Jo Wira, pemuda yang dikenal karena perburuan darahnya terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya, kini hidup terisolasi di hutan ini, jauh dari dunia yang mengenalnya sebagai buronan internasional. Namun, kedamaian yang ia cari di tempat terpencil ini mulai goyah ketika ancaman baru datang dari kegelapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orpmy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Demam
Langit semakin merah, menandakan senja telah tiba. Di atas punggung Sumba, Wira berjuang untuk tetap terjaga. Nafasnya terengah-engah, wajahnya basah oleh keringat dingin, tubuhnya gemetar seperti dihantam badai demam yang mematikan.
Setiap detik terasa lebih berat, Wira hampir saja terjatuh karena kehilangan kesadaran. Tapi beruntung suara Kinta kembali membangunkannya, ia terus memacu kudanya menuju basecamp.
Begitu tiba di pondok, Wira hampir tersungkur saat turun dari punggung Sumba. Lututnya lemas, seakan tak mampu lagi menahan beban tubuhnya.
Kinta, menyalak cemas, sedangkan Sumba menghentakkan kakinya di tanah, menunjukkan kegelisahan yang sama. Namun, Wira hanya mengangkat tangan, meminta mereka untuk tenang.
“Tidak apa-apa... aku masih bisa bertahan,” ucapnya dengan suara parau, meski jelas tubuhnya semakin melemah. "Tapi kalian harus tetap berjaga. Aku khawatir zombie itu bisa melacak kita sampai tempat ini."
Kinta menyalak lagi, kali ini dengan nada meyakinkan seolah berkata bahwa ia dan Sumba mampu menjaga tempat itu. Melihat kesetiaan mereka, Wira tersenyum kecil. Namun, di balik senyumnya, pikirannya dipenuhi kebingungan.
‘Kinta tidak menunjukkan perubahan setelah mengigit zombie, tapi kenapa aku malah sakit? Apa virus itu hanya berefek pada manusia?.’ pikirnya.
Dengan langkah gontai memasuki pondok. Sementara itu, Kinta dan Sumba mengambil posisi mereka di luar, siaga penuh seperti yang diperintahkan.
***
Dari luar, pondok Wira tampak seperti bangunan bobrok yang hampir roboh, dengan dinding kayu lapuk dan atap berlubang. Namun, tampilan itu hanyalah ilusi untuk citra satelit.
Karena yang sebenarnya bagian dalam pondok itu bersih dan terawat. Setiap sudutnya mencerminkan disiplin dan komitmen Wira untuk menjaga tempat tinggalnya tetap layak huni meski berada di tengah hutan belantara.
Wira berjalan melewati ruang utama menuju gudang kecil di belakang. Ia membuka pintu rahasia yang tersembunyi di balik rak buku, memaparkan panel kode yang hanya ia ketahui. Dengan jemari gemetar, ia mengetikkan kombinasi, dan sebuah pintu lift terbuka di hadapannya.
Lift ini adalah pintu masuk ke bunker rahasia, terletak 500 meter di bawah tanah, berisi segala fasilitas yang dibutuhkan Wira untuk bertahan hidup.
Saat lift bergerak turun, tubuh Wira bersandar lemah di dinding logam. Napasnya berat, dan ia sesekali batuk, suaranya bergema di ruang sempit itu. "Aku sudah semakin lemah... Padahal dulu, rasa sakit seperti ini bukan apa-apa," pikirnya getir.
Ketika pintu lift terbuka, Wira menyeret tubuhnya keluar dengan langkah terseok. Ia melewati koridor bersih yang diterangi cahaya neon putih menuju laboratorium pribadinya.
Begitu masuk, ia segera mengambil serum peningkat daya tahan tubuh dari lemari pendingin dan menyuntikkannya ke lengannya. Sensasi dingin menyebar ke seluruh tubuh, memberikan sedikit kelegaan. Namun, Wira tahu efeknya hanya sementara.
Ia menyalakan peralatan laboratorium dan segera bekerja. Dengan sisa tenaganya, ia mengambil sampel darahnya sendiri serta darah zombie yang menempel di busurnya.
Fokusnya terpusat pada tujuannya menemukan sumber racun yang menyebabkan tubuhnya melemah. Jika ia bisa mengidentifikasi racunnya, ia yakin dapat membuat penawarnya.
Namun, berulang kali hasil analisisnya menunjukkan hal yang sama, tidak ada racun, tidak ada virus, tidak ada senyawa asing. Darah zombie itu hanyalah darah busuk biasa. Hasil ini membuat Wira bingung.
"Mustahil... Kalau bukan racun, lalu apa yang membuat tubuhku seperti ini?" gumamnya sambil memegang pelipis, menahan nyeri yang mulai menusuk kepalanya.
Ia mencoba lagi dan lagi, mengulangi pemeriksaan hingga kelelahan mulai mengambil alih. Demamnya semakin parah, dan tubuhnya terasa seperti diperas.
Akhirnya, ketika efek serum habis, Wira tak lagi mampu bertahan. Ia jatuh tersungkur di lantai laboratorium, napasnya tersengal-sengal sebelum akhirnya pingsan.
Dalam keheningan laboratorium, tubuh Wira yang terbaring tampak mengalami perubahan secara perlahan. Sesuatu yang tidak terjelaskan mulai bangkit di dalam dirinya.
***
Wira membuka matanya perlahan. Lampu laboratorium yang temaram terasa sedikit menyilaukan, memaksanya mengerjapkan mata beberapa kali.
Udara di sekelilingnya terasa dingin, tetapi nyaman, membuat kesadarannya kembali dengan cepat. Ia menyadari sedang terbaring di lantai laboratorium, "Apa aku ketiduran?" Gumamnya, seakan keadaan seperti ini sudah sering dia alami.
Dia bangkit perlahan, mengamati sekeliling. Alat-alat laboratorium masih menyala, menampilkan hasil analisis yang sama seperti sebelumnya.
Wira mengerutkan dahi, mencoba mengingat apa yang terjadi. Ingatannya agak kabur, hingga akhirnya dia ingat sebelumnya sedang mengalami demam hingga membuatnya pingsan.
Namun, hal yang paling aneh adalah apa yang dia rasakan sekarang. Tidak ada perasaan pusing, tidak ada indikasi demam yang tersisa, dan yang paling mengejutkan dari semua itu rasa sakit di pinggul yang kambuh saat melawan zombie kini sudah tidak dia rasakan lagi.
Wira berdiri perlahan, menggerakkan tubuhnya dengan hati-hati. ''Ini... tidak mungkin,'' gumamnya sambil menyentuh pinggulnya.
Sejak bertahun-tahun lalu, cidera itu membuatnya sulit bergerak bebas, selalu ada nyeri yang menusuk setiap kali ia membungkuk atau membawa beban berat. Tapi sekarang, tidak ada sedikit pun rasa sakit.
Dia mencoba jongkok, lalu berdiri. Gerakan itu, yang biasanya mengundang rasa sakit, kini terasa mudah seperti menghirup udara. Dia bahkan meninju udara beberapa kali, menguji kelenturan tubuhnya. ''Tubuhku... kenapa bisa begini?''
Rasa ingin tahunya membuncah.
Dia melirik kembali hasil analisis di layar komputer, tetapi tidak ada informasi baru. ''Tidak ada racun, tidak ada infeksi... lalu apa yang terjadi padaku?''
Dia berjalan ke cermin kecil di sudut laboratorium.
Wira memerhatikan wajahnya. Tidak ada tanda-tanda demam atau sakit, malah kulitnya terlihat lebih segar, lebih sehat. Bahkan bekas luka di pelipisnya yang didapat bertahun-tahun lalu kini tampak memudar.
Wira menghela napas panjang. ''Apa ini kemampuan regenerasi super atau semacamnya?'' pikirnya. Tapi segera dia membantah hal itu, "Mustahil, memangnya aku ini mutan."
Keheningan di laboratorium terasa menenangkan ketika Wira merasakan tubuhnya benar-benar sehat. Tapi ketenangan itu segera berakhir dan berubah menjadi kecemasan ketika dia teringat pada Kinta dan Sumba.
"Berapa lama aku pingsan?" Dia segera berjalan menuju lift untuk naik ke permukaan. Wira berharap agar teman-teman baik-baik saja.
***
Pintu pondok terbuka perlahan, menampakkan Wira yang melangkah keluar dengan hati-hati membawa parang ditangannya.
Udara segar langsung menyambutnya, menggantikan atmosfer dingin laboratorium di bawah tanah. Langit tampak mulai cerah, mengisyaratkan bahwa malam telah berlalu dengan damai.
Matanya segera menyapu sekeliling, memindai setiap sudut area untuk memastikan tidak ada tanda-tanda bahaya. Tidak ada suara geraman, tidak ada bau busuk. Keadaan benar-benar sunyi, hanya terdengar suara burung kecil di kejauhan.
"Sepertinya zombie tidak mengejar," gumamnya dengan napas lega. Dia memijat lehernya yang terasa sedikit tegang, membiarkan ketegangan yang menumpuk sejak bangun tadi perlahan menghilang.
Seketika, suara langkah cepat terdengar mendekat. Wira menoleh dan melihat Kinta berlari ke arahnya, diikuti oleh Sumba yang berjalan santai di belakangnya. Anjing setianya itu langsung melompat, menatap Wira dengan ekspresi khawatir, seolah ingin memastikan majikannya baik-baik saja.
"Aku baik-baik saja, Kinta. Tidak perlu khawatir," ujar Wira sambil menunduk dan mengusap kepala Kinta dengan lembut. Kinta menggonggong pelan, tampak lega mendengar suara Wira.
Sumba mendekat, menggesekkan moncongnya ke bahu Wira dengan lembut. Wira tersenyum kecil, menepuk leher kudanya. "Kalian berdua sudah bekerja keras. Aku sangat beruntung memiliki teman seperti kalian."
Setelah memastikan area sekitar benar-benar aman, Wira kembali ke pondok. Dia segera menyalakan perapian di dapur. Tangannya terampil mengolah bahan makanan. Dalam waktu singkat, aroma lezat memenuhi ruangan, mengundang kedua temannya untuk mendekat dengan penuh antusias.
"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhku. Tapi karena aku tidak merasakan keanehan apapun, aku pikir ini adalah hal yang baik."
mohon berikan dukungannya