Semua telah terjadi, imanku rasanya telah kubuang jauh. Berganti Nafsu syahwat yang selama ini selalu kupendam dalam-dalam.
Apakah ini benar-benar keinginanku atau akibat dari sesuatu yang diminumkan paksa kepadaku oleh pria-pria itu tadi.
Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu.
Satu yang pasti, aku semakin menikmati semua ini atas kesadaranku sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehujanan
Aku pun menoleh ke belakang, memastikan siapa yang memanggil namaku. Terlihat seorang teman mengaji yang berwajah cantik bernama Ukhti Farida berjalan terburu-buru ke arahku.
Aku pun dengan sabar menunggunya dan penasaran ada keperluan apa ia memanggilku.
“Afwan Ukhti.. Ana boleh nebeng pulang?” tanya Ukhti Farida sambil menyeka keringat di wajahnya.
“Memangnya suami anti kemana? Biasanya kan dijemput Ukh..” tanyaku.
“Kebetulan tadi setelah antar ana, suami ana ada panggilan tugas mendadak ukh.. Tadi ana sudah nyoba minta tolong ke beberapa teman tetapi mereka bilang tidak bisa antar ana. Ukhti Ariefna harapan ana terakhir satu-satunya,” kata Ukhti Farida dengan wajah memelas.
“Tapi...” Aku berpikir sejenak.
Terlihat wajah Ukhti Farida kebingungan, karena satu persatu peserta kajian telah meninggalkan lokasi dan suasana semakin sepi.
Hanya beberapa yang masih ada di tempat kajian, itu pun aku tidak mengenal mereka. Aku pun menimang-nimang permintaan tolong ukhti Farida. Bagaimana pun dia saat ini sedang butuh bantuan, apalagi hari semakin malam tidak mungkin aku meninggalkannya sendiri.
“Rumah anti jauh dari sini?” tanyaku memastikan.
“Jarak pastinya ana tidak tau Ukhti… Kurang lebihnya 30 sampai 40 menitan ke arah Timur. Ana minta tolong ya ukh,” ujar Ukhti Farida.
“Ke arah Timur ya? Berlawanan arah dari rumahku dong...,” kataku dalam hati.
“Gimana Ukhti....?” tanya Ukhti Farida kembali.
“Hmm.. Tidak terlalu jauh sih Ukh.. Ukhti Aida boleh bareng ana,” jawabku.
Terlihat raut muka Ukhti Farida berubah yang tadinya terlihat kebingungan, sekarang wajahnya menjadi penuh kelegaan.
“Alhamdulillah.. Syukron Ya Ukhti Ariefna.. Anti benar-benar baik,” ujar Ukhti Farida.
“Ahh.. Anti berlebihan. Bukannya kalau ada teman yang butuh pertolongan lebih baik dibantu. Hihihi.. Yasudah yuk pulang Ukhti,” kataku.
Ukhti Farida pun mengikuti berjalan menyusuri area parkir yang mulai sepi. Akhirnya kutemukan sepeda motorku yang rupanya posisinya sedikit bergeser dari posisi semula. Suasana di parkiran yang sudah sepi memudahkanku menemukan dimana letak sepeda motorku itu.
“Afwan Ukhti. Ana Cuma bawa helm satu,” kataku.
“Tidak apa-apa Ukhti. Jam segini rasanya tidak akan ada polisi yang nilang Ukh. Hihihi.. Kalau pun ketilang ana yang nanti tanggung jawab,” kata Ukhti Farida
“Iya semoga aman Ukhti.. Ayo Ukhti,” kataku, dan Ukhti Farida segera duduk berboncengan denganku.
Aku pun mulai memutar gas sepeda motor meninggalkan tempat kajian Ustadzah Jihan itu.
Jalanan kota kecil terlihat lengang malam ini, yang biasanya ramai saat jam pulang kerja, kali ini terlihat sepi. Awan hitam pun turut menemani perjalanan kami malam itu. Sesekali gemuruh menyambar sejenak memberikan kilatan yang mengejutkan mataku, tanda sepertinya akan turun hujan.
Aku mengemudikan motor pelan-pelan karena Ukhti Aida banyak bercerita tentang keluarganya selama kami di jalan. Tentang pekerjaan suaminya yang seorang teknisi listrik panggilan yang sewaktu-waktu harus kerja tanpa mengenal waktu.
Aku yang mendengar ceritanya hanya mengangguk-angguk karena aku juga tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan Ukhti Farida dengan jelas. Suara angin memang cukup kencang malam ini. Kupandang lagi ke arah langit, suasana kurasakan semakin mendung dan dingin.
“Sepertinya mau hujan Ukhti.. Anti ga pakai mantel dulu?” tanya Ukhti Farida yang turut menyadari gemuruh petir yang menyambar di angkasa.
“Mantel ana sobek Ukhti belum beli penggantinya. Semoga saja tidak hujan Ukhti,” jawabku.
“Iya Ukhti.. Semoga…” jawab Ukhti Farida dan ia pun terdiam.
Ukhti Farida akhirnya memilih tidak bercerita lagi. Sepertinya ia memberikan kesempatan kepadaku agar bisa menambah kecepatan laju sepeda motorku. Kutarik gas sepeda motor dalam-dalam agar tidak kehujanan malam ini.
30 menit sudah aku berkendara, tetapi belum ada tanda-tanda Ukhti Farida memberiku aba-aba untuk belok ke arah rumahnya.
“Masih Jauh ya Ukhti?” tanyaku.
“Lumayan Ukhti. Masih separuh perjalanan,” katanya.
“Ohhh iya Ukhti... Ini jalan lurus terus betul ya?”
“Iya betul Ukhti lurus terus. Nanti kalau mau belok ke perkampungan ana, ana kasih tau,”
“Oh iya Ukhti...”
Aku kembali berkonsentrasi mengemudikan sepeda motorku. “Hujan jangan turun dulu ya…” doaku dalam hati.
Hampir 1 jam aku mengemudikan sepeda motorku. Kulirik jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul 22.23.
Suasana semakin gelap, tidak kulihat orang sama sekali di perkampungan tempat tinggal Ukhti Farida. Hanya terdengar suara deru knalpot sepeda motorku saja saat ini saking sepinya.
Suasana perkampungan ini sedikit jauh dari kota. Kami melewati jalanan kecil yang belum diaspal, sehingga laju motorku berjalan perlahan. Kami pun melewati hamparan sawah yang gelap gulita karena minimnya penerangan di jalanan perkampungan.
Aku mencoba mengingat jalanan ini agar tidak tersesat ketika pulang. Tetapi sepertinya sulit karena jalanan menuju rumah Ukhti Farida begitu banyak belokan dan juga gelap.
“Belok kiri Ukh. Iya itu yang gapura hijau,” kata Ukhti Farida sambil menunjuk ke arah gang hijau yang dimaksud.
Aku pun membelokkan sepeda motorku dan masuk melewati gang hijau seperti yang ditunjuk olehnya. Kulajukan sepeda motorku perlahan sambil menunggu Ukhti Farida menunjukkan di mana rumahnya.
“Stop stop.. Ini Ukhti rumah ana yang pagar putih,” katanya sambil menunjuk ke arah rumah. “Ukhti Ariefna ngga mampir dulu? Kayaknya bakalan hujan nih Ukh... Tidur di rumah ana aja, besok pagi-pagi baru pulang. Toh suami ana kayaknya malam ini belum pulang.”
“Ana langsung pulang saja Ukh.. Khawatir dicari orang rumah,” jawabku menolak tawarannya.
“Ohh gitu.. Syukron ya Ukh.. Anti hati-hati ya pulangnya,”
“Iya Ukhti.. Ana pulang ya Ukh.. Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumsalam...”
Setelah berpamitan, aku kembali melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Tak terasa 1 jam lebih waktu yang ditempuh dari tempat kajian menuju rumah Ukhti Farida.
Aku bergegas membawa sepeda motor sedikit terburu-buru, karena langit yang semakin gelap dan malam yang semakin larut.
Aku terus mengemudikan sepeda motor dan melaju semakin jauh. Aku mencoba menerka-nerka arah jalan yang kulalui karena memang aku pelupa.
Rupanya benar sepertinya aku salah memilih jalan karena jalanan yang kulalui kali ini berbeda dengan yang tadi kulalui bersama Ukhti Farida. Aku terus mengemudikan motor berdasarkan feeling saja sambil berharap bisa segera kembali ke jalan utama.
5 menit kemudian…
“Eh tadi beneran lewat sini ngga ya? Duh. Kayaknya aku nyasar nih...” gumamku saat menyadari aku semakin tersasar. “Aduh kayaknya salah jalan beneran deh,” mulai waswas.
Aku kembali menjalankan sepeda motor pelan-pelan dan berharap ada seseorang yang bisa kutanyai. Pelan tapi pasti gerimis mulai turun membasahi jalanan yang kulalui.
Aku bingung memutuskan untuk melanjutkan perjalanan atau berteduh terlebih dahulu di daerah ini. Hujan pun turun semakin deras hingga memaksaku untuk menghentikan perjalananku.
Kurasakan seluruh pakaianku sudah basah terkena hujan deras yang tiba-tiba turun tanpa aba-aba.
...“blarrrr blarrrrr,” ...
petir pun menyambar-nyambar dengan kencang.