Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.
Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.
Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi yang cerah
Veltika duduk di ruang keluarga dengan segelas teh hangat di tangannya. pagi itu, setelah kembali dari acara bersama ayahnya, pikirannya masih penuh. Denis, yang baru saja selesai melihat-lihat bagian rumah, kini duduk di sofa di seberangnya, memandangnya dengan sorot mata yang sulit diartikan.
"Kak Vel," panggil Denis, suaranya tenang namun dalam. "Kamu terlihat gelisah. Ada yang ingin kamu ceritakan?"
Veltika mengangkat alisnya, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Namun, di bawah tatapan Denis yang begitu tajam, dinding pertahanannya runtuh perlahan.
"Kadang aku merasa... semua ini terlalu rumit," katanya pelan, memandang ke dalam cangkir tehnya, seolah mencari jawaban di sana. "Pernikahan ayah dengan ibumu, situasi yang kita hadapi sekarang... semua ini seperti mimpi buruk yang tak berujung."
Denis tak berkata apa-apa. Tatapannya tetap terfokus pada Veltika, terutama pada bibir merah muda yang bergerak perlahan saat wanita itu berbicara. Cara Veltika mengungkapkan kegundahan hatinya—jujur, lugas, namun penuh emosi—membuat Denis semakin terpesona.
"Kamu tahu, Kak Vel," Denis akhirnya berkata, suaranya berubah lebih rendah, hampir seperti bisikan. "Aku selalu suka cara kamu bicara. Bahkan saat kamu menyuarakan keresahan, aku masih bisa melihat betapa kuatnya dirimu."
Veltika terdiam. Pandangan Denis terasa begitu intens, seperti menelanjangi pikirannya. "Kamu terlalu berlebihan," jawabnya singkat, berusaha menutup percakapan.
Namun Denis tak menyerah. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Veltika, hingga jarak di antara mereka menjadi lebih dekat. "Tidak, aku serius. Dari pertama kali aku bertemu kamu... aku sudah tahu, Kak Vel, kamu bukan wanita biasa."
Veltika mengerutkan kening, mencoba memahami maksud di balik kata-kata Denis. Namun sebelum ia sempat membalas, Denis menambahkan, "Dan tahu tidak? Itu yang membuatku tidak bisa melupakanmu, meskipun aku tahu seharusnya aku tidak merasa seperti ini."
Kata-kata Denis menusuk Veltika, membuat jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba menyangkal perasaan itu, tapi tatapan Denis begitu kuat, begitu memikat, membuat ia tak mampu mengalihkan pandangan.
"Denis..." gumamnya akhirnya, nyaris tanpa suara. Tapi Denis hanya tersenyum kecil, seolah puas telah membuat Veltika kehilangan kata-kata.
pagi itu, kegundahan Veltika semakin dalam, bercampur dengan kehangatan yang sulit ia kendalikan. Tatapan Denis masih melekat di pikirannya, menghidupkan kembali perasaan yang selama ini ia coba kubur.
Pagi itu, suasana rumah terasa tenang. Sinar matahari yang hangat menembus jendela ruang makan, sementara aroma roti panggang dan kopi menguar dari dapur. Veltika duduk di meja makan, sibuk mengaduk secangkir teh tanpa benar-benar berniat meminumnya. Matanya masih sembab, tanda ia kurang tidur semalam.
Langkah-langkah Caroline menuruni tangga terdengar ringan, dan ia muncul dengan senyum cerah, mengenakan gaun santai berwarna pastel. "Hi, sayang. Sudah pada sarapan?" sapanya dengan nada ramah, matanya bergantian memandang Veltika dan Denis, yang baru saja duduk di sisi lain meja.
Veltika mengangkat pandangannya sebentar, memaksakan senyum kecil. "Belum, Bu. Aku baru buat teh."
Caroline memiringkan kepalanya, seperti seorang ibu yang sedang mengamati anaknya. "Kamu kelihatan lelah, Vel. Apa kamu tidur larut semalam?"
Veltika mengangguk kecil, mengalihkan pandangannya kembali ke cangkirnya. "Hanya sedikit sulit tidur, Bu. Tidak apa-apa."
Caroline lalu beralih ke Denis, yang tampak santai meskipun masih memakai t-shirt kasual dan celana pendek. "Bagaimana tidurmu tadi malam, Denis? Apa kamarnya nyaman?"
Denis tersenyum, menatap Caroline dengan penuh sopan. "Nyaman sekali, Mah. Terima kasih."
Namun, di bawah meja, Denis diam-diam melirik ke arah Veltika, yang masih sibuk mengaduk tehnya. Ia seperti sengaja mencari momen untuk bertukar pandang dengannya, tapi Veltika tak memberi kesempatan.
Caroline berjalan ke dapur untuk memeriksa makanan yang sedang dipanaskan. Dari sana, suaranya terdengar, "Aku senang kalian akhirnya bisa tinggal di bawah satu atap. Semoga kalian cepat akrab. Veltika, bantu Denis kalau dia butuh sesuatu ya."
Veltika hanya mengangguk tanpa menjawab, sementara Denis tersenyum tipis. "Tentu, Mah. Aku yakin Kak Vel akan membantuku dengan senang hati," ucapnya sambil menekankan kata "Kak Vel," membuat Veltika sedikit menggertakkan giginya.
Caroline kembali ke ruang makan membawa piring roti panggang dan segelas jus. "Ayo makan, sayang-sayangku. Hari ini aku ingin kita semua makan bersama sebelum sibuk dengan urusan masing-masing."
Veltika menghela napas pelan, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Makan bersama? Pagi ini pasti akan terasa lebih panjang daripada biasanya.
***
"Enggak!!" sentak Veltika dan Denis hampir bersamaan. Suara mereka membuat Caroline yang sedang meletakkan piring roti panggang tertegun, alisnya naik, Caroline bercerita akan bulan madu bersama ayah veltika di Maldevis. Sementara Andung, ayah Veltika, yang baru saja bergabung di ruang makan, langsung memandang kedua anaknya dengan bingung.
"Apa maksud kalian?" tanya Caroline, mencoba tersenyum meski jelas terlihat kaget.
Veltika segera menutup mulutnya, menyadari ia terlalu impulsif. "Eh... maksudku... enggak perlu terlalu buru-buru, Bu. Kalian kan masih dalam masa adaptasi," katanya dengan nada canggung, mencoba meredam suasana.
Denis, yang biasanya santai, tiba-tiba ikut menimpali dengan nada serius, "Ya, Mah. Maksud kami, hubungan Papa dan Mama kan baru saja berjalan, mungkin lebih baik fokus dulu ke kebahagiaan kalian berdua. Seorang anak... mungkin terlalu cepat untuk dipikirkan sekarang."
Caroline menatap mereka dengan tatapan tidak percaya. "Kami bahkan belum bicara soal itu," katanya, tertawa kecil meski jelas terlihat terganggu. "Kalian berdua ini ada-ada saja."
Andung mengerutkan kening, pandangannya bergantian antara Veltika dan Denis. "Kenapa kalian berdua bereaksi seperti ini? Tidak ada salahnya kan kalau kami ingin punya anak bersama? Ini rumah tangga kami."
"Ayah..." Veltika mencoba memilih kata-katanya dengan hati-hati, tapi ia tahu percuma. "Aku cuma... enggak yakin itu ide bagus."
Denis diam, tetapi tangannya mengepal di bawah meja. Meski ia tidak mengatakan apa-apa, sikapnya memperlihatkan bahwa ia sependapat dengan Veltika.
Caroline menarik napas panjang, mencoba bersikap lebih tenang. "Aku tidak tahu apa yang membuat kalian berpikir kami akan buru-buru punya anak. Tapi kalaupun kami memutuskan untuk itu, bukankah itu hak kami? Kalian hanya perlu mendukung kami."
Suasana menjadi canggung. Veltika mengalihkan pandangannya ke teh yang sudah dingin, sementara Denis bersandar di kursinya dengan wajah tanpa ekspresi.
"Aku rasa pembicaraan ini terlalu dini," ujar Andung akhirnya, mencoba menengahi. "Kita fokus saja menikmati waktu bersama dulu, oke?"
Namun, di dalam hati, baik Veltika maupun Denis tahu mereka tidak ingin ada sosok baru yang merusak dinamika yang sudah cukup rumit ini. Hubungan mereka dengan orang tua masing-masing sudah cukup kompleks, dan gagasan tentang adik baru hanya menambah lapisan permasalahan yang tidak mereka inginkan.
Wajah cemas Veltika dan Denis tidak dapat disembunyikan, meskipun mereka berusaha keras menutupi perasaan mereka di hadapan Caroline dan Andung. Bagi mereka, situasi ini sudah cukup rumit tanpa perlu ditambah seorang bayi yang akan memperumit hubungan keluarga tiri ini.
Veltika memainkan ujung rambutnya, sebuah kebiasaan yang muncul saat ia merasa gugup atau gelisah. Pikirannya melayang ke berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi jika Caroline benar-benar hamil. Bagaimana jika perhatian Ayahnya semakin teralihkan? Bagaimana jika bayangan masa lalu Denis menjadi semakin sulit untuk dilupakan?
Denis, di sisi lain, menggigit bibir bawahnya, menahan keinginan untuk berbicara lebih banyak. Dalam hati, ia tahu, kehadiran seorang bayi hanya akan membuatnya semakin sulit mendekati Veltika. Hubungan mereka yang sudah penuh teka-teki ini bisa hancur jika ada seorang bayi yang menjadi pusat perhatian.
Andung tampaknya tidak menyadari kecanggungan ini. "Veltika, Denis, kalian harus belajar menerima kenyataan. Jika nantinya kami memutuskan untuk memiliki anak, itu demi kebahagiaan keluarga ini," katanya, suaranya tenang namun penuh ketegasan.
Caroline mengangguk, mencoba menenangkan suasana. "Iya, tidak perlu khawatir. Semua akan baik-baik saja," ujarnya sambil tersenyum lembut. Namun, senyuman itu tidak membuat Veltika maupun Denis merasa nyaman.
Ketika sarapan selesai, Veltika dan Denis memilih menghindari pembicaraan lebih lanjut. Mereka berdua pergi ke ruang tamu, dan Denis memutuskan untuk membuka percakapan.
"Kak Vel," bisiknya pelan, memastikan Caroline dan Andung tidak mendengar. "Kamu juga kan... enggak mau kalau mereka punya anak lagi?"
Veltika mendesah panjang, menatap lurus ke depan. "Bukan cuma enggak mau, Denis. Aku takut... semuanya jadi semakin kacau."
Denis mengangguk kecil, ekspresinya menunjukkan pemahaman. Ia tahu apa yang dirasakan Veltika, karena ia merasakan hal yang sama. Namun, baik Denis maupun Veltika sadar, mereka tidak bisa mengontrol keputusan orang tua mereka.
Yang bisa mereka lakukan hanyalah berharap dan berdoa, agar keluarga ini tidak bertambah rumit dari yang sudah ada sekarang.