka Mas." kata Eva,mengelus bagian yang sedikit menyisakan darah, sepertinya tergores sesuatu ketika melewati semak belukar.
Aku memegangi tangan kecil Seina, Alhamdulillah akhirnya aku menemukan Seina bersama istriku, kami berkumpul meskipun sudah babak belur.
"Mbok kenapa ada di sini." kata Gerry, sama seperti ku dia pun curiga.
"Maafkan saya Mas Gerry, kemarin saya ikut mencari Seina sama mbok Yun. Tapi malah mbok tersesat. Tapi syukurnya mbok mendengar non Seina menangis, ternyata penculiknya terluka di bagian kaki, sulit berjalan. Mbok pukul aja pakai kayu, mbok sempat rebutan Seina sama laki-laki itu. Syukurnya lagi ada ayam hutan terbang ke wajah penjahatnya. Mbok ambil pisau yang di lepaskan nya. Lalu..." mbok Yem berhenti bicara.
"Mbok yang sudah membu-nuh pria di tebing itu?" tanya Gerry.
"Ampun Den, jangan tangkap si mbok, mbok sudah tua." katanya gemetar, menangis ketakutan.
Ku lihat kakinya berdarah, kesulitan berjalan, kain yang di kenakan juga robek.
Bukan! Bukan robek tapi sengaja di belah untuk menyelimuti tubuh seina, anakku itu di lilit separuh kain mbok Yem.
"Mbok kenapa pergi, bukankah hari sebelumnya mbok Yem masih bekerja, mbok Yem masih memasak buat mas Dias?" tanya Gerry lagi, dia menatap tajam perempuan tua itu.
"Ampun Mas, mbok gak kabur, tapi mas Dias meminta mbok pergi."
"Nggak mungkin! Katakan apa yang sebenarnya terjadi?"
Perempuan tua itu tak menjawab, tapi merogoh bagian dadanya mengambil sesuatu.
"Mas Dias titip ini, katanya jangan sampai orang lain tahu selain Mas Gerry dan Mbak Eva." memberikan sesuatu milik Dias kepada Gerry.
"Mbok tahu Mas Dias dan aku?" tanya Eva, istriku tu tahu kalau mbok Yem adalah pembantu di rumah Dias.
"Iya Mbak, mbok ada di sana ketika mas Dias di bu-nuh."
"Hah!" kami semua terkejut, menatap perempuan tua itu.
"Mbok! Siapa yang membu-nuh Mas Dias? Siapa Mbok?" tanya Gerry tak sabar, mengguncang tubuh tua mbok Yem.
"Iya Mbok, katakan agar aku tidak di tuduh!" kata Eva.
"Mbok gak tau Den, dia memakai pakaian serba hitam, dia juga menutupi wajahnya. Tapi mbok pesan hati-hati sama non Lusia."
"Lusia Mbok?" aku dan Gerry terkejut, tapi tidak dengan istriku, dia menunduk menatap wajah Seina yang mulai terpejam sambil menyusu.
"Iya, mas Dias selalu bilang Lusia jahat."
Kami terdiam saling berpandangan, aneh saja mengapa Dias sampai mengatakan kalau istrinya jahat. Apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangga mereka?
"Mbok ikut aku ke kantor polisi, mbok harus bersaksi!" Gerry menarik tangan mbok Yem, memaksanya berdiri.
"Nggak Mas, mbok takut. Mbok gak mau!" pekik mbok Yem, memohon kepada Gerry.
"Tapi mbok Yem itu saksi kunci, satu-satunya orang yang akan memperjelas kasus kematian mas Dias!" kesalnya.
"Nggak Mas, mbok mohon!" dia mengais, bersimpuh di kaki Gerry.
"Ger, Mbak khawatir malah mbok Yem yang akan dipenjara." kata Eva.
"Tapi dia saksinya Mbak, Mbak juga akan bebas dari tuduhan!"
"Nggak Ger, Mbak mungkin bisa bebas dari tuduhan, tapi tidak akan bebas dari ancaman."
"Apa maksudmu Dek?" aku menatap istriku penasaran, aku mulai menerka-nerka.
"Maksud Mbak apa?" tanya Gerry pula.
"Kamu lihat Mas, mereka mengejar kita sampai sedemikian ini. Tidakkah kalian curiga mereka itu siapa? Mengapa sampai menculik Seina? Mengapa sebegitunya seperti mengincar nyawa kita semua."
Seketika kami saling pandang, memikirkan kata-kata Eva yang sebenarnya masuk akal, jika mereka hanya butuh Eva sebagai tersangka, mengapa sampai begini pelik urusannya?
"Mbak tahu sesuatu?" tanya Gerry.
"Ya, Lusia adalah kakak dari Maria, mantan kekasih mas Dias sebelum bertemu aku." kata Eva, semakin membuat aku tercengang.
"Dulunya, Mas Dias cerita kalau mereka putus karena beda keyakinan. Tapi sebenarnya tidak seperti itu." lanjut Eva lagi.
"Maria itu meninggal karena sakit mbak." kata Gerry.
"Bukan, Maria meninggal setelah mas Dias menolak menikah dengannya, itu ketika kami masih menjalin hubungan beberapa bulan. Dia sempat bertemu denganku, dia bahkan pernah mengancamku. Dia begitu mencintai Mas dias. Dan akhirnya Dia mengakhiri hidupnya sendiri karena kecewa."
"Bun-uh diri?" tanya Gerry.
"Ya, Over Dosis." jawab Eva.
Kami terdiam memikirkan hal yang rumit ini, ternyata bukan hanya tentang kematian Dias yang kami hadapi, tapi ada yang belum usai, seperti kata Zalli.
"Kalau begitu, memang salah mas Dias." gumam Gerry, tertunduk lesu.
"Tidak Ger, bukan itu alasan sebenarnya mas Dias meninggalkan Maria." kata Eva lagi.
"Lalu karena apa Mbak?"
"Mereka itu bandar Ger!"
"Ya Tuhan." Gerry mendesah berat.
Aku menyesal sudah memarahi istriku. Kalau tahu ini alasannya seharusnya aku melindungi istri dan anakku.
"Apakah ini bukti Mbak?" tanya Gerry tak yakin, menatap benda sebesar ibu jari yang baru saja di berikan mbok Yem.
Lusia.. lusiapa siih, sampe seenaknya aja mau bunuh orang kek bunuh nyamuk 🦟/Slight/
Lusia.. lusialan emang 🤭🏃♀️🏃♀️🏃♀️
hais jd tegang nieh a1 bacanya