Devon merasa ia jatuh cinta pada gadis sebatang kara, setelah perjalanan cintanya dengan berbagai jenis wanita. Gadis ini anak jalanan dengan keadaan mengenaskan yang ia terima menjadi Office Girl di kantornya. Namun, Hani, gadis ini, tidak bisa lepas dari Ketua Genknya yang selalu mengamati pergerakannya. Termasuk pada satu saat, kantor Devon mengalami pencurian, dan terlihat di cctv kalau Hani-lah dalang pencurian tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepergok
“Kenapa aku dikasih SP 1? Itu akan mempengaruhi KPI aku loh sayang...” Indri mengecup leher Devon saat pria itu duduk di sofa dalam keadaan berkeringat. Sudah waktunya ia pergi lagi, kali ini ia berencana akan Gym.
“Kamu nggak tahu tempat, sudah saya bilang jangan menggoda saya saat jam kerja. Prinsip saya sudah valid ya.” Desis Devon sambil mengutak-atik ponselnya yang sudah dapat digunakan kembali.
“Kita kan cuma iseng.” Gerutu Lily sambil membelai otot perut Devon.
“Sekali lagi kalian iseng, langsung somasi ya.” Gumam Devon sambil meletakkan ponselnya.
“Jahat banget...” bisik Indri sambil melu mat bibir Devon.
Mereka bergerak berbarengan, dengan tempo lambat, selama beberapa saat sampai akhirnya,
Clekk!
Pintu ruangan Devon terbuka.
Clik!
Lampu pun menyala terang.
Devon menoleh dan menatap ke arah pintu
Hani di sana.
Dengan penyedot debunya.
Menatap mereka bertiga dengan wajah bengong dan mata terbelalak.
Selama beberapa detik suasana tegang menjadi sunyi, mereka masih membeku tak tahu harus apa.
Sampai Devon bilang, “Hani, ruangan saya dibersihkan pagi saja ya. Silakan keluar dulu, saya sedang sibuk.” Desis Devon sambil tersenyum.
“Baik Bang!” seru Hani cepat dan langsung berlari keluar. Saking buru-burunya pintu itu sampai terbanting tertutup.
“Maaf Baaang!” seru Hani dari luar.
Lalu terdengar langkahnya yang panik lari dari area finance.
"Dia panggil kamu ' Bang'?" tanya Indri merasa heran.
"Hm..." sejak awal bertemu, Hani memang memanggil dia dengan panggilan itu.
"Nggak sopan banget!" gerutu Lily.
“Ck.” Decak Devon sambil mendorong wanita di atas tubuhnya. “Udah nggak mood. Pulang aja.” Dengusnya kesal.
“Sayang-“ protes Indri dan Lily.
“Besok ada meeting, jangan kesiangan, Atau posisi kalian akan di gantikan Leyla. Kalau kalian dipindah jadi tukang bersih-bersih, jangan salahkan saya ya.”
**
Sambil berjalan di antara ruangan-ruangan, Devon menyalakan rokoknya. Gedung itu tertera tulisan dilarang merokok besar-besar di bagian lobby, Devon sendiri yang menyediakan anggaran untuk bannernya.
Tubuh tingginya bergerak perlahan tanpa suara sambil mengamati benda-benda di sekitarnya. Lalu ia melirik jam besar di atas pilar. Pukul 22.00 malam. Jam segini, saat tidak ada orang di dalam kantor, sosok 190cm/75kg nya terasa pas. Tidak seperti raksasa di antara orang-orang yang berlalu lalang.
Sambil mengenang masa lalunya dan merokok di selasar, Devon tersenyum bangga ke kantornya ini.
Ia ingat bagaimana ia bersusah payah menghitung lantai dan dinding gedung marmer ini supaya sesuai budget tahunan. Karena harga 1x2 meternya itu bisa beli hape 1 unit. Ia juga ingat saat lampu kristal di atas itu didatangkan dari Africa dengan ratusan berlian asli di antara chandeliernya membuatnya pusing kepala karena menganggap BigBoss mereka tidak waras. Dan justru sekarang para klien memuji lampu itu.
Karena eye cathcing dan sebagai wujud kekayaan Prabasampurna Support. Jadi kesannya kualitas mereka tidak usah diragukan lagi. Personal branding memang penting.
Ya tapi untuk mengganti semua biaya operasionalnya, Devon jadi sibuk di pasar modal.
Jelas saja stressnya tidak sembuh. Tapi kini ia sudah bisa mulai membatasi. Buruknya, Dia mengalihkan perhatiannya ke wanita. Ia akan memilih wanita-wanita terbaik di kelasnya.
Untuk wanita ia tidak akan kekurangan pesonanya. Karena disitulah letak bakatnya sejak kecil. Dengan senyum dan tatapannya ia akan bisa memikat wanita mana pun dari golongan apa pun.
Tapi tampaknya Tuhan belum ingin membiarkannya beristirahat.
Karena saat ia mengamati lampu kristal di depannya, ia melihat sesosok hitam keluar dari arah toilet perempuan di bagian kiri.
**
Heran... pikir Hani.
Di kantor sebesar dan semewah ini, bagaikan hotel bintang lima, masa tidak kulihat satu pun CCTV. Dan di malam selarut ini, tidak kulihat ada penjaga?
Hani berjalan ke arah janitor untuk meletakkan handuk dan seragam kerjanya.’
Ia baru saja mandi.
Gadis itu nekat mandi di kantor karena mandi adalah suatu kemewahan baginya. Tak lupa ia tampung air keran untuk dia pakai minum di rumah, dalam botol air mineral 1 liter. Jarang ada air bersih di tempat tinggalnya.
Hani tinggal di kolong jembatan, tidak ada ventilasi, dan harus beli air galon untuk minum dan mandi. Baginya yang belum gajian, air segalon Rp. 8000 hanya untuk mandi itu mahal harganya. Rp. 10.000 bisa untuk dia dan adiknya makan dua hari, nasi dan sayur 2x sehari sudah dengan minum.
Saat ia membersihkan kantor ini dan melihat fasilitas kamar mandi, tentu saja ia manfaatkan sebisanya. Saat semua orang di gedung sudah pulang, ia menyelesaikan hajatnya, ia cuci bajunya, ia keramas dan berpikir “Sabun di sini wangi banget!” dengan hati riang. Ia berpikir besok akan ia bawa adiknya untuk mandi dan bersih-bersih badan di gedung ini kalau malam.
Hani menggantung seragamnya dan memeriksa apakah pakaiannya sudah kering, ia keringkan di bawah blower tadi setelah dicuci. Baunya pesing sekali ternyata. Kontras dengan wangi sabun. Dan air cucian minta ampun coklatnya.
Lalu ia teringat akan pria yang tadi menyambutnya di kantor.
Ternyata dia orang penting di sini.
Tangan Hani langsung gemetaran.
Mudah-mudahan ‘mereka’ tidak menggangguku. Aku benar-benar ingin bekerja setulus hati di sini. Jangan sampai ‘mereka’ tahu kalau aku sudah bekerja di sini. Batin Hani berbicara.
Lalu ia berpikir alasan apa yang akan ia katakan kalau Ketua Genk-nya mencium wangi tubuhnya dan pakaiannya yang bersih.
Mungkin aku akan bilang kalau aku mengendap-endap masuk ke gedung ini dan numpang mandi di sini malam-malam.
“Seharusnya kamu mandi di bawah, di area basement, bukannya di toilet karyawan.” Terdengar suara berat di belakangnya. Suara seorang pria.
Hani langsung balik badan dengan kaget dan terpekik terkejut.
Pria tinggi yang waktu itu ia ‘kerjai’, sudah ada di belakangnya. Hani lupa menutup pintu ruang Janitor.
“Dan lagi, Honey,” suara pria ini lembut tapi tegas, “Ada CCTV di ruang janitor ini, letaknya tersembunyi. Kamu telan jang begini akan terpampang besar-besar di ruang server.”
“Hah?!” dengus Hani. Dan ia pun menyadari saat menunduk, kalau ia tidak mengenakan apa pun.
Karena dia pikir sudah tak ada lagi orang di gedung ini!
“Kyaaa!” pekiknya sambil menyambar handuknya di bawah dan menutupi tubuhnya.
“Just info, CCTV-nya di belakang kamu, jadi pan tat kamu akan kelihatan kalau kamu hanya tutupi depannya saja.”
Hani menarik nafas tegang dan langsung menggulung handuk sampai menyelimuti seluruh tubuhnya. “Ma...af Bang.”
“Baru kali ini saya lihat ada yang mandi di sini.” Kata pria itu, ya jelas saja itu Devon.
“Saya pikir... sudah tidak ada orang di sini.” Desis Hani sambil mundur sejauh mungkin dari Devon, walau pun pria itu tidak mengindikasikan akan maju ke arahnya.
Tapi Hani takut.
Hani takut ke pria ini.
Hani tahu orang seperti apa dia, yang wajahnya tersenyum tapi amarah di dalamnya meledak-ledak. Terbukti, saat ia membekuk Hani kemarin, ia tidak peduli Hani perempuan atau laki-laki, bertubuh kecil atau besar, ia hampir mematahkan tulang kaki Hani. Juga walau pun ia tahu Hani ini perempuan, tapi ia menggeledah Hani dengan kasar dan tanpa belas kasihan.
Dan kilatan di matanya yang marah... sangat mengerikan.
Pria ini pasti sudah pernah membunuh orang. Begitu pikir Hani saat melihat Devon.
🙄🙄
emang ada ya pesugihan codot ngising 🤣🤣🤣
semuuuaaaa bab menyenangkan dan menghibur.makasih Madam 🥰🥰
semangat sehat selalu jeng septi....