“Baik, kalau begitu kamu bisa bersiap untuk menyambut kematian mama! Mama lebih baik mati!” Ujar Yuni mencari sesuatu yang tajam untuk mengiris urat nadinya.
Alika tidak percaya dengan apa yang di lakukan Yuni, sebegitu inginnya Yuni agar Alika mengantikkan kakaknya sehingga Yuni menjadikan nyawanya sebagai ancaman agar Alika setuju.
Tanpa sadar air bening dari mata indah itu jatuh menetes bersama luka yang di deritanya akibat Yuni, ibu kandung yang pilih kasih.
Pria itu kini berdiri tepat di depannya.
“Kamu siapa?” Tanya Alika. Dia menebak, jika pria itu bukanlah suaminya karena pria itu terlihat sangat normal, tidak cacat sedikitpun.
Mendengar pertanyaan Alika membuat pria itu mengernyitkan alisnya.
“Kamu tidak tahu siapa aku?” Tanya pria itu menatap Alika dengan sorot mata yang tajam. Dan langsung di jawab Alika dengan gelengan kepala.
Bagaimana mungkin dia mengenal pria itu jika ini adalah pertama-kalinya melihatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 5
Suara benda jatuh di ruang tamu membangunkan Alika malam itu, padahal dia sudah masuk ke alam mimpi yang begitu indah.
Dengan perlahan dan waswas. Alika memutar knock pintu dengan pelan. Lalu turun ke lantai bawah dengan kaki berjinjit agar tak membuat bunyi.
Saat mencapai ruang tamu, ada seseorang berdiri di sana. Alika hanya bisa menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara, padahal dia ingin sekali menjerit meminta tolong. Mungkin saja orang itu adalah penjahat atau perampok.
Alika memutar badan secara pelan takut jika orang itu sadar akan keberadaannya.
“Alika?” Suara Brian menghentikan Alika, membuat perempuan bertubuh kecil itu kembali memutar badan mengurungkan niatnya melarikan diri dari ruang tamu.
“Brian!!!” Teriak Alika saat melihat Brian terjatuh di lantai dengan darah segar yang menetes dari perutnya.
“ka....kamu kenapa?”
Alika menghampiri Brian dengan panik dan takut, karena darah segar terus mengalir dari kemeja putih yang dia pakai Brian malam itu.
“Bantu aku berdiri, aku tidak punya tenaga lagi.” Kata Brian mengangkat kepala melihat Alika.
“Sebaiknya kita ke rumah sakit saja. Ayo aku bawa kamu ke rumah sakit.”
Tapi, tunggu. Alika berhenti, dia lupa, dia tidak bisa membawa mobil. Dasar bodoh, harusnya dulu dia belajar.
“Aku telepon rumah sakit, hp, mana hp.” Panik Alika berputar-putar ruang tamu mencari ponselnya.
“Alika, aku sudah akan menjadi mayat saat ambulance datang. Bantu saja aku berdiri dan bawa aku ke kamar.” Kata Brian yang masih sempat-sempatnya tersenyum melihat kepanikan Alika yang terlihat lucu di matanya.
Dengan susah-paya Alika memapah tubuh tinggi Brian, untungnya kamar Brian ada di lantai bawah sehingga sedikit gampang untuk Alika. Sesampainya di kamar Alika langsung membaringkan Bria di atas kasur.
“Bantu aku membuka bajuku.” Kata Brian dengan dahi berkeringat menahan sakit.
Dengan perlahan Alika membantu melepaskan baju Brian yang sudah berubah warna menjadi merah darah.
Darah segar terus keluar dari luka di perut Brian yang mengangah akibat tikaman pisau.
“Di laci ada Alkohol dan obat ambilkan untukku.” Kata Brian.
Dengan cepat Alika pun mengambil dan membawanya pada Brian. Melihat darah yang segar dari tubuh Brian membuat Alika menjadi pusing. Pandangannya seperti berkunang-kunang, dan dia mulai merasa mual.
“Kamu takut?” Tanya Brian dengan wajah pucat.
Alika mengangguk, dia memang merasa takut. Ini pertama-kalinya dia melihat orang terluka dengan darah yang begitu banyak keluar.
“tidak perlu takut, kalau pun aku mati paling kamu tinggal kubur aku aja.” Ujar Brian y
“Apa kamu akan mati?” Alika mulai menangis. Semakin lama suara tangisannya semakin kuat membuat Brian jadi merasa bersalah.
“Aku tidak akan mati, tapi kalau kamu menangis terus seperti itu. Suara tangisan kamu bisa membuat umurku jadi pendek.”
Mendengar ucapan Brian membuat Alika seketika menghentikan tangisannya.
“Sekarang bantu aku membersihkan lukaku.”
“Ba...baik.” Alika menurut dengan tangan gemetar membersihkan luka Brian dengan alkohol lalu menuangkan obat merah ke luka tikaman di perut Brian.
“Sekarang ambil jarum dan jahit.” Kata Brian yang membuat Alika melotot kaget.
“A...apa?” Kaget Alika, apa Brian gila menyuruhnya menjahit luka? Dia memang pintar menjahit, tapi itu hanya sekedar menjahit kain. Misalnya baju atau celana robek, bukan kulit manusia atau pun menjahit luka tikaman. Brian memang gila!
“Aku tidak bisa.” Tolak Alika.
“Lalu kamu mau aku kehabisan darah?” tatap Brian dengan wajah pucat.
Alika menggaruk-garuk kepalanya dengan kasar. Dia benar-benar frustrasi dibuat Brian, adik ipar yang kurang ajar itu!
Dengan tangan gemetar Alika menjahit luka Brian dengan penuh perasaan, sementara Brian meringis menahan sakit saat jarum menusuk kulitnya.
“Jahit dengan rapi dan cantik.” Pinta Brian.
“Kalau kamu ingin rapi dan cantik, sebaiknya kamu datang ke tukang permak saja.” Ujar Alika kesal, namun di balas senyum oleh Brian.
Saat Alika sedang sibuk fokus menjahit, Brian menatap Alika dalam-dalam. Ada rasa aneh yang muncul di hatinya, menggelitik geli. Alika, perempuan yang biasa itu, sepertinya membuat ruang di hati Brian.
“Sebenarnya apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?” Tanya Alika penasaran tentang yang menimpa Brian, siapa yang menikam Brian?
Alika menghembuskan nafas lega saat dia berhasil selesai menjahit luka Brian, meskipun Alika merasa tadi Alika merasa waktu berjalan dengan sangat lambat.
“Jika aku memberitahumu, apa kamu akan menemui orang itu dan membalasnya?” Brian balik tanya.
“Hah, tidak, kamu saja di buat seperti ini, jika aku bertemu orang itu, aku mungkin akan langsung di bunuh olehnya.” Ucap Alika sambil menyimpan peralatan yang di pakainya menjahit luka Brian.
“Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi padamu kakak ipar.”
“Istirahatlah, jika kamu perlu sesuatu panggil saja aku. Aku akan keluar sebentar.” Alika bangkit berdiri. tapi tangan Brian menarik lengannya membuat dia jatuh ke arah Brian. Kedua kata mereka terpaut satu sama lain. Brian mendekatkan wajahnya lalu mengecup lembut bibir Alika.
“Brian apa yang kamu lakukan!”
Lagi-lagi Brian melakukan sesuatu yang salah padanya, Alika berdiri lalu menatap tajam Brian.
“Sepertinya itu efek jahitan tadi.” Kata Brian dengan santai.
“Jangan memberikan alasan yang tidak masuk akal.” Dengus Alika.
“Bagaimana kalau kamu mempertimbangkan aku. Toh, Daniel juga tidak ada di sini, sepertinya dia juga tidak peduli denganmu.” Daniel memberikan senyum menggoda.
“Jangan mimpi!” Ketus Alika.
“Harusnya kamu menerimanya dengan senang, di banding dengan Daniel si cacat itu, kamu akan jauh lebih bahagia denganku. Aku lebih punya banyak kelebihan di banding dia.” Ujar Brian mencoba membuat luluh Alika.
“Tidak! Terima kasih, simpan saja dirimu untuk perempuan lain.” Tolak Alika tegas.
Dengan kesal Alika melangkah keluar dari kamar, lagi-lagi Brian tidak menghormati dia sebagai kakak ipar, istri dari saudaranya.
“Ah, baru kali ini ada perempuan jelek menolak pria tampan sepertiku.” Ujar Brian.
“Kalau begitu cari saja perempuan cantik yang mau denganmu.” Sahut Alika.
Alika tahu jika Brian sengaja untuk membuatnya kesal., lagian mana ada pria yang mau dengan perempuan yang jelek sepertinya.
Alika masih ingat dulu di bangku SMA, dia suka dengan kakak kelasnya, lalu memutuskan untuk meluahkan isi hatinya pada pria itu. Tapi, Alika justru di permalukan, kakak kelas itu mengatakan jika Alika tidak punya malu karena berani mengatakan suka pada pria tampan sepertinya. Namun, berapa lama, kakak kelas itu justru pacaran dengan Helen.
“Tapi mau bagaimana lagi, aku suka dengan yang jelek sepertimu.” Jawab Brian tak mau kalah.
“Terserah kamu saja!” Geram Alika lalu keluar dari kamar itu.
Alika merasa jika dia terus berada di kamar itu, Brian akan semakin berbicara dan berbuat seenak hatinya. Ternyata, luka yang di derita pria itu tidak membuatnya diam. Malahan Brian semakin menyebalkan.
Brian tak lagi bicara, dia hanya memperhatikan punggung Alika yang berjalan keluar. Ada rasa sayu di hatinya. Hari ini dia berhutang pada Alika. Jika tidak ada Alika mungkin dia akan terkapar menahan sakit.
Alika menatap jam pada dinding yang sudah menunjuk pada angka tujuh. Sudah tiga jam sejak Brian terluka tadi.
Alika masuk dengan membawa semangkuk sup yang di masaknya sore tadi saat Brian tertidur.
“Brian kamu pasti lapar, ini aku sudah masak bubur untuk kamu, kamu bangun dulu makan.”
“Brian membuka mata melihat Alika yang memegang nampan berisi semangkuk bubur dan segelas teh hangat.
Brian duduk dengan perlahan, lalu melirik Alika.
“Aku tidak bisa makan sendiri.” Ucapnya lalu membuka mulut ingin di suapi oleh Alika.
“Kenapa aku harus menyuapi mu? Yang terluka kan bukan tanganmu.” Kata Alika yang merasa jika Brian sengaja ingin mengerjainya.
“Tanganku memang tidak terluka tapi sangat sakit saat aku mengangkat tangan. Tapi, tidak apa-apa kalau kamu tidak mau menyuapiku. Karena aku pasti akan melapor pada Daniel jika kamu tidak merawat ku dengan baik saat aku terluka, kamu hanya membiarkanku tanpa belas kasihan.” Ujar Brian membuat Alika menurut untuk menyuapinya.
“Dasar tukang ancam.” Geram Alika.
Sesuap demi sesuap bubur masuk ke mulut Brian. Keduanya tak bersuara, Brian hanya diam menikmati bubur buatan Alika, sedang Alika menyuapi Brian tanpa bicara. Yang terdengar hanya suara sendok yang menyentuh mangkuk.