"Ada rahasia yang lebih dalam dari kegelapan malam, dan ada kisah yang lebih tua dari waktu itu sendiri."
Jejak Naga Langit adalah kisah tentang pencarian identitas yang dijalin dengan benang-benang mistisisme Tiongkok kuno, di mana batas antara mimpi dan kenyataan menjadi sehalus embun pagi. Sebuah cerita yang mengundang pembaca untuk menyesap setiap detail dengan perlahan, seperti secangkir teh yang kompleks - pahit di awal, manis di akhir, dengan lapisan-lapisan rasa di antaranya yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang cukup sabar untuk menikmatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaiiStory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tarian Dua Bulan
Dengan hati-hati, Mei mengangkat cangkir teh ke bibirnya. Tapi sebelum cairan itu menyentuh bibirnya, sesuatu yang tak terduga terjadi. Teh dalam cangkir mulai berputar dengan sendirinya, membentuk pusaran kecil yang berkilau dalam cahaya dua bulan. Di tengah pusaran itu, sisik Naga Lazuli yang tadinya tenggelam kembali muncul ke permukaan, berkilau dengan warna biru dalam yang hampir hitam.
"Tunggu," Wei An tiba-tiba berkata, suaranya mendesak. "Ada sesuatu yang harus kau ketahui sebelum kita melangkah lebih jauh."
Mei menurunkan cangkirnya, menatap Wei An dengan campuran rasa penasaran dan was-was. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang berbeda—seolah dia sedang berperang dengan dirinya sendiri.
"Apa yang tidak kalian ceritakan padaku kali ini?" Mei bertanya, suaranya tenang meski jantungnya berdebar kencang.
Wei An melirik ke arah Master Song dan Madam Lian, yang keduanya mengangguk hampir tidak terlihat. "Paviliun Bulan Kembar," dia memulai perlahan, "bukan hanya tempat di mana waktu mengalir berbeda. Itu adalah... tempat di mana keputusan pertama dibuat."
"Keputusan pertama?"
"Ya," Madam Lian mengambil alih, sisik-sisiknya yang tersisa berkilau redup. "Keputusan yang membuat dunia terbagi menjadi dua—dunia manusia dan dunia naga."
Liu Xian melangkah maju, matanya yang keemasan menatap kedua bulan di langit. "Dulu, sebelum ada Penjaga atau Pengembara, sebelum ada ritual dan segel, hanya ada satu dunia. Satu realitas di mana manusia dan naga hidup berdampingan dalam harmoni sempurna."
"Tapi sesuatu terjadi," Master Song melanjutkan, suaranya berat oleh kenangan yang bahkan bukan miliknya. "Sesuatu yang membuat para tetua dari kedua pihak memutuskan bahwa pemisahan adalah satu-satunya jalan."
Mei merasakan getaran dari kedua Cermin di tangannya berubah, menciptakan resonansi yang berbeda. Dalam pantulan mereka, dia melihat sekilas bayangan sebuah pertemuan kuno: para tetua manusia duduk berhadapan dengan para naga dalam wujud setengah manusia mereka, semua berkumpul di sebuah aula besar dengan dua menara yang menjulang tinggi.
"Paviliun Bulan Kembar," dia berbisik, mengenali bangunan dalam penglihatannya.
"Ya," si cendekiawan mengangguk. "Di sanalah Keputusan Pertama dibuat—keputusan untuk memisahkan satu dunia menjadi dua, satu bulan menjadi dua, satu realitas menjadi pecahan-pecahan yang tidak pernah bisa benar-benar menyatu lagi."
"Tapi kenapa?" Mei bertanya, suaranya nyaris berbisik. "Kenapa mereka memutuskan untuk memisahkan sesuatu yang sudah sempurna?"
Naga Emas—ibunya—mendengung dalam nada yang membuat udara bergetar. Dalam dengungnya kali ini, Mei melihat serangkaian gambar berkelebat dalam benaknya: seorang anak kecil bermain dengan naga muda, keduanya tumbuh bersama, berbagi kekuatan dan pengetahuan, sampai suatu hari...
"Kekuatan," Wei An menjawab, matanya yang retak memantulkan kesedihan. "Ketika manusia mulai belajar menggunakan kekuatan naga, dan naga mulai memahami cara berpikir manusia... keseimbangan mulai goyah."
"Beberapa manusia menjadi terlalu kuat," Madam Lian menambahkan. "Dan beberapa naga menjadi terlalu... manusiawi. Batas antara kedua ras mulai kabur, menciptakan ketakutan di kedua pihak."
"Jadi mereka memutuskan untuk memisahkan semuanya?" Mei bertanya, masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar. "Tapi... bukankah itu justru membuat semuanya lebih buruk?"
Liu Xian tersenyum sedih. "Itulah yang tidak dipahami para tetua saat itu. Bahwa memisahkan sesuatu yang sudah ditakdirkan untuk bersatu hanya akan menciptakan ketegangan yang lebih besar."
"Dan ritual-ritual itu?" Mei bertanya, mulai memahami gambaran yang lebih besar. "Para Penjaga, para Pengembara..."
"Semua itu adalah usaha untuk memperbaiki kesalahan awal," Master Song menjelaskan. "Tapi seperti menambal kaca yang retak—setiap perbaikan justru menciptakan retakan baru."
Tiba-tiba, pusaran dalam cangkir teh berubah arah, berputar berlawanan dengan arah jarum jam. Sisik Naga Lazuli di dalamnya mulai memancarkan cahaya yang lebih terang, menciptakan pantulan-pantulan biru di wajah semua yang hadir.
"Waktu kita semakin sempit," Wei An berkata mendesak. "Bulan kembar tidak akan bertahan lama di langit."
Mei menatap kedua bulan yang kini bersinar lebih terang—yang perak dan yang keemasan, seperti mata ibunya dalam wujud naganya. Ada sesuatu dalam cara mereka bersinar yang mengingatkannya pada kedua Cermin di tangannya.
"Tapi masih ada yang tidak aku mengerti," Mei berkata, menggenggam cangkir teh lebih erat. "Jika semua ini berawal dari Paviliun Bulan Kembar, dan jika tempat itu masih ada di waktu yang berbeda... kenapa kalian membutuhkanku? Kenapa tidak ada yang mencoba kembali ke sana sebelumnya?"
Keheningan yang menyusul pertanyaannya terasa lebih berat dari sebelumnya. Para Penjaga dan Pengembara saling bertukar pandang, seolah sedang memutuskan seberapa banyak yang harus mereka ungkapkan.
"Karena," Madam Lian akhirnya berkata, "tidak semua yang pergi ke sana bisa kembali. Dan dari yang kembali... tidak semua tetap menjadi diri mereka sendiri."
Mei merasakan dingin yang familiar merayap di tulang belakangnya. "Apa maksudmu?"
"Paviliun itu," Wei An menjelaskan dengan hati-hati, "adalah tempat di mana semua waktu bertemu. Di sana, kau bisa melihat semua versi dari dirimu yang mungkin ada—semua pilihan yang bisa kau ambil, semua jalan yang bisa kau tempuh. Dan beberapa orang... mereka tersesat di antara kemungkinan-kemungkinan itu."
"Mereka lupa siapa diri mereka yang sebenarnya," Master Song menambahkan. "Lupa dari waktu mana mereka berasal. Dan tanpa jangkar yang kuat..."
"...mereka melebur dengan waktu itu sendiri," Liu Xian menyelesaikan.
Mei menatap pantulan dirinya dalam teh yang berputar. Versi dirinya yang lain masih tersenyum penuh rahasia, seolah menantangnya untuk memahami sesuatu yang crucial.
"Dan kalian pikir aku berbeda?" dia bertanya. "Karena aku lahir dengan kekuatan ini? Karena aku adalah 'jembatan'?"
"Tidak," si cendekiawan tua menggeleng. "Karena kau adalah satu-satunya yang memiliki kedua Cermin dan..."
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya karena tiba-tiba, kedua bulan di langit bergerak lebih dekat satu sama lain, cahaya mereka berbaur menciptakan fenomena yang menakjubkan—seperti aurora yang menari di langit malam.
"Sudah dimulai," Wei An berbisik. "Kita harus memutuskan sekarang."
Mei sekali lagi mengangkat cangkir ke bibirnya, tapi sebelum dia meminumnya, dia menatap satu per satu wajah di hadapannya—para Penjaga dengan sisik mereka yang memudar, para Pengembara dengan tubuh mereka yang setengah transparan, dan lima naga yang masih melayang dalam formasi mereka yang misterius.
"Ada sesuatu yang masih kalian sembunyikan," dia berkata, bukan sebagai pertanyaan. "Sesuatu tentang apa yang akan terjadi jika aku berhasil."
Tidak ada yang menjawab, tapi dalam keheningan itu, Mei menemukan jawabannya.
Dan dengan pemahaman itu, dia membuat keputusannya.
Perlahan, Mei menurunkan cangkir dari bibirnya, matanya terpaku pada permukaan teh yang masih berputar. Dalam pusaran itu, sisik Naga Lazuli kini berdenyut dengan ritme yang sama seperti detak jantungnya. "Kalian tahu," dia berkata pelan, "dalam semua cerita yang pernah kudengar tentang naga, ada satu detail yang selalu menggangguku."
Para Penjaga dan Pengembara menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca, menunggu.
"Setiap kali seseorang menceritakan tentang era ketika manusia dan naga hidup berdampingan, mereka selalu menyebutkan tentang kedai teh. Bukan istana, bukan kuil, tapi kedai teh. Bukankah itu aneh?" Mei mengangkat pandangannya ke arah Madam Lian. "Dan kau... kedai tehmu selalu terasa berbeda. Bukan hanya karena teh hitammu yang istimewa, tapi karena waktu seolah bergerak dengan cara yang berbeda di sana."
Madam Lian tersenyum—senyum yang berbeda dari yang pernah Mei lihat sebelumnya. Ada sesuatu yang kuno dalam senyum itu, sesuatu yang mengingatkan Mei pada lukisan-lukisan tua yang pernah dia lihat di gulungan Wei An. "Kedai teh pertama," Madam Lian berkata lembut, "tidak dibangun oleh manusia atau naga, tapi oleh keduanya bersama. Dan tempat itu... adalah Paviliun Bulan Kembar itu sendiri."
"Yang kita kenal sebagai Paviliun Bulan Kembar sekarang," Wei An menambahkan, matanya yang retak memantulkan cahaya dari kedua bulan dengan cara yang aneh, "hanyalah... bayangan dari apa yang pernah ada. Seperti pantulan bulan di permukaan danau yang beriak."