Di negeri Eldoria yang terpecah antara cahaya Solaria dan kegelapan Umbrahlis, Pangeran Kael Nocturne, pewaris takhta kegelapan, hidup dalam isolasi dan kewaspadaan terhadap dunia luar. Namun, hidupnya berubah ketika ia menyelamatkan Arlina Solstice, gadis ceria dari Solaria yang tersesat di wilayahnya saat mencari kakaknya yang hilang.
Saat keduanya dipaksa bekerja sama untuk mengungkap rencana licik Lady Seraphine, penyihir yang mengancam kedamaian kedua negeri, Kael dan Arlina menemukan hubungan yang tumbuh di antara mereka, melampaui perbedaan dan ketakutan. Tetapi, cinta mereka diuji oleh ancaman kekuatan gelap.
Demi melindungi Arlina dan membangun perdamaian, Kael harus menghadapi sisi kelam dirinya sendiri, sementara Arlina berjuang untuk menjadi cahaya yang menyinari kehidupan sang pangeran kegelapan. Di tengah konflik, apakah cinta mereka cukup kuat untuk menyatukan dua dunia yang berlawanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PASTI SUKSES, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Ceria di Umbrahlis
Pagi itu, matahari gelap khas Umbrahlis mulai menyinari istana dengan cahaya kebiruan. Arlina berdiri di balkon kamarnya, memandangi pemandangan yang begitu asing baginya. Lembah-lembah kelam dan pepohonan besar berdaun hitam terlihat mengintimidasi, tetapi juga memancarkan keindahan yang tak biasa.
Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.
“Masuk,” jawab Arlina, berbalik.
Kael melangkah masuk dengan jubah hitam panjangnya. Tatapannya, seperti biasa, tajam dan serius.
“Aku ingin kau ikut denganku hari ini,” ucapnya tanpa basa-basi.
Arlina memiringkan kepala. “Untuk apa? Kalau ini hanya soal menuduhku mata-mata lagi, aku tidak tertarik.”
Kael menatapnya datar. “Aku tidak akan membuang waktuku untuk tuduhan tanpa bukti. Aku ingin memperkenalkanmu pada kehidupan di Umbrahlis. Kau di sini, dan kau harus mengerti dunia tempat kau berada.”
“Sepertinya aku tidak punya pilihan,” balas Arlina sambil mengangkat bahu.
Kael memberi isyarat agar ia mengikutinya.
---
Mereka berjalan di sepanjang lorong utama istana, melewati para pelayan dan pengawal yang membungkuk hormat pada Kael. Arlina mencuri-curi pandang ke arah mereka. Beberapa orang menatapnya dengan rasa ingin tahu, yang lain dengan kecurigaan.
“Kenapa semua orang menatapku seperti itu?” tanya Arlina akhirnya.
“Kau adalah tamu dari Solaria,” jawab Kael singkat. “Itu sudah cukup membuat mereka waspada.”
“Jadi aku ini semacam selebriti di sini?”
Kael tersenyum tipis. “Jika itu membuatmu merasa lebih baik, ya.”
Arlina mendengus, tetapi tidak berkata apa-apa lagi.
Mereka tiba di aula besar dengan dinding kaca yang memancarkan cahaya biru. Beberapa orang sedang bekerja di sana, mengatur dokumen dan berbicara dalam nada serius.
“Ini ruang strategis kami,” jelas Kael. “Dari sini, semua keputusan penting Umbrahlis diambil.”
Arlina mengangguk pelan. “Jadi kau benar-benar memimpin tempat ini sendiri?”
Kael menatapnya. “Apa kau meragukan kemampuanku?”
“Tidak juga, hanya saja... kau terlihat terlalu muda untuk memikul beban seperti itu.”
Kael terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada datar, “Umur bukan penentu kemampuan, Arlina.”
Sebelum Arlina sempat membalas, seorang gadis muda dengan rambut cokelat keemasan mendekat. Ia membawa nampan berisi minuman dan membungkuk sopan.
“Yang Mulia, ini minuman yang Anda minta,” ucapnya lembut.
Kael mengangguk. “Terima kasih, Lyra. Ini tamu kita, Arlina. Pastikan dia merasa nyaman di sini.”
Lyra menatap Arlina dengan senyum ramah. “Senang bertemu denganmu, Nona Arlina. Kalau ada yang kau butuhkan, jangan ragu memintanya padaku.”
“Terima kasih, Lyra,” balas Arlina. “Dan tolong, jangan panggil aku Nona. Arlina saja cukup.”
Lyra tertawa kecil. “Baiklah, Arlina.”
Kael melanjutkan penjelasannya, tetapi perhatian Arlina tertuju pada Lyra. Gadis itu terlihat berbeda dari orang-orang lain di Umbrahlis. Ia memiliki aura yang hangat dan bersahabat, sesuatu yang jarang Arlina temui sejak tiba di istana.
---
Setelah tur singkat di ruang strategis, Kael membawa Arlina keluar menuju taman istana. Taman itu dipenuhi tanaman-tanaman aneh dengan daun bercahaya dan bunga yang memancarkan aroma manis.
“Tempat ini... menakjubkan,” gumam Arlina sambil berjongkok untuk menyentuh bunga biru yang tampak berkilau.
“Taman ini dirancang untuk menjaga keseimbangan energi di Umbrahlis,” jelas Kael. “Tanaman-tanaman ini bukan hanya untuk hiasan. Mereka memiliki kegunaan magis.”
Arlina mendongak, matanya berbinar. “Seperti apa? Apa aku bisa mencoba?”
Kael menggeleng. “Mereka membutuhkan keahlian untuk digunakan. Jika kau tidak hati-hati, mereka bisa berbahaya.”
“Tentu saja,” balas Arlina sambil mendengus. “Semuanya di tempat ini tampaknya berbahaya.”
Kael tersenyum tipis. “Itu sebabnya aku memutuskan untuk menjagamu.”
“Menjaga atau mengawasi?”
“Dua hal itu tidak jauh berbeda.”
Arlina tertawa kecil, meskipun ia tidak sepenuhnya yakin Kael sedang bercanda.
Saat mereka berbicara, Lyra muncul dengan membawa keranjang kecil. “Arlina, apakah kau ingin membantuku memetik bunga untuk persediaan obat?” tanyanya.
“Tentu saja!” jawab Arlina antusias. Ia melirik Kael. “Kau tidak keberatan, kan?”
Kael hanya mengangguk. “Asal kau tetap berada di dalam taman.”
---
Sambil memetik bunga, Arlina berbicara banyak dengan Lyra. Gadis pelayan itu ternyata sangat ramah dan memiliki banyak cerita tentang kehidupan di Umbrahlis.
“Kau sudah lama bekerja di sini?” tanya Arlina.
“Sejak aku berusia lima belas tahun,” jawab Lyra. “Istana ini adalah rumahku.”
“Apakah Kael selalu seserius itu?”
Lyra tertawa kecil. “Yang Mulia memang terkenal dengan sikap dinginnya, tapi dia sangat peduli pada rakyatnya. Kau hanya perlu mengenalnya lebih baik.”
“Aku ragu dia akan membiarkanku mengenalnya,” gumam Arlina.
Lyra menatapnya dengan senyum misterius. “Mungkin kau yang harus mencoba mendekatinya.”
Arlina mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
“Aku melihat cara dia memperhatikanmu tadi,” jawab Lyra sambil menunduk untuk memetik bunga lain. “Dia tidak seperti itu pada semua orang.”
Arlina terdiam, tidak yakin bagaimana menanggapi kata-kata Lyra.
---
Ketika sore tiba, Kael kembali menemui Arlina di taman.
“Sudah cukup untuk hari ini,” katanya. “Kita harus kembali ke istana.”
Arlina mengangguk, meskipun ia merasa enggan meninggalkan taman yang indah itu.
“Terima kasih, Lyra,” ucapnya sambil tersenyum. “Aku senang bisa mengenalmu.”
“Aku juga, Arlina. Sampai jumpa nanti,” balas Lyra, membungkuk hormat pada Kael sebelum pergi.
Dalam perjalanan kembali ke istana, Arlina melirik Kael.
“Kenapa kau memutuskan untuk membawaku berkeliling hari ini?” tanyanya.
Kael menatap lurus ke depan. “Kau berada di sini, dan aku tidak ingin kau membuat asumsi yang salah tentang Umbrahlis.”
“Jadi, kau peduli pada apa yang kupikirkan?”
Kael tersenyum tipis. “Jangan terlalu percaya diri, Arlina. Aku hanya ingin memastikan kau tidak menjadi ancaman.”
Arlina tertawa kecil. “Kau benar-benar sulit ditebak.”
Ketika mereka kembali ke kamarnya, Arlina merasa sedikit berbeda. Meski ia masih merasa seperti orang luar, hari itu memberinya secercah harapan. Untuk pertama kalinya, ia mulai melihat sisi lain dari Umbrahlis—dan mungkin juga dari Kael.
Saat mereka berjalan kembali ke istana, Arlina menoleh pada Kael dengan alis terangkat. “Kalau aku bisa bertanya... apakah kau sering membawa orang asing berkeliling seperti ini?”
Kael tersenyum tipis tanpa menoleh. “Kau bukan orang asing biasa.”
“Oh? Apa itu pujian atau peringatan?”
“Peringatan,” jawabnya datar, meskipun ada kilatan geli di matanya.
Arlina mendengus. “Kau benar-benar sulit dipahami, Kael. Apa semua penghuni Umbrahlis sepertimu?”
Kael berhenti dan menatapnya. “Umbrahlis adalah tempat di mana orang harus berhati-hati dengan apa yang mereka katakan. Sikapku adalah bagian dari bertahan hidup.”
Arlina terdiam sesaat, kemudian mengangguk. “Mungkin aku harus belajar sedikit darimu.”
“Sedikit saja,” tambah Kael, nada suaranya setengah bercanda. “Kau sudah cukup keras kepala seperti ini.”
Arlina tertawa kecil. “Kalau begitu, aku pasti sudah menjadi ancaman besar untukmu.”
Kael hanya menggeleng, melanjutkan langkahnya.
---
Ketika mereka tiba di aula utama, beberapa penghuni istana berkumpul di sana. Tatapan mereka mengikuti setiap langkah Arlina.
“Kenapa mereka terus menatapku seperti itu?” bisiknya pada Kael.
“Mungkin mereka kagum pada caramu memandang sekeliling seperti anak kecil di toko permen,” balas Kael dengan nada setengah mengejek.
Arlina melotot. “Aku hanya penasaran, bukan kagum.”
“Sama saja.”
Seorang pria tinggi dengan armor hitam menghalangi langkah mereka. Arlina mengenali pria itu Eryx, pengawal pribadi Kael yang pernah ia temui sebelumnya.
“Yang Mulia,” ucap Eryx dengan sedikit membungkuk. “Semua persiapan untuk pertemuan malam ini telah selesai.”
“Bagus,” jawab Kael, lalu melirik Arlina. “Pastikan dia tidak berkeliaran terlalu jauh selama aku pergi.”
“Hei, aku ini bukan anak kecil yang perlu dijaga!” protes Arlina.
Kael menatapnya dengan ekspresi datar. “Dan kau juga bukan tahanan yang bebas pergi sesuka hati.”
Arlina mengerutkan dahi. “Kau benar-benar suka mengatur, ya?”
“Bukan suka. Itu keharusan,” jawab Kael sebelum berbalik dan berjalan pergi.
Eryx, yang masih berdiri di dekat Arlina, menahan senyum. “Dia memang seperti itu. Jangan terlalu dipikirkan.”
Arlina melipat tangan. “Oh, aku tidak memikirkannya... aku hanya ingin membalasnya suatu hari nanti.”
“Semoga beruntung,” balas Eryx sambil terkekeh.
---
Sore itu, Arlina kembali bertemu Lyra di dapur istana.
“Kau terlihat gelisah,” komentar Lyra sambil mengaduk semangkuk adonan.
“Bisa dibilang begitu,” jawab Arlina sambil duduk di bangku. “Kael membuatku merasa seperti burung dalam sangkar.”
Lyra tersenyum lembut. “Dia hanya melakukan apa yang menurutnya benar. Meski terkadang, caranya memang sulit dimengerti.”
“Sulit? Itu kata yang sangat ringan,” balas Arlina, lalu tertawa kecil. “Tapi, kau sepertinya mengenalnya cukup baik.”
“Kael adalah pemimpin yang baik,” kata Lyra dengan nada penuh keyakinan. “Dia tidak menunjukkan kelembutannya pada semua orang, tapi aku tahu dia peduli pada Umbrahlis.”
Arlina memandang Lyra, lalu berkata pelan, “Kau benar-benar percaya padanya, ya?”
“Tentu saja,” jawab Lyra dengan senyum hangat. “Dan aku pikir, jika kau memberinya waktu, kau akan melihat sisi lain dari dirinya.”
Arlina mendesah. “Mungkin aku harus bersabar... tapi, itu bukan hal yang mudah bagiku.”
Lyra tertawa kecil. “Kau akan terbiasa.”
---
Malam tiba, dan Arlina duduk di kamarnya, memandangi bintang-bintang gelap di langit Umbrahlis. Ia memikirkan apa yang Lyra katakan sebelumnya—tentang melihat sisi lain dari Kael.
“Apa aku bisa benar-benar mempercayainya?” gumamnya pada diri sendiri.
Ketukan di pintu mengagetkannya.
“Masuk,” ucapnya.
Eryx melangkah masuk, membungkuk sedikit. “Yang Mulia meminta aku memastikan kau tidak merasa terlalu bosan malam ini.”
Arlina menatapnya dengan alis terangkat. “Apa ini perintahnya atau inisiatifmu?”
Eryx tersenyum tipis. “Sedikit dari keduanya.”
Arlina tertawa kecil. “Yah, terima kasih. Tapi aku pikir, aku mulai terbiasa dengan kebosanan di tempat ini.”
“Kalau begitu, kau lebih kuat daripada yang aku kira,” balas Eryx, nada suaranya setengah bercanda.
Arlina menggeleng, tersenyum. Untuk pertama kalinya sejak tiba di Umbrahlis, ia merasa sedikit lebih nyaman—meskipun, ia tahu, perjalanannya di tempat ini baru saja dimulai.