Park Eun-mi, seorang gadis Korea-Indonesia dari keluarga kaya harus menjalani banyak kencan buta karena keinginan keluarganya. Meski demikian tak satupun calon yang sesuai dengan keinginannya.
Rayyan, sahabat sekaligus partner kerjanya di sebuah bakery shop menyabotase kencan buta Eun-mi berikutnya agar menjadi yang terakhir tanpa sepengetahuan Eun-mi. Itu dia lakukan agar dia juga bisa segera menikah.
Bagaimana perjalanan kisah mereka? Apakah Rayyan berhasil membantu Eun-mi, atau ternyata ada rahasia di antara keduanya yang akhirnya membuat mereka terlibat konflik?
Yuk! Simak di novel ini, Kencan Buta Terakhir. Selamat membaca.. 🤓
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 4
Pagi masih belum berakhir saat Rayyan kembali turun setelah memasak sarapan. Dia melangkah pelan sambil membawa dua mangkok bubur ayam di tangannya. Saat melewati dapur, aroma roti yang baru selesai di panggang memenuhi ruangan itu. Para baker sedang menyiapkan roti dan pastry yang akan dijual hari ini.
"Buryam?", tawarnya pada Eun-mi yang terlihat tengah sibuk dengan laptopnya.
"Ah, iya. Tentu. Makasih", ucapnya seraya menutup layar laptop.
Mereka kemudian menikmati bubur tersebut dalam diam. Sesekali Eun-mi melihat pada Rayyan dengan tatapan ragu.
"Menurut kamu, apa sebaiknya aku berhenti saja?", tanya Eun-mi.
"Maksudmu, kencan buta?", Rayyan balik bertanya.
Eun-mi hanya mengangguk.
"Apa kamu yakin kalau nanti bisa menghadapi kakek dan seluruh keluarga besarmu?", Rayyan sangsi akan kesiapan Eun-mi.
Eun-mi hanya diam. Dari wajahnya terlihat kalau hatinya sedang gundah.
"Oke, gimana kalau begini aja. Kamu pergi ke kencan buta itu sekali lagi. Kalau tetap gagal, ya.. mungkin sudah waktunya kamu membuka mata dan mencari yang sesuai dengan keinginan kamu, bukan keluarga kamu. Lagian pernikahan itu kamu yang bakal menjalaninya kan? Bukan mereka", sahut Rayyan yang sepertinya kembali memberikan pengaruh buruk pada Eun-mi.
Eun-mi tetap diam untuk beberapa saat, seperti tengah menimbang keputusan yang tepat.
"Ya sudah, aku akan coba sekali lagi. Walaupun sebenarnya aku pesimis kalau hasilnya akan beda sama yang sebelumnya", putusnya.
Rayyan hanya tersenyum sambil mengangguk.
*******
Ruang etalase toko mulai ramai pengunjung. Kebanyakan dari mereka adalah para pekerja dan pelajar. Mereka perlu mengisi perut mereka sebelum kegiatan melelahkan yang akan mereka lakukan sepanjang hari bahkan hingga malam nanti.
Rayyan hanya mengawasi sambil melihat produk mana yang laris dan mana yang sepi peminat. Itu dilakukannya agar bisa menjadi bahan evaluasi untuk peningkatan penjualan mereka.
Seorang pria muda berpakaian rapi memasuki toko. Penampilannya yang menarik membuat sebagian besar pengunjung toko memperhatikannya.
Dia meneliti roti dan pastry yang ada dalam lemari etalase kemudian menentukan pilihannya.
Pelayan toko yang melayaninya pun terlihat salah tingkah saat berinteraksi dengannya. Hanya Asna yang tetap dalam bentuk asalnya. Tak berubah dan selalu konsisten menampilkan ketiadaan ekspresi.
"Apa di sini bisa memesan kue ulang tahun?", pria itu telah melakukan kesalahan.
Asna menatapnya dengan tatapan datar, kemudian mengetuk flat plastik bertulisan kasir.
Pria itu mengerutkan dahinya.
"Iya, aku tahu kau kasir. Makanya aku bayar di sini", ucap pria itu lagi, tak mengerti maksud dari isyarat Asna.
Yang lain hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Asna.
Eun-mi yang bermaksud keluar menuju ruang etalase terkejut saat baru membuka pintu. Ia lalu buru-buru kembali menutupnya dan itu dilihat oleh Rayyan. Rayyan bingung dengan sikap Eun-mi lalu menyusulnya ke belakang.
"Kamu kenapa?", tanya Rayyan.
Eun-mi tersenyum pahit, tak menyangka kalau tertangkap basah oleh Rayyan.
"Kamu kenal sama laki-laki itu?", tanya Rayyan lagi.
Eun-mi menghela nafas.
"Kayaknya... dia kencan butaku yang berikutnya. Kenapa bisa kebetulan sekali ya, dia sampai mampir ke sini?", tanya Eun-mi entah pada siapa.
"Beneran nih?! Kamu serius?", Rayyan terlihat bersemangat.
Eun-mi kemudian membuka ponselnya dan memperlihatkan foto pria yang dikirim bibinya.
"Yup! Jelas itu memang dia", Rayyan tersenyum cerah.
Eun-mi malah tak mengerti mengapa Rayyan bersikap seperti itu.
Sejurus kemudian Rayyan segera kembali ke ruang etalase, namun yang dicarinya sudah tak ada.
"Kemana orang yang mau pesan kue ulang tahun tadi?", tanyanya pada Asna.
Asna hanya menunjuk pintu toko. Rayyan segera keluar dan mencarinya.
Ternyata pria itu masih ada, terlihat sedang membuka pintu mobilnya.
"Permisi, tuan!", seru Rayyan.
Pria itu menoleh ke beberapa arah sebelum akhirnya menemukan asal suara yang didengarnya.
Rayyan menghampirinya dengan berlari kecil.
"Anda tadi ingin memesan kue, benarkah?", tanya Rayyan antusias.
"Oh, apa kau dari toko itu?", tanya Pria itu.
Rayyan mengangguk seraya tersenyum ramah.
"Saya Rayyan, koki pastry di sana. Saya bisa membuatkannya untuk anda", Rayyan mengulurkan tangan.
"Ah, benarkah? Bagus kalau begitu. Aku Jeong In-ho", sahutnya kemudian menyambut tangan Rayyan.
"Eng.. maaf kalau boleh saya tahu, apa ada yang merekomendasikan toko kami pada anda? Karena saya tidak pernah melihat anda mampir sebelumnya", tanya Rayyan.
In-ho tersenyum salah tingkah sambil memijat tengkuknya.
"Ya.. sebenarnya aku ada rencana menghadiri kencan buta. Aku diberitahu kalau teman kencanku bekerja di sini, tapi mereka tak bersedia menunjukkan fotonya. Jadi.. aku mencoba mencari tahu sendiri", sahutnya malu.
"Apakah mungkin dia orangnya? Yang berada di meja kasir?", tanya In-ho.
"Sepertinya aku harus belajar bahasa isyarat karena dia kelihatannya tak suka bicara", In-ho meringis tapi juga tertawa.
Rayyan melongo mendengarnya.
"Kenapa anda sampai menyimpulkan kalau dia orangnya?"
"Karena perantaraku bilang, dia wanita Korea-Indonesia. Bukankah kasir tadi, bukan orang Korea asli?", tanya In-ho.
Rayyan terkekeh. Bagaimana mungkin pria ini mengira perantaranya akan menjodohkan dia yang jelas-jelas dari kalangan atas dengan seorang kasir sebuah toko roti? Walaupun secara penampilan, wajah Asna memang terlihat lebih oriental dibandingkan keturunan Indonesia asli pada umumnya.
"Anda tenang saja, bukan dia orangnya. Wanita yang mereka maksud adalah pemilik toko ini. Park Eun-mi"
"Aah.. ya..ya. Namanya Park Eun-mi, kau benar", sahut In-ho seraya mengangguk-angguk.
"Ehm.. apa anda mau saya bantu? Maksud saya supaya kencan anda sukses. Kebetulan saya adalah teman Eun-mi sejak di Indonesia. Jadi, saya sudah sangat mengenalnya", tawar Rayyan serius.
Rayyan menyadari, In-ho adalah peluang terakhir Eun-mi untuk bisa menikah tanpa perlu berseteru dengan keluarganya. Karena kalau ini gagal, dia tak tahu harus bagaimana lagi membantu Eun-mi.
"Benarkah? Kurasa itu bagus", In-ho tersenyum kemudian melihat jam tangannya.
"Aku ada meeting penting sebentar lagi. Bagaimana kalau nanti kita bertemu. Masih ada waktu sekitar satu minggu sebelum jadwal pertemuan kami, kuharap kau bisa membantuku", pintanya sungguh-sungguh seraya menyerahkan kartu namanya.
Rayyan mengambilnya dengan kedua tangannya kemudian menyerahkan kartu namanya sendiri.
In-ho menerima kemudian membacanya sekilas lalu tersenyum mengangguk.
"Baiklah, sampai jumpa", ucapnya seraya membungkuk.
"Sampai jumpa", Rayyan membalasnya.
Jeong In-ho. CEO Imagine Corporation. Sebuah perusahaan periklanan di Kota Seoul.
"Wuih, sultan ini", ucap Rayyan tersenyum puas.