Andhira baru saja kehilangan suami dan harus melahirkan bayinya yang masih prematur akibat kecelakaan lalulintas. Dia diminta untuk menikah dengan Argani, kakak iparnya yang sudah lama menduda.
Penolakan Andhira tidak digubris oleh keluarganya, Wiratama. Dia harus tetap menjadi bagian dari keluarga Atmadja.
Akankah dia menemukan kebahagiaan dalam rumah tangganya kali ini, sementara Argani merupakan seorang laki-laki dingin yang impoten?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Jujur
Bab 18
Andhira segera menutup mulutnya karena sudah keceplosan. Ternyata dia tidak bisa menyembunyikan perasaan yang sedang dirasakan dari temannya ini.
"Aku tidak tahu apa aku sedang menyukai seseorang atau tidak. Tapi, saat ini jantungku selalu berdebar-debar ketika bersama seorang laki-laki," kata Andhira dengan pipi yang merona, karena sejak tadi bayangan Argani selalu memenuhi pikirannya.
"Awaw, itu tandanya kamu suka sama dia. Siapa laki-laki yang beruntung itu?" tanya Yura penasaran. Gadis itu bicara dengan semangat empat lima.
"Jadi, beneran aku suka sama Mas Gani?" batin Andhira sambil memegang kedua pipinya yang terasa panas.
Ini kedua kalinya Andhira merasakan hal seperti ini kepada laki-laki. Pertama kepada Andhika, walau hanya beberapa waktu. Lalu, sekarang kepada Argani.
"Di-dia adalah seorang laki-laki ...." Andhira terlalu gugup untuk memberi tahu nama Argani.
"Iya. Aku tahu dia itu laki-laki. Siapa namanya? Orang mana? Kamu kenal dia di mana?" tanya Yura gemas karena Andhira terlihat malu-malu.
Andhira mengeluarkan handphone dan memperlihatkan foto Argani yang dia ambil diam-diam ketika sedang bermain bersama. Dia tidak pernah membicarakan tentang cinta-cintaan bersama temannya. Karena kebanyakan teman dia dahulu lebih banyak membicarakan mencari ladang uang dan makanan. Baru kali ini dia membahas masalah percintaan dengan orang lain.
"Gilaaaa! Tampan banget, kayak orang Turki-Eropa. Siapa namanya? Dia punya saudara laki-laki yang tampan seperti dirinya, nggak?" Yura terpesona oleh ketampanan Argani yang memakai baju kasual sehari-hari di rumah.
"Saudara kandungnya sudah meninggal tahun lalu. Kalau kerabat ada beberapa laki-laki muda, tetapi aku tidak begitu dekat dengan mereka. Tidak tahu apa sudah punya pasangan atau belum," balas Andhira.
Yura memelototi foto Argani. Dia merasa tidak asing dengan wajahnya. Gadis itu mencoba mengingat-ingat siapa laki-laki pemilik jambang tipis.
"Kamu belum kasih tahu siapa nama orang ini," ucap Yura.
"Namanya Argani. Aku biasa memanggilnya Mas Gani," balas Andhira.
"Argani? Kok, namanya terasa tidak asing, ya?" Yura masih coba mengingat-ingat lagi.
Andhira pulang kuliah sekitar jam sebelas, sebelum waktunya makan siang. Dia pulang ke rumah dengan terburu-buru. Entah kenapa dia ingin masak ayam betutu dengan sambal marah.
"Kira-kira Mas Gani sibuk nggak, ya?" batin Andhira.
Sambil masak, Andhira mengirim pesan kepada Argani. Betapa senangnya dia ketika laki-laki itu malah meminta dirinya untuk datang ke kantor sambil membawa makan siang. Ini untuk pertama kali bagi dia mendatangi tempat kerja suaminya.
Sambil menggendong Arya, Andhira membawa hasil masakannya ke kantor sang suami. Dia berharap sang suami suka dengan ayam betutu dan sambal matah. Sebelumnya dia belum pernah melihat Argani makan itu.
Orang-orang di kantor tahu kepada Andhira karena mereka dahulu datang ke acara pernikahannya. Mereka menyambut dengan sopan dan membantu mengantar ke ruang Argani yang ada di lantai 17 gedung itu.
Argani sudah tidak sabar menunggu kedatangan Andhira dan Arya. Dia menunggu di depan lift karena mendapat laporan istrinya sudah masuk ke dalam lift beberapa saat yang lalu. Bunyi denting membuat laki-laki itu senang, terlebih lagi ketika pintu kotak besi terbuka dan memperlihatkan anak dan istrinya.
"Mas," ucap Andhira tersenyum manis karena sang suami sudah menyambutnya.
"Papa." Arya mengulurkan tangan minta digendong dan Argani mengambil alih bayi laki-laki itu.
Sebelah tangan Argani menggendong Arya dan sebelahnya lagi menggandeng tangan Andhira. Mereka masuk ke ruang kerja yang luas dan di dekorasi dengan mewah.
Andhira menata makanan di atas meja, sementara Argani bermain dengan Arya di sofa. Biar anteng, bayi itu diberi mainan perangsang gigi, kebetulan dia tadi sudah makan. Arya memang suka menggigit sesuatu karena giginya sudah cukup banyak.
"Gimana rasanya, Mas?" tanya Andhira takut tidak cocok dengan lidah Argani.
"Enak! Aku suka," jawab Argani dengan raut senang. "Kayaknya aku bisa habiskan ayam ini."
Andhira merasa senang karena hasil masakannya disukai Argani. Tadi, dia sempat pesimis dengan rasanya. Karena selama ini yang masak itu Mbok Karti, dia hanya ikut bantu-bantu, jika Arya sedang tidur. Dia juga akan ikut bantu memasak sang ibu mertua sekaligus belajar darinya.
Setelah selesai makan Argani mengajak Arya bermain menggambar, dia menggelar karpet dan duduk di lantai sambil tengkurap. Semua pensil di meja kerja kini sudah berpindah dan berserakan bersama kertas.
"Kamu gambar apa?" tanya Argani ketika melihat hasil gambar Andhira.
"Ayam," jawab wanita itu diikuti oleh putranya.
Argani menahan tawa ketika melihat hasil karya istrinya yang lebih parah dari anak SD. Wanita itu membuat dua bulatan yang ukurannya berbeda. Bulat kecil merupakan kepala dan bulatan besar itu adalah badannya. Kedua kakinya seperti lidi panjang diberi tiga garis kecil yang merupakan jari-jarinya.
"Kenapa? Jelek, ya?" tanya Andhira. "Aku sejak kecil tidak bisa menggambar."
"Hasil karya kamu sangat estetik. Arya terlihat sangat menyukainya," jawab Argani yang melirik ke arah Arya yang menunjuk-nunjuk sambil bilang "Ayam" dengan cadel.
Andhira dan Arya memutuskan untuk menghabiskan waktu di kantor Argani. Kebetulan laki-laki itu juga tidak banyak kerjaan hari ini.
Karena kelelahan, Andhira ketiduran ketika sedang menyusui Arya di ruang istirahat yang ada di ruang pojok. Argani yang hendak melihat mereka berdua, dibuat terkejut melihat keadaan sang istri.
"Oooooh, tidak!" pekik Argani di dalam hati.
Ingin membalikan badan, tetapi sayang. Jika tetap melihatnya, senjata pusaka akan bangun. Akhirnya dia memutuskan untuk membuka jas kerja dan menutupi dada Andhira. Dia merasa tidak rela jika ada yang melihatnya, walau makhluk halus sekalipun.
Waktu berlalu tidak terasa, Andhira terbangun karena mendengar suara panggilan Arya yang menempuk-nepuk lengannya. Dia merasa heran karena ada jas yang menutupi badannya.
Mata Andhira terbelalak ketika melihat keadaan pakaiannya saat ini. Dia pun segera merapikan kembali dan mengancingkan bagian yang terbuka. Betapa malu dia dan yakin kalau Argani pasti melihat keadaan dirinya tadi.
"Mama, main," ucap Arya yang sudah merasa bosan berada di sana.
Jam sudah menunjukkan jam empat sore, itu artinya dia sudah tertidur satu jam lebih. Masih ada waktu sekitar satu jam lagi menuju jam pulang.
Di dalam ruangan itu ada kamar mandi, Andhira membersihkan muka begitu juga dengan Arya, biar terlihat segar. Setelah rapi, mereka menemui Argani.
"Sudah bangun." Argani tersenyum tipis kepada istri dan anaknya.
"Papa, main!" pinta Arya yang menggeliat dalam gendongan ibunya ingin turun.
"Kita jalan-jalan ke taman, yuk!" ajak Argani.
"Tapi, jam kerja belum berakhir," ucap Andhira.
"Tidak apa-apa. Semua pekerjaan aku sudah selesai," balas Argani sambil merapikan meja kerjanya. Laki-laki itu suka dengan kerapihan dan kebersihan.
Mereka bertiga pun pergi ke taman kota. Sore hari biasanya mulai rame oleh warga yang ingin menghilangkan rasa penat.
Arya dan Argani bermain bola plastik, sedangkan Andhira merekam kegiatan mereka. Terlihat ayah dan anak itu tertawa bahagia.
"A-Arga?" Suara perempuan dari arah belakang membuat Andhira menoleh.
***