Setelah menikahi Ravendra Alga Dewara demi melaksanakan wasiat terakhir dari seseorang yang sudah merawatnya sejak kecil, Gaitsa akhirnya mengajukan cerai hanya dua bulan sejak pernikahan karena Ravendra memiliki wanita lain, meski surat itu baru akan diantar ke pengadilan setahun kemudian demi menjalankan wasiat yang tertera.
Gaitsa berhasil mendapatkan hak asuh penuh terhadap bayinya, bahkan Ravendra mengatakan jika ia tidak akan pernah menuntut apa pun.
Mereka pun akhirnya hidup bahagia dengan kehidupan masing-masing--seharusnya seperti itu! Tapi, kenapa tiba-tiba perusahaan tempat Gaitsa bekerja diakuisisi oleh Grup Dewara?!
Tidak hanya itu, mantan suaminya mendadak sok perhatian dan mengatakan omong kosong bahwa Gaitsa adalah satu-satunya wanita yang pernah dan bisa Ravendra sentuh.
Bukankah pria itu memiliki wanita yang dicintai?
***
"Kamu satu-satunya wanita yang bisa kusentuh, Gaitsa."
"Berhenti bicara omong kosong, Pak Presdir!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agura Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pegawai Baru
Gaitsa mengerjap perlahan, menatap suasana kamar yang cukup hening. Wanita itu melirik jam di atas nakas, pukul sembilan. Keningnya mengernyit saat merasakan sakit di area bawah tubuhnya ketika terduduk tiba-tiba.
Dejavu. Gaitsa melihat ranjang kecil di samping ranjangnya sendiri, tempat yang selalu ditatapnya pertama kali setiap kali bangun dari tidur. Ranjang bayi itu kosong.
Wanita itu turun dari tempat tidur, mengernyit saat rasa kebas di bagian bawah tubuhnya cukup mengganggu. Gaitsa menatap baju tidur yang dikenakannya. Ia tidak ingat kapan memakainya, juga tidak tahu kapan dipindahkan ke kamarnya sendiri.
Celoteh bayi tujuh bulan yang samar-samar terdengar di luar pintu membuat Gaitsa menghela napas lega. Ravendra tidak meninggalkannya seperti malam pernikahan mereka sebelumnya.
"Sudah bangun?" tanya Ravendra setelah melihat wanita bersurai panjang keluar dari kamar dengan rambut setengah basah. "Sarapan dulu, aku membuat beberapa hal. Ada di meja dapur," katanya lagi.
Pria itu kembali menyuapi Biyu yang sedang duduk di kursi bayinya. Anak itu berteriak menyambut Gaitsa ketika wanita itu keluar dari kamar.
"Pagi, sayangnya Mama." Gaitsa mendekat dan mencium kening putranya. Suara seraknya membuat wanita itu segera berjalan menuju dapur, berusaha agar wajahnya tidak memerah ketika mengingat kejadian semalam.
Ravendra menautkan alis, menyeringai melihat telinga wanita yang segera berlalu itu memerah.
Nasi goreng, omelete, bahkan roti tawar dengan selai strawberi adalah hal-hal yang dilihat Gaitsa di meja konter di dapur. Cukup rapi. Wanita itu menatap bagian kompor dan wastafel tempat cuci piring. Semuanya bersih. Gaitsa mengangguk, mengakui pekerjaan Ravendra.
"Lumayan," gumamnya sebelum menarik sepiring nasi goreng dan omelete. Perut orang Indonesia, kalau belum bertemu nasi, namanya bukan sarapan, tidak peduli meski sudah menghabiskan bakso dua porsi. Gaitsa menikmati makanannya dalam diam.
Setidaknya nasi goreng buatan Ravendra masih bisa dikonsumsi manusia. Tidak terlalu buruk, tapi tidak bisa dikatakan enak. Tapi ya ... lumayan!
"Apa jadwalmu hari ini?" Ravendra datang sambil membawa mangkok kosong ke wastafel dan langsung mencucinya.
"Tidur," jawab Gaitsa singkat, "Aku berniat menitipkan Biyu dan tidur seharian. Aku lelah," lanjutnya dengan suara pelan di akhir kalimat.
Ravendra berbalik setelah meletakkan peralatan makan Biyu kembali ke rak. Pria itu membawa kursi bayi beserta Biyu ke dapur, meletakkannya di samping Gaitsa.
"Jangan membawanya dengan cara seperti itu!" protes Gaitsa, merengut saat bayinya malah tertawa bahagia.
"Tidak akan jatuh. Aku memasang sabuk pengamannya dengan benar. Lagipula aku kan memeganginya," bela Ravendra seraya mengedipkan sebelah mata pada Biyu. "Dia juga menyukainya," lanjutnya.
Tentu saja anak-anak akan suka hal-hal seperti itu! Gaitsa ingin kembali melayangkan protes tapi memilih diam dan menghabiskan makanannya.
"Aku juga lelah," ucap Ravendra sembari memperhatikan leher wanita di hadapannya. Beberapa bercak kemerahan tersebar di sana. Pria itu menjilat bibir, mau tidak mau kegiatan mereka semalam berputar lagi di otaknya.
"Apa yang kamu lihat?" Gaitsa tampak jengah saat menyadari pria yang duduk di hadapannya memperhatikan area leher. Harusnya ia menggunakan sweater turtle neck saja!
"Ayo tidur bersama--maksudku, ayo istirahat bersama!" seru Ravendra saat wanita yang duduk di hadapannya melototi. "Aku juga lelah setelah bangun pagi dan merawat Biyu sambil membuat sarapan. Kan, bukan hanya kamu yang begadang," katanya dengan raut tidak bersalah.
Gaitsa menatap pria di hadapannya seolah Ravendra adalah makhluk asing yang datang untuk menginvasi bumi.
"Pulang sana kalau mau beristirahat," ketusnya sebelum mengingat bahwa bayi mempelajari ekspresi dari orang tuanya. Gaitsa segera tersenyum, menoleh pada Biyu yang ternyata memang sedang menatapnya. Bayi tujuh bulan itu ikut tersenyum melihat ibunya tersenyum.
***
"Kenapa Kakak yang mengantar Biyu?" tanya Ravasya penuh kecurigaan.
Ravendra datang ke apartementnya membawa Biyu, bilang bahwa Gaitsa kelelahan dan harus istirahat. Daripada menitipkan Biyu di tempat penitipan anak, lebih baik membawanya pada Ravasya. Begitu pikir Ravendra.
"Aku juga lelah," katanya setelah meletakkan Biyu di gendongan Ravasya. "Aku mau numpang tidur juga," lanjutnya seraya melangkah menuju kamar paling ujung, tempatnya tidur kalau sedang menginap.
"Kakak belum menjawab pertanyaanku!"
"Kalian bermain dan begadang bersama?"
Ravendra berhenti di ambang pintu, menoleh pada Alan yang sedang menyeringai jahil di sofa. Ravasya yang tidak mengerti arti 'bermain dan begadang bersama' mengerutkan kening.
"Kalian benar-benar melakukannya? Saat ada Biyu sedang tidur?" tuntut Ravasya tidak terima. "Memangnya main apa sampai tidak tidur? Kalian pasti mengganggu ketenangan Biyu!" protesnya.
"Aku lelah," ucap Ravendra sambil berlalu masuk kamar.
Ravasya merengut di tempat. Wanita itu tersadar saat Biyu memegang wajahnya dan segera tersenyum. "Hari ini Biyu main sama Tante dan Kak Luvia, ya!" serunya riang.
"Aku dengar suara Biyu!" ujar seorang gadis kecil sambil membuka pintu. Luvia melompat senang saat bayi mungil itu benar-benar ada di rumahnya. "Yeay, hari ini main sama Biyu lagi!" Suaranya terdengar riang.
"Bukankah harusnya kita yang menitipkan Luvia pada mereka?" tanya Alan sedikit tidak terima. Hari ini memang rencananya ia akan membawa Ravasya jalan-jalan, kencan sebentar untuk merayakan ulang tahun wanita itu. Tapi apa sekarang?
"Ayo kita jalan-jalan berempat!" seru Ravasya sambil tertawa setelah melihat wajah suaminya tertekuk.
"Kita akan ke luar bersama Biyu juga?" tanya Luvia antusias, rambutnya yang diikat dua ikut bergoyang saat gadis itu melompat.
***
"Namaku Najina Greya, salam kenal, Dokter!" Wanita bersurai panjang yang tergelung rapi itu memperkenalkan diri penuh semangat.
Ravasya memang diberitahu kemarin bahwa akan ada perawat baru, menggantikan perawat sebelumnya yang pulang kampung tapi ternyata tidak bisa kembali lagi.
"Salam kenal, Najina. Semua anak yang datang ke sini adalah anakmu. Mohon ingat bagian itu," ucap Ravasya seraya tersenyum dan mengulurkan tangan. "Cukup panggil Ravasya saja," katanya ramah.
"Anda juga boleh memanggilku Greya saja, Nona Ravasya."
Wanita itu tersenyum cerah seraya menjabat tangan Ravasya. Semangatnya masih terasa bahkan setelah ia pamit keluar dari ruangan sang Dokter. Greya yang sepanjang pertemuannya dengan Ravasya selalu tersenyum ramah, menjadi dingin setelah menutup pintu.
Greya berjalan pelan menuju ruangan di sebelah ruangan Ravasya, tangan kanannya bergerak untuk menyetuh cincin di jari manis sebelah kiri dan memutarnya satu kali. Permata biru di tengah cincin itu bersinar merah sebelum kembali pada warna semula.
Memutar cincin satu kali, artinya situasi terkendali. Orang-orang yang bertugas menjaga sinyal darinya akan selalu melaporkan apa pun situasi yang Greya beritahukan pada Yuda.
Wanita itu juga memiliki kalung dengan bandul permata berwarna ungu. Kalau menekan tombol di baliknya, berarti situasi berbahaya dan meminta bantuan.
Terakhir, papan nama persegi panjang yang melekat di dada kirinya. Itu adalah laporan terakhir untuk situasi yang terlalu berbahaya dan tidak boleh ada yang datang.
Greya menghela napas saat memegang gagang pintu, mengatur ekspresi wajahnya sebelum menampilkan senyum ramah dan memasuki ruangan tempat anak-anak berada.
..rasain akibat bikin wanita sakit hati...bikin dia bucin thor biar ngak arogant