NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Sang Billionaire

Jerat Cinta Sang Billionaire

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikah Kontrak / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: DENAMZKIN

Sekar Arum (27) ikut andil dalam perjanjian kontrak yang melibatkan ibunya dengan seorang pengusaha muda yang arogan dan penuh daya tarik bernama Panji Raksa Pradipta (30). Demi menyelamatkan restoran peninggalan mendiang suaminya, Ratna, ibu Sekar, terpaksa meminta bantuan Panji. Pemuda itu setuju memberikan bantuan finansial, tetapi dengan beberapa syarat salah satunya adalah Sekar harus menikah dengannya dalam sebuah pernikahan kontrak selama dua tahun.
Sekar awalnya menganggap pernikahan ini sebagai formalitas, tetapi ia mulai merasakan sesuatu yang membingungkan terhadap Panji. Di sisi lain, ia masih dihantui kenangan masa lalunya bersama Damar, mantan kekasih yang meninggalkan perasaan sedih yang mendalam.
Keadaan semakin rumit saat rahasia besar yang disembunyikan Panji dan adik Sekar muncul kepermukaan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MASALAH DAN BATAS

Sekar melangkah cepat dari pintu depan menuju kamar tidur, langkah kakinya bergema di ruang tamu yang luas. Gelung rambutnya sudah tidak rapi, mengakibatkan helaian rambutnya menjuntai lembut, mengikuti setiap gerakan tubuhnya.

"Sekar, Ibu tidak akan membiarkan ini terjadi," seru Ratna, ibunya, dari belakang. "Dia adalah suamimu. Bersikaplah seperti wanita dewasa."

Sekar hanya mendengus sambil memutar mata. Sesampainya di kamar, dia langsung menuju lemari, mengambil tumpukan pakaian, lalu memasukkannya ke dalam tas besar.

"Dia tidak seperti yang kita kira, Bu," ucapnya sambil menutup resleting tas. "Semua ini hanya tipu muslihatnya."

"Dia persis seperti yang kita bayangkan," jawab Ratna tegas sambil masuk ke kamar dan membuka kembali resleting tas tersebut. "Dia akan menjadi penyelamat keluarga ini."

Dengan frustasi, Sekar mengangkat kedua tangannya dan keluar dari kamar.

"Dia berbohong. Kalau soal ini saja dia bisa berbohong, lalu apa lagi yang dia sembunyikan?" ucapnya tajam saat ia melangkah naik ke lantai atas, menuju kantor suaminya.

"Sekar, coba tenanglah dan pikirkan baik-baik,"

Sekar membuka pintu ruang kerja suaminya dengan keras dan langsung menuju meja kerja. Dia yakin dokumen yang dia cari ada di sana. Saat dia berbalik untuk memeriksa tempat lain, Ratna sudah berdiri di depannya, memegang bahunya untuk menghentikan gerakannya.

"Kamu harus mempertimbangkan tindakanmu. Apa kata orang nanti? Bagaimana dengan restoran? Kamu harus tetap tenang."

"Kalau begitu, setelah aku bercerai, Ibu bisa menikahinya," balas Sekar sinis. Dia menepis tangan Ratna, melangkah melewatinya, dan mulai membuka laci-laci meja, mencari dokumen atau amplop yang tampak familiar.

"SEKAR ARUM!!" tegur Ratna dengan nada keras.

"Aku tidak akan terus berpura-pura semuanya baik-baik saja hanya untuk menyelamatkan wajah Ibu!" Sekar membalas dengan suara lantang, sembari membongkar tumpukan berkas dan melemparkannya ke lantai.

"Di mana dia menyembunyikannya? Aku tahu itu ada di sini!" Dengan amarahnya yang belum padam, dia berjalan menuju lemari arsip di sisi lain ruangan.

"Ini bukan hanya tentang kamu, Sekar," kata Ratna, memposisikan dirinya di depan lemari arsip, berusaha menghentikan langkah putrinya sambil mencoba merebut berkas dari tangannya.

"Ini menyangkut keluarga, restoran, dan semua pekerjaan yang akan hancur jika kamu terus seperti ini," Ratna berkata dengan putus asa, "Apa yang akan kamu lakukan jika menemukan kontrak itu?"

"Aku akan merobeknya!" jawab Sekar tanpa ragu, melipat tangannya di dada dengan kesal. "Harus dengan cara lain untuk mendapatkan uang. Aku tidak mau terus terjebak dalam pernikahan ini."

"Kamu baru menikah tiga bulan!!" balas Ratna, hampir tak percaya.

"Itu sudah lebih dari cukup!"

"Sekar, ibu mohon,"

"Kenapa berkas-berkasku berserakan di lantai?" suara Panji tiba-tiba terdengar dari pintu, membuat kedua wanita itu terkejut dan menoleh ke arahnya.

"Panji, bagaimana pertemuan dengan para investor?" tanya Ratna, berdiri di antara Sekar dan lemari arsip.

"Lancar, sampai pada bagian di mana putrimu pergi seperti orang gila," jawab Panji sambil menatap Sekar dengan pandangan tajam.

"Apa susahnya untuk berpura-pura ingin menjalani semua ini?"

"Tentu saja dia mau," jawab Ratna cepat, seolah mewakili Sekar.

Hening sejenak. Sekar menatap Panji dengan penuh kebencian dari balik punggung ibunya.

"Bu, Jika boleh, bisakah aku berbicara dengan istriku sebentar? Sendirian?" pinta Panji dengan tenang.

Ratna menatap Sekar dengan wajah penuh kecewa sebelum beralih ke Panji dan mengangguk, berhenti sejenak di ambang pintu, lalu menghilang di balik lorong. Panji mengikutinya dibelakangnya lalu menutup pintu, meninggalkan dirinya dan Sekar sendirian di ruang kerjanya. Dalam keheningan, Panji memejamkan mata dan bersiap menghadapi pertengkaran yang dia tahu pasti akan terjadi.

"Kamu berbohong padaku," Sekar memecah keheningan.

"Aku tidak berbohong, aku hanya tidak mengatakan semuanya," balas Panji sambil berbalik menghadapnya dan melihat kekacauan di ruangan itu.

"Tapi, sekarang aku sadar, dan setuju itu keputusan yang buruk."

"SEMUA IDE INI BURUK!" Sekar membalas dengan suara meninggi, aksen medoknya terdengar lebih kuat dari sebelumnya.

"Menjadi istrimu? Baiklah. Menjadi mitra bisnismu? Oke. Tapi menjual daya tarikku ke ruangan penuh pria? Lupakan saja, aku punya caraku sendiri!" Dia maju selangkah "Kamu mempermalukanku." lanjutnya.

Panji meletakkan tangannya di pinggang dan menghela napas berat.

"Kamu bertingkah seperti orang keras kepala." Ucapnya.

"Suami macam apa yang memperlakukan istri sendiri seperti barang dagangan?" Sekar berkata dengan nada tidak percaya sambil menyilangkan tangan di dadanya.

"Suami yang sedang meminta tujuh ratus juta rupiah dari ruangan penuh pria," jawab Panji dengan nada frustasi.

"Serius, aku hanya memintamu membuka sedikit kancing kemeja dan menggerai rambutmu." Dengan tiga langkah cepat, dia sudah berada di depan Sekar.

"Kamu benar-benar brengsek," balas Sekar sambil berjalan melewatinya menuju pintu.

"Heh," Panji menarik lengannya dan memutarnya kembali hingga mereka berhadapan. "Banyak masalah yang akan selesai jika kamu sedikit lebih santai."

"Benar," gumam Sekar sinis. "Masalahnya adalah aku perempuan bukan pria."

Panji menaikkan alisnya, memandangi wajah Sekar dari dekat. "Aku sangat sadar dengan jenis kelaminmu. Pertanyaannya, apakah kamu sadar?"

Sekar mundur dengan cepat, punggungnya menghantam pintu kayu di belakangnya. Dengan tangan kanannya, dia mulai meraih gagang pintu.

"Aku tidak peduli apa kesepakatan yang kamu buat dengan ibuku, dan aku tidak punya niat untuk melanjutkan ini. Ingat kata-kataku, Tuan Panji Raksa Pradipta, aku bukan wanita jalanan, dan aku berniat melanjutkan bisnis ayahku dengan prinsip."

Panji mendorong pintu, membantingnya dengan keras, sekaligus mendorong Sekar hingga punggungnya membentur pintu.

"Oh ya, Menempelkan surat penggusuran di pintu depan, Itu yang kamu sebut prinsip? Kenapa kamu tidak mengakuinya saja, Kamu seperti kapal karam saat aku datang," katanya sambil mendekat, semakin memperkecil jarak yang nyaris tidak ada.

"Restoranmu hampir bangkrut, dan aku yang menyelamatkannya."

"Menjauh dariku," Sekar mendesis sambil mendorong dada Panji dan dia tidak bergerak. Ketika Sekar berhenti melawan, Panji menghela nafas frustasi.

"Kamu benar-benar kasar." Ucap Sekar

"Dan kamu keras kepala," balas Panji dengan dingin.

"Aku ini istrimu," Sekar membalas dengan tajam. "Apa ayahmu tidak pernah mengajarkan bagaimana memperlakukan seorang perempuan?"

Panji tiba-tiba menunduk, menyambar bibir Sekar dalam ciuman penuh gairah yang bercampur dengan kemarahan. Selama tiga bulan terakhir, ketegangan di antara mereka terus meningkat. Dia sangat frustasi hingga hampir tidak bisa menahannya lagi. Jika harus jujur, sikap keras kepala Sekar hanya membuatnya semakin tergoda.

Sekar mendorong Panji dengan keras, berusaha melawan sambil mendengus marah.

"Hentikan," katanya dengan suara teredam di sela ciuman. "BERANINYA KAMU!"

Panji mundur sedikit, bibirnya melengkung menjadi senyuman arogan.

"Baiklah," katanya sambil melambaikan tangan seolah tak peduli. "Pergi, beritahu ibumu bahwa kita sudah sepakat."

"Aku tidak menyetujui apapun," balas Sekar, mendorong dirinya dari pintu dan mengusap bibirnya dengan punggung tangan. "Aku akan pergi dari sini"

"Kamu tidak mungkin pergi," Panji berkata sambil melonggarkan dasinya. "Keluargamu menandatangani kontrak. Suka atau tidak, kita ada di dalam ini bersama-sama."

"Ada cara lain untuk mendapatkan uang demi menyelamatkan keluargaku dan restoran ayahku."

"Tidak, tidak ada," balas Panji dengan seringai sinis. "Pada hari pernikahan, aku menandatangani kontrak seperti yang kamu lakukan," lanjutnya sambil melepas dasinya. "Kontrak itu mencakup surat kepemilikan restoran. Jika kamu meninggalkanku, restoran itu menjadi milikku," tambahnya dengan senyum kemenangan khasnya.

Wajah Sekar berubah. Kemarahannya hilang, digantikan oleh kesedihan dan penyesalan yang mendalam. Tidak ada kata yang bisa dia ucapkan, hanya menggigit bibirnya menahan emosi.

"Berhenti melakukan itu," kata Panji sambil melepaskan dasinya sepenuhnya. Dalam benaknya, dia membayangkan menggunakan dasi itu untuk mengikat Sekar di tempat tidur, menikmati saat dia akhirnya menyerah dan memohon lebih. Melihat Sekar menggigit bibirnya membuat Panji ingin menggigit bibir itu sendiri, menikmati reaksi terkejutnya.

Sekar melepaskan gigitannya dan mencoba menahan diri agar tidak menangis dalam kekalahan, atau malah menyerangnya sebagai balasan.

"Kenapa kamu melakukan ini?"

"Aku juga bisa bertanya hal yang sama padamu," jawab Panji, melempar dasinya ke kursi terdekat.

"Mulai sekarang, bersikaplah manis dan pergilah membongkar tas mu karena kamu tidak akan ke mana-mana," lanjutnya dengan nada lembut sambil melepas kancing mansetnya.

"Aku yakin ibumu akan membantumu."

Sekar melangkah maju, mendekati Panji, lalu mengangkat tangannya untuk menampar wajahnya. Suara tamparan itu keras, begitu pula rasa perih di tangannya. Dia mendengus untuk menahan rasa sakit di tangannya. Dia tahu tindakan itu tidak akan mengubah apa pun, hanya akan membuat Panji lebih marah, tapi rasanya memuaskan.

Panji menatapnya dengan tenang saat Sekar berdiri di depannya, mencoba mengatur nafasnya. Wajah Panji memerah karena bekas tamparan itu. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya saat dia menatap istrinya, wanita yang telah membuat hidupnya jungkir balik sejak mereka menikah.

"Kusarankan kamu keluar dari ruangan ini selagi aku masih baik hati."

"Kamu tidak punya sopan santun, tidak punya rasa malu, dan tidak tahu cara memperlakukan seorang perempuan," katanya tajam dengan hidung kembang kempis menahan marah.

"Fakta bahwa ini pernikahan yang diatur oleh ibuku saja sudah cukup membuktikan segalanya. Aku muak menyebutmu suami, dan ayahku pasti akan menangis di kuburnya jika melihat apa yang terjadi pada keluarganya."

Panji meraih pinggang Sekar, memutar tubuhnya, dan mendorongnya ke arah pintu.

"Percayalah, menikah denganmu adalah keputusan bisnis terburuk yang pernah kubuat, dan fakta bahwa ini baru berjalan tiga bulan membuatku berharap aku lebih baik menembak diriku sendiri."

Panji mendorong Sekar keluar dari ruang kerjanya, Saat Sekar berbalik untuk melontarkan kemarahan, pintu itu dibanting tertutup tepat di hadapannya.

1
sSabila
ceritanya keren, semangat kak
jangan lupa mampir di novel baru aku
'bertahan luka'
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!