Di sebuah kota yang tampak tenang, Alvin menjalani hidup dengan rutinitas yang seolah-olah sempurna. Seorang pria berusia awal empat puluhan, ia memiliki pekerjaan yang mapan, rumah yang nyaman. Bersama Sarah, istrinya yang telah menemaninya selama 15 tahun, mereka dikaruniai tiga anak: Namun, di balik dinding rumah mereka yang tampak kokoh, tersimpan rahasia yang menghancurkan. Alvin tahu bahwa Chessa bukan darah dagingnya. Sarah, yang pernah menjadi cinta sejatinya, telah berkhianat. Sebagai gantinya, Alvin pun mengubur kesetiaannya dan mulai mencari pelarian di tempat lain. Namun, hidup punya cara sendiri untuk membalikkan keadaan. Sebuah pertemuan tak terduga dengan Meyra, guru TK anak bungsunya, membawa getaran yang belum pernah Alvin rasakan sejak lama. Di balik senyumnya yang lembut, Meyra menyimpan cerita duka. Suaminya, Baim, adalah pria yang hanya memanfaatkan kebaikan hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aufklarung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Bab 6
Alvin berdiri di depan meja polisi, wajahnya serius saat ia berusaha memahami setiap detail tentang kasus yang melibatkan Baim. Sebagai pengacara, Alvin tidak hanya melihat kasus ini dari sisi hukum, tetapi juga dari perspektif pribadi. Ia mengenal Baim, meskipun bukan teman dekat, namun cukup tahu latar belakang hidup pria itu yang penuh dengan kebohongan dan kekerasan. Alvin tahu bahwa Baim tak akan pernah berubah, dan mungkin, ini adalah kesempatan terbaik untuk mengakhiri semuanya.
Di ruang tunggu, di sisi lain kantor polisi, Meyra duduk terisak. Ia memeluk tubuhnya sendiri, merasa terpojok dan terjatuh dalam dunia yang serba salah. Mata Meyra merah dan bengkak karena menangis, memikirkan suaminya yang kini mendekam di balik jeruji. Tidak ada yang lebih menyakitkan baginya daripada kenyataan bahwa Baim, pria yang seharusnya ia percayai dan cintai, malah membunuh Sarah, sahabatnya yang begitu ia sayangi. Sarah yang juga adalah ibu dari Cessa, anak didiknya yang paling ia sayangi.
Meyra tampak sangat rapuh saat Alvin masuk ke ruangan itu. Ia mengenali Alvin dengan jelas, meskipun mereka jarang berbicara di luar lingkungan sekolah. Alvin adalah orang tua dari Cessa, murid yang paling bersemangat dalam kelasnya. Ia sering merasa terhubung dengan anak itu, yang selalu terlihat ceria dan penuh kasih, seakan tidak ada masalah dalam hidupnya. Namun, kenyataan yang baru saja Meyra temui, membuat dirinya terhenyak.
"Pak Alvin... apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Meyra dengan suara serak.
Alvin hanya mengangguk, lalu duduk di sampingnya. “Saya di sini untuk mengurus kasus ini. Saya tahu betul apa yang sedang ibu alami. Saya bisa bantu kamu keluar dari situasi ini."
Meyra mengangkat wajahnya, kebingungannya semakin bertambah. "Maksud Bapak?" tanyanya, mencoba memahami apa yang Alvin bicarakan.
“Dengar, Bu Meyra," Alvin melanjutkan, menatap langsung ke matanya, “Saya tahu betapa sulitnya menerima kenyataan ini. Saya kehilangan Sarah, dan sekarang kamu dihadapkan pada kenyataan bahwa Baim, suamimu, yang telah menghancurkan segalanya. Tapi saya bisa menawarkan sesuatu yang mungkin bisa memberi kamu sedikit ketenangan.”
Meyra memiringkan kepala, mencoba membaca niat Alvin. “Apa yang kamu maksud Bapak?”
Alvin menarik napas panjang. “Saya bisa mencabut tuntutan terhadap suami anda. Saya bisa pastikan ia tidak akan dihukum jika kamu bersedia menikah dengan saya dan merawat anak-anaknya. Cessa, Rey, dan Rheana. Kamu tahu betapa pentingnya anak-anak itu, bukan? Mereka membutuhkan ibu yang bisa mengasuh dan memberi kasih sayang.”
Meyra terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. “Maksud Bapak….. menikah denganku? Kenapa?” Ia merasa bingung dan tak percaya. Tak ada yang pernah memberinya tawaran seperti itu, terlebih dari seseorang yang baru ia kenal lebih dalam.
“Karena saya ingi ada orang yang merawat anak- anak saya, Meyra. Saya juga tahu bahwa kamu sudah cukup lama merasa kesepian dan terjebak dalam pernikahan yang salah. Kamu sudah berjuang terlalu lama, bukan? Saya melihat bagaimana kamu merawat Cessa, bagaimana kamu sabar dan penuh kasih meski segala sesuatu tampak sulit. Itu yang saya butuhkan, Bu Meyra. Kamu bisa memberikan rumah yang penuh kasih untuk anak-anak itu. Kita bisa jadi keluarga. Saya ingin kamu menjadi ibu bagi Cessa dan anak-anak lainnya. Saya bisa bantu kamu untuk melalui semua ini."
Meyra terdiam. Kata-kata Alvin seperti pisau yang menusuk-nusuk hatinya. Ia merasa cemas dan bingung, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Apa yang benar-benar ia inginkan? Menjalani hidup tanpa Baim yang selalu membebaninya? Atau menerima tawaran Alvin, seorang pria yang tidak pernah ia anggap lebih dari sekedar orang tua Cessa?
Namun, rasa cemas itu segera berubah menjadi amarah yang terpendam. "Tapi Sarah... Bagaimana dengan Sarah? Dia... Dia adalah ibu Cessa.." Suaranya bergetar.
Alvin menatapnya dengan tajam, seolah ia sudah memikirkan segalanya. “Saya tahu itu, Meyra. Tapi hidup kita harus terus berjalan. Anak-anak itu membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Saya percaya, kamu bisa menjadi ibu yang baik bagi Cessa. Tentang Sarah... kita tidak bisa mengubah masa lalu. Saya juga merasa kehilangan, tapi kita harus move on. Kamu bisa memberi mereka masa depan yang lebih baik."
Meyra menunduk, terdiam. Setiap kata Alvin seolah menumbuk kepalanya. Ia merasa seperti terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari. Di satu sisi, tawaran Alvin begitu menggiurkan. Ini bisa jadi cara untuk melupakan Baim, untuk keluar dari bayang-bayang pria itu yang selalu membuatnya susah. Namun, di sisi lain, ia merasa sangat terikat pada Sarah dan pada Cessa. Anak kecil itu begitu polos, tak tahu apa yang sedang terjadi. Ia tak bisa begitu saja menggantikan ibu Cessa.
“Pak Alvin...” suara Meyra terhenti. Ia merasa perasaan dalam dirinya begitu campur aduk. “Aku... Aku tidak tahu apa yang harus aku pilih.”
“Tidak ada pilihan yang sempurna, Bu Meyra. Tapi kamu tahu satu hal: hidup ini berjalan terus. Anak-anak itu membutuhkan seseorang yang bisa mengarahkan mereka ke jalan yang lebih baik. Saya ingin kamu menjadi bagian dari hidup mereka.”
Meyra menghela napas panjang, merasa dirinya semakin terperangkap. “Bapak benar... aku memang butuh waktu untuk berpikir. Semua ini terlalu cepat.”
“Pikirkan dengan hati-hati, Bu Meyra. Ini bukan keputusan mudah, tapi ini bisa menjadi jalan keluar dari semua kesulitan yang kita hadapi. Saya akan membantu kamu, apa pun yang kamu putuskan,” Alvin berkata dengan suara yang lembut namun penuh harapan.
Meyra menatapnya, matanya penuh kebingungan. Ia merasa begitu berat untuk memutuskan. Ia merasakan beban hidup yang berat, tapi ia tahu ia harus membuat keputusan. Ia tidak bisa lagi hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Namun, menikahi Alvin? Mengambil alih peran sebagai ibu untuk Cessa dan dua anak lainnya yang tidak ia kenal dengan baik? Semua itu begitu rumit.
Beberapa menit kemudian, Alvin berdiri dan menepuk bahu Meyra, memberi dorongan moral. “Pikirkan baik-baik, Bu Meyra. Saya akan menunggu keputusanmu. Jangan merasa tertekan. Kita akan selesaikan semuanya dengan cara yang terbaik.”
Setelah Alvin pergi, Meyra duduk kembali di kursinya, menatap ke depan dengan tatapan kosong. Sungguh, hidupnya tak pernah sesulit ini. Akankah ia benar-benar bisa menerima tawaran Alvin? Apakah ia siap untuk berperan sebagai ibu baru bagi anak-anak yang bukan miliknya? Atau apakah ia akan tetap berjuang dengan cara lain?
Di luar ruangan, Alvin berjalan keluar dari kantor polisi dengan langkah ringan, merasa optimis. Ia tahu bahwa tawarannya sangat berat bagi Meyra, tapi ia yakin bahwa akhirnya, ia akan mendapatkan apa yang diinginkannya: sebuah keluarga baru, dan akhir dari kisah kelam Baim.