Yaya pikir mereka benar sebatas sahabat. Yaya pikir kebaikan suaminya selama ini pada wanita itu karena dia janda anak satu yang bernasib malang. Yaya pikir kebaikan suaminya pada wanita itu murni hanya sekedar peduli. Tak lebih. Tapi nyatanya, ia tertipu mentah-mentah.
Mereka ... sepasang kekasih.
"Untuk apa kau menikahi ku kalau kau mencintainya?" lirih Yaya saat mengetahui fakta hubungan suaminya dengan wanita yang selama ini diakui suaminya sebagai sahabat itu.
(Please yg nggak suka cerita ini, nggak perlu kasih rating jelek ya! Nggak suka, silahkan tinggalkan! Jgn hancurkan mood penulis! Dan please, jgn buka bab kalo nggak mau baca krn itu bisa merusak retensi penulis. Terima kasih atas pengertiannya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang
Yaya tiba di Jakarta saat langit sudah menjelang malam. Tiba di bandara, Yaya segera memesan taksi untuk mengantarkannya ke restoran miliknya.
Ya, Yaya memiliki tempat usaha sebuah restoran Nusantara. Nama restoran itu adalah Kampung Kita Resto. Restoran itu dibangun dari uang pemberian mendiang ayah biologisnya. Sesuai janji Dina, ia memberikan uang pemberian mendiang Aril saat Yaya dewasa. Lalu Yaya menggunakan uang itu untuk membangun restoran yang kini sudah memiliki beberapa cabang di beberapa kota besar di Indonesia.
Sebenarnya Yaya memiliki cita-cita menjadi seorang dokter. Namun karena ia mengalami keterlambatan sekolah, usianya sudah tidak potensial lagi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang itu. Hingga akhirnya, setelah lulus SMA, Yaya pun membangun restoran bercita rasa Nusantara itu. Jelas saja Dina dan Danang sangat mendukung. Mereka justru senang karena Yaya bisa memanfaatkan peninggalan ayahnya sendiri baik.
Kedua kakek dan nenek Yaya dari sebelah ayahnya juga sudah tiada. Karena tidak memiliki keturunan lain, sebagian hartanya mereka hibahkan untuk Yaya, sementara separuhnya lagi diserahkan ke Badan Amil Zakat agar bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Semua itu sudah diwasiatkan orang tua Aril melalui pengacaranya jauh hari sebelum keduanya meninggal.
Yaya kini sudah tiba di restoran miliknya. Alifa yang merupakan manager restoran sekaligus teman Yaya begitu terkejut saat melihat keberadaan Yaya di restoran itu.
"Yaya, loe kok ... " Alifa celingak-celinguk ke sana ke mari. Namun ia tidak menemukan keberadaan Andrian. Sontak saja dahinya berkerut.
"Gue sendiri," jawab Yaya pelan. Lelah. Sudah pasti. Ia sudah benar-benar lelah. Baru dua hari ia datang ke pulau Bali, tapi bukannya melepaskan penat dan bersenang-senang, ia justru merasakan kesedihan yang tiada tara.
Alifa tertegun. Ia pun mengekori langkah Yaya yang kini masuk ke dalam ruangannya.
"Ya, are you okay?" tanya Alifa khawatir.
Yaya melepaskan kopernya begitu saja. Ia membalikkan badannya. Matanya memerah yang jelas saja membuat Alifa seketika khawatir. Ia bisa menebak kalau sudah terjadi sesuatu selama di Bali. Kalau tidak, bagaimana bisa Yaya pulang seorang diri dan kini justru terlihat begitu menyedihkan.
"I'm not okay, Fa. Aku sakit, Fa. Sakit banget. Di sini ... rasanya sesak banget," ujar Yaya dengan suara bergetar.
Alifa pun gegas mendekat. Tanpa banyak kata, ia langsung memeluk erat tubuh Yaya yang terlihat bergetar hebat. Tangis Yaya pun pecah. Suaranya terdengar begitu memilukan. Bila tadi ia hanya mampu meneteskan air mata yang mendesak keluar, kalau kali ini ia sengaja menumpahkannya. Luruh sudah pertahankan Yaya. Hatinya sakit sekaligus hancur. Pernikahan yang ia pikir akan memberinya kebahagiaan, justru sebaliknya, memberikan kesedihan mendalam pada dirinya.
Alifa diam. Ia tidak ingin bertanya apapun saat ini. Ia ingin membiarkan Yaya menumpahkan kesedihannya terlebih dahulu. Setelah tenang, ia baru akan meminta penjelasan apa yang sebenarnya sudah terjadi.
Alifa membawa Yaya ke sofa. 30 menit sudah berlalu, tapi Yaya masih tergugu pilu. Alifa pun gegas mengambilkannya air putih dan memberikannya pada Yaya. Yaya menenggak air itu susah payah. Tenggorokannya rasa tercekat. Alifa yang melihat pun jadi ikut berkaca.
Setelah Yaya terlihat lebih tenang, barulah ia mulai bertanya.
"Sebenarnya apa yang sudah terjadi, Ya? Kau kenapa? Dan ... kenapa kau pulang seorang diri? Ceritakan padaku apa yang sudah terjadi. Bukankah seharusnya saat ini kau masih berbulan madu," ujar Alifa pelan.
Yaya mengangkat wajahnya lalu menyeka pelan bulir yang nyatanya belum benar-benar berhenti itu.
"Aku pulang sendiri, Fa. Aku pulang karena aku tidak sanggup melihat drama keluarga cemara Mas Rian dan ... Mbak Marissa. Ibunya Tania."
Sontak saja kata-kata Yaya barusan membuat dahi Alifa berkerut dalam.
"Mereka ikut kami bulan madu."
"Are you seriously? Ngapain mereka ikut? Itu bulan madu kalian lho. Apa mereka nggak punya otak? Lagian, kenapa kalian biarin dia ikutan sih? Kurang kerjaan banget."
Alifa pikir Yaya dan Andrian yang mengizinkan Marissa dan Tania ikut. Makanya ia merasa aneh dengan yang keduanya lakukan.
"Aku bukannya ngebiarin, Fa, tapi itu permintaan ibunya mas Rian. Mas Rian juga kasih izin. Bahkan semua anggota keluarga mas Rian ikut. Mereka beralasan kalau mereka juga pingin liburan. Meskipun awalnya kurang setuju, tapi ya udah ya, toh mereka sudah jadi keluarga aku. Tapi ... " Yaya terdiam sejenak. Matanya kembali memanas. Ingin lanjut cerita, khawatirnya ia dianggap menjelek-jelekkan keluarga suami sendiri.
"Kalau loe belum sanggup cerita, nggak papa, Ya. Lagian kayaknya loe sedang capek banget. Jadi gimana ini? Loe mau pulang atau ... "
"Aku mau tidur di sini aja, Fa. Please jangan kasi tau siapapun ya tentang aku yang sudah pulang dan tidur di sini."
"Sip. Loe nggak perlu khawatir. Sekarang cuci muka atau mandi sekalian terus istirahat. Eh, loe udah makan?"
Yaya menggeleng. "Nggak. Tapi aku nggak laper."
"Loe lupa, loe punya penyakit lambung, Ya. Entar penyakit loe kambuh, bokap loe bisa ngedumel sepanjang jalan kenangan sama gue, tau nggak sih loe."
Yaya terkekeh. "Semoga aja nggak. Beneran, gue sedang nggak selera makan. Kepala gue juga pusing. Loe tau lah 'kan kalo gue pusing gue jadi nggak selera makan."
Alifa berdecak. Tapi ia menuruti kata-kata Yaya. Ia paham. Dimana-mana, orang yang sedang banyak beban pikiran pasti berujung kehilangan selera makan. Namun sebagai jaga-jaga, Alifa menyediakan beberapa cemilan, minuman, dan obat di kamar khusus Yaya yang ada di ruang kerjanya itu. Setelahnya, Alifa pun segera pergi dari sana.
Sementara itu, di restoran hotel yang ada di Bali, Nurlela mengerutkan kening saat melihat Andrian datang tanpa Yaya.
"Di mana perempuan itu? Masih ngambek?" cibirnya. Andrian pun segera duduk di samping Marissa yang bersisian dengan Tania. Mereka datang duluan bersama Nurlela, Ellena, dan suami serta anaknya.
"Dia sudah pulang ke Jakarta," jawab Andrian dengan raut wajah rumit.
"Apa? Kamu nggak sedang bercanda 'kan?"
Andrian menghembuskan nafas pelan kemudian menggeleng. Marissa yang mendengar itu sontak menundukkan kepalanya.
"Maaf. Ini semua gara-gara aku. Seharusnya aku tidak ikut kemari. Gara-gara aku, bulan madumu jadi kacau," cicit Marissa yang terdengar merasa bersalah.
Andrian dengan cepat menggenggam tangan Marissa. "Nggak. Ini bukan salahmu kok. Dia hanya sedang cemburu. Mohon kau bisa mengerti," ujar Andrian mengiba menenangkan Marissa.
"Rian benar. Sudah. Nggak usah terlalu dipikirkan. Secara usia memang ia sudah dewasa, tapi secara sikap dia masih kekanakan. Cuma karena masalah Tania aja dia sampai pulang sendiri. Benar-benar kekanakan," ucap Nurlela tanpa rasa bersalah sedikitpun.
"Yang mama katakan benar, Sa. Ya udah, ajak Tania makan sekarang, yuk. Dia pasti sudah lapar sama seperti Riko," timpal Ellena sambil mengusap kepala putranya yang usianya setahun lebih tua dari Tania.
...***...
...Happy reading 🥰 🥰 🥰 ...
emang klu perempuan sama laki dekatan lngsung dibilang ada hubungan..Nethink aja nih
satu keluarga nih dicobain semuaa