ig: nrz.kiya
Farel Aldebaran, cowok yang lebih suka hidup semaunya, tiba-tiba harus menggantikan posisi kakak kembarnya yang sudah meninggal untuk menikahi Yena Syakila Gunawan. Wanita yang sudah dijodohkan dengan kakaknya sejak bayi. Kalau ada yang bisa bikin Farel kaget dan bingung, ya inilah dia! Pernikahan yang enggak pernah dia inginkan, tapi terpaksa harus dijalani karena hukuman dari ayahnya.
Tapi, siapa sangka kalau pernikahan ini malah penuh dengan kekonyolan? Yuk, saksikan perjalanan mereka!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur dzakiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10: Ajakan Nonton
Farel berdiri di garasi keluarga Aldebaran dengan penuh percaya diri, mengeluarkan kunci mobil Ferrari merahnya dari saku celana. Ia menekan tombol pada kunci, dan suara mobil itu berbunyi nyaring, memancing perhatian siapa pun di sekitarnya.
“Ayo naik, Yen!” serunya sambil membuka pintu mobil dengan gaya sok keren.
Yena berdiri di depan garasi dengan ekspresi datar. “Farel, kita cuma mau ke mall. Buat apa sih naik mobil itu, pamer-pameran segala?”
“Eh, Yen, lo nggak ngerti ya? Ini Ferrari, men. Mobil ini tuh bagian dari gue. Kalau gue ke mall tanpa Ferrari, rasanya kayak raja tanpa mahkota.”
Yena mendekati Farel sambil menggeleng. “Kalau kita ke mall naik mobil itu, orang-orang bakal ngira kita datang buat pamer, bukan nonton bioskop.”
Farel memutar bola matanya. “Ya biarin aja! Emang salah pamer kalau kita emang punya?”
“Farel, aku nggak nyaman kalau terlalu mencolok,” ujar Yena sambil menunjuk mobil BMW hitam di sebelah Ferrari. “Kita pakai itu aja, ya?”
Farel melongo sejenak, lalu menunjuk Ferrari-nya dengan dramatis. “Lo serius? Mobil ini kayak istri pertama gue, Yen. Lo tega ninggalin dia di rumah?”
Yena tertawa kecil sambil menarik tangan Farel. “Relll, ini bukan soal siapa istri pertama atau kedua. Kalau kamu masih mau aku yang nyetir nanti, yaudah, ikut aku naik BMW aja.”
“Nyetir? Siapa yang bilang gue bakal kasih lo nyetir? Gue cowok, Yen! Nyetir itu tanggung jawab gue!”
“Kalau begitu kita naik BMW, titik.”
Farel menghela napas panjang, menatap Ferrari-nya dengan penuh rasa kehilangan. “Maaf, bro. Hari ini lo harus ngalah.” Ia menepuk kap mobilnya dengan dramatis sebelum akhirnya menyerah dan mengikuti Yena masuk ke BMW.
Setibanya di mall, Farel masih terlihat menggerutu saat mereka parkir. “Lihat. Kalau tadi kita pakai Ferrari, gue yakin tukang parkirnya bakal kasih kita spot VIP.”
Yena hanya tersenyum kecil. “Dah-lah, parkiran tetap parkiran, mau pakai Ferrari atau mobil balap. Nggak ada bedanya.”
Farel tidak menjawab, hanya mendengus kesal.
Saat mereka berjalan menuju bioskop, Farel mengeluarkan dompetnya dengan percaya diri. “Oke, sekarang giliran gue yang pamer. Gue beli tiket VIP yang tempat duduknya kayak sofa hotel bintang lima. Setuju?”
Yena menatap Farel dengan senyum sabar. “Aku setuju asal lo nggak rebutan remote kursi sama aku nanti.”
Farel menyipitkan mata. “Yen, lo nge-remeh'in gue ya? Remote kursi itu sakral. Gue cowok, gue harus menguasai segala remote.”
Yena menepuk bahunya pelan. “Baik. Remote-nya aku serahkan ke lo.”
Setelah membeli tiket, mereka masuk ke studio bioskop dan mengambil tempat duduk yang nyaman. Farel dengan bangga memamerkan fitur reclining kursi mereka, bahkan sempat menarik perhatian beberapa penonton lain karena terlalu antusias menjelaskan ke Yena.
“Lo tahu nggak, ini kursinya bisa diputar kayak kursi direktur? Nih, lihat!” Farel menekan beberapa tombol, tapi malah membuat sandaran kursinya jatuh ke belakang dengan bunyi keras.
Yena menutup wajahnya dengan tangan, menahan tawa. “Farel, tolong duduk tenang sebelum kita diusir.”
“Aduh, ini bukan salah gue, ini tombolnya yang terlalu banyak!”
Suara shhh dari penonton lain mulai terdengar. Farel akhirnya menyerah dan duduk diam, tapi tetap dengan ekspresi sebal.
Film pun dimulai, dan meski Yena serius menonton, Farel malah sibuk mengomentari adegan-adegan film dengan suara pelan, membuat Yena harus mencubit lengannya beberapa kali agar ia diam.
“Rel, tolong fokus nonton. Kalau enggak, aku duduk jauh dari lo, nih,” bisik Yena setengah kesal.
“Lho, Yen, gue ini menghayati film. Apa lo nggak lihat aktor utamanya tadi terlalu dramatis? Bikin malu gue sebagai cowok ganteng.”
Yena tidak tahan lagi, akhirnya menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan tawa yang hampir meledak.
Malam itu, meski penuh drama kecil, Yena menyadari bahwa dengan Farel, tidak ada hari yang membosankan. Bahkan ke bioskop pun bisa jadi pengalaman yang penuh warna.
Setelah keluar dari bioskop, Farel terlihat bersemangat. Ia menarik tangan Yena tanpa memberi tahu apa rencananya. Yena hanya bisa mengikuti, walau wajahnya penuh tanya.
“Kita mau kemana lagi sih? Kan filmnya udah selesai?” tanya Yena, mencoba menyamai langkah Farel yang penuh percaya diri.
“Tenang aja. Sekarang gue bakal kasih lo bukti lain kalau gue ini cowok multi-talenta. Lo pikir gue cuma bisa main game di HP? Nggak, gue punya bakat alami lain!” jawab Farel dengan nada penuh semangat.
Mereka tiba di depan area permainan di mall itu, tepatnya di mesin tinju yang memiliki sensor kekuatan pukulan. Farel berhenti di depan mesin itu, menatapnya seperti seorang petinju profesional yang siap menghadapi lawan.
“Ini dia!” seru Farel sambil menunjuk mesin tinju. “Lo bakal lihat seberapa keras pukulan gue. Dulu, gue dijuluki ‘Farel Si Tangan Baja’ waktu kecil.”
Yena mendekap kedua tangannya di dada, menahan tawa. “Kalau tangan baja itu artinya keras, bukan gampang keseleo, ya.”
“Lo ngeledek gue?” Farel menatap Yena dengan ekspresi pura-pura tersinggung.
“Enggak, aku cuma penasaran, tangan baja lo kuatnya sampai berapa kilo?” balas Yena, sengaja memancing.
Dengan percaya diri, Farel merogoh dompetnya, memasukkan beberapa koin ke mesin, dan mengambil ancang-ancang. Dia melompat sedikit, memutar pergelangan tangannya seperti sedang melakukan pemanasan.
“Lihat ini, Yen. Rekor tinju mesin ini bakal gue pecahkan,” katanya sambil bersiap-siap.
Dia menarik napas dalam-dalam, lalu melayangkan pukulan ke arah bola tinju dengan penuh tenaga. Bola itu melesat ke atas, dan angka di layar mulai naik. Yena memperhatikan dengan senyum tipis, menunggu hasilnya.
Namun, alih-alih memecahkan rekor, angka yang muncul malah hanya 450. Batas angka maksimal di mesin itu adalah 1000.
Farel terdiam beberapa detik. “Eh, ini mesinnya error, ya? Kayaknya sensor pukulannya udah rusak deh.”
Yena tidak bisa menahan diri lagi. Ia tertawa kecil sambil menutup mulutnya. “Tangan baja kok skornya cuma segitu?”
“Eh, lo jangan salah. Ini mesin lawas. Sensor-sensornya pasti udah ngaco. Gue harus coba lagi!”
Farel memasukkan koin lagi, dan kali ini dia melakukan pukulan yang lebih keras. Bola melesat lebih tinggi, tapi angka di layar masih mengecewakan: 470.
"Haha, jangan-jangan tangan bajanya downgrade jadi tangan aluminium,” seloroh Yena sambil tertawa.
“Awas lo, Yen!” balas Farel, pura-pura kesal.
Karena tidak terima, Farel mencoba pukulan ketiga. Kali ini ia menggunakan seluruh kekuatannya, bahkan menambahkan sedikit gaya dengan melompat. Pukulan itu benar-benar keras—saking kerasnya, malah membuat bola tinju berayun terlalu kuat, menghantam dagunya sendiri.
“Ahh! Ya ampun, sakit!” seru Farel sambil memegangi dagunya.
Yena langsung panik, tapi juga tidak bisa menahan tawa. “Ya ampun, kok bisa kena dagu sendiri sih? Tangan baja apa tangan lengket, sih?”
“Lo ketawa aja, Yen. Gue ini korban mesin lawas yang nggak adil!” keluh Farel, masih memegangi dagunya sambil pura-pura cemberut.
Akhirnya, Farel menyerah. Dia meninggalkan mesin tinju itu dengan wajah masam, sementara Yena masih tertawa kecil di belakangnya.
“Udahlah. Tangan baja lo simpan aja buat mukul bantal di rumah, ya,” canda Yena.
Farel menoleh, menatap Yena dengan mata menyipit. “Lo tunggu aja. Suatu hari nanti gue bakal buktiin kalau gue ini cowok multi-talenta yang sebenarnya.”
Yena hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia tahu, di balik semua tingkah kocaknya, Farel hanya ingin membuatnya tertawa dan merasa nyaman. Agar pernikahan ini tidak kaku.