novel ini adlaah adaptasi dari kelanjutan novel waiting for you 1
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uppa24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
vio akan melindungi mu ibu!!
Namun, kali ini, setelah berbicara dengan putranya, Elena merasakan kedamaian kecil yang perlahan meresap ke dalam hatinya yang berantakan. Dia mengingat mengapa dia harus terus bertahan dalam peran ini—bahkan ketika kenyataan begitu menyakitkan dan penuh keraguan. Di hadapan Alvio, dia harus tetap menjadi ibu yang kuat. Bukan hanya pemimpin dari keluarga El Bara.
Dengan hati yang lebih tenang, Elena berdiri dan berjalan menuju balkon, menatap kota di luar. Suara angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, menenangkan dirinya dari segala perasaan gelisah yang berkecamuk sebelumnya. Dia tahu, hidupnya telah berubah. Kenangan akan masa lalu bisa terus menghantuinya, tetapi yang pasti, sekarang dia memiliki alasan untuk terus maju: Alvio.
"Aku harus kuat, untuk kamu, Alvio..." Elena berkata dengan tekad baru, mencoba menenangkan batinnya, meskipun masih ada banyak hal yang mengganggunya. Akan ada banyak masa depan yang harus ia hadapi, dan dia harus berani menjalani semuanya demi putranya.
~||~
Setelah menutup percakapan dengan ibunya, Alvio duduk sejenak di tempat tidurnya, membenamkan diri dalam pikiran yang mulai berputar. Meskipun usianya baru tiga tahun, dia sudah mulai menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Apa yang dikatakan ibunya tadi membuatnya penasaran, dan alih-alih tidur seperti biasanya, Alvio memutuskan untuk bertindak.
Dengan langkah ringan, dia bergegas menuju ruang kerjanya, di mana laptop yang biasa ia pakai untuk menonton film atau belajar disimpan. "Pak Jen!" panggil Alvio dengan suara kecil namun pasti. Tak lama, pelayan keluarga El Bara, Pak Jen, masuk ke dalam ruangan.
"Ya, tuan muda," jawab Pak Jen dengan hormat.
"Ambilkan laptopku," perintah Alvio tanpa ragu. "Aku ingin melihat beberapa hal."
Pak Jen tak bisa berbuat banyak. Sebagai pelayan yang telah lama bekerja dengan keluarga El Bara, dia tahu betul betapa tajamnya pikiran Alvio. Alvio sudah terbiasa dengan teknologi canggih dan sangat pandai mengoperasikannya meskipun usianya masih sangat muda. Setelah membawa laptop, Pak Jen meninggalkan Alvio sendirian di ruangan tersebut.
Dengan cepat, Alvio membuka laptop dan mulai mengakses sistem yang sudah ia pelajari dalam waktu singkat, sistem canggih yang digunakan oleh keluarga El Bara. Mata kecilnya yang serius bergerak gesit mengakses kamera keamanan yang dipasang di aula perjamuan dan sekitarnya, mencoba menemukan informasi lebih lanjut mengenai kejadian yang baru saja terjadi, terutama apa yang membuat ibunya mendadak mengasingkan diri.
Setelah beberapa menit mengutak-atik, Alvio akhirnya menemukan rekaman CCTV dari aula perjamuan dan lingkungan sekitarnya. Dalam rekaman itu, dia melihat dengan jelas peristiwa yang terjadi, termasuk apa yang terjadi antara Elena dan Aidan. Alvio memperhatikan setiap detil, mencatat ekspresi wajah ibunya yang sempat kacau sebelum dia meninggalkan perjamuan dan saat ibunya berada di pinggir danau dekat dari aula perjamuan. Dari situ, segalanya menjadi terang.
"Jadi ini alasannya..." gumam Alvio, wajahnya menunjukkan ketidakpuasan dan kecewa yang mendalam. "Ayah..." bisiknya pelan.
Di depan layar laptop, dia kembali memutar gambar dan video yang diambil, memperhatikan setiap interaksi antara Aidan dan Elena dengan hati-hati. Terlebih lagi, reaksi ibunya yang seketika menghilang setelah bertemu dengan Aidan di tepi danau. Alvio menyimpulkan bahwa pertemuan itu telah mengguncang ibunya, menimbulkan perasaan yang mungkin belum pernah ditangani dengan baik oleh Elena. Alvio tahu bahwa ini adalah lebih dari sekadar pertemuan biasa, ini berkaitan dengan masa lalu mereka.
Di tengah segala pengamatan itu, Alvio merasa sesuatu yang tak terduga tumbuh dalam dirinya. Sebuah perasaan yang membakar, kecewa pada Aidan yang tidak mampu menangani perasaan ibunya dengan baik, terutama saat yang seperti ini. Di dalam dirinya, rasa sayang dan perlindungan terhadap ibunya semakin menguat.
"Dasar ayah tak berguna... pantes saja kau ditinggalkan," Alvio berseru dalam hati, menahan rasa marah yang datang seiring kelelahan emosional. "Mengenali istrimu saja tak bisa, bagaimana kau bisa jadi suami dan ayah yang baik?"
Alvio terdiam, bibirnya terkatup rapat. Meski muda, perasaan ini begitu kuat baginya. Dia tahu, lebih dari siapa pun, bahwa dia akan selalu berada di sisi ibunya. Dengan keyakinan ini, Alvio kembali menutup laptop, menghentikan pencariannya, meski banyak hal masih mengganjal di dalam benaknya.
Setelah kejadian ini, Alvio merasa seolah ada sebuah tembok tak terlihat yang terbentuk antara keluarganya. Mungkin inilah saatnya bagi dia untuk lebih menjaga ibunya, karena dunia mereka mulai menjadi lebih rumit dari yang dia bayangkan.
Setelah beberapa lama terdiam, Alvio akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruangan dan mencari Pak Jen, ingin berbicara lebih lanjut tentang apa yang sebaiknya dilakukan. Pak Jen yang tidak jauh dari ruangan tersebut segera datang begitu mendengar langkah kaki kecil Alvio. Alvio tampak berbeda; matanya yang biasanya ceria kini tampak serius, menyiratkan sesuatu yang lebih besar sedang terjadi dalam pikirannya.
"Pak Jen," suara Alvio yang tenang dan bijaksana mengalir, "Tolong pastikan ibuku tidak terganggu lagi. Jika ada yang datang menemui ibu, beri tahu aku."
Pak Jen menunduk hormat, walau ia tahu bahwa tugas ini jauh lebih rumit daripada yang biasa dilakukan. "Tentu, tuan muda," jawabnya dengan penuh pengertian.
"Antarkan aku ke hotel ibuku berada " ucap alvio lebih serius dan pak jen pun menurutinya
Alvio kemudian meninggalkan ruangannya dan di antar oleh pak jen mengunakan mobil ke hotel tempat elena berada , tempat di mana ibunya biasanya menghabiskan waktu sendiri untuk merenung.
Namun, hari ini segalanya terasa berbeda.
Sesampainya di hitel alvio segera mencari keberadaan ibunya , Alvio mendapati ibunya berdiri di balkon hotel. Elena menghadap ke arah sebaliknya melihat deretan gedung-gedung pencakar langit di depanya, tetapi ekspresinya begitu jauh—tertanam jauh dalam pikirannya, seolah dia tengah berjuang melawan perasaan sendiri. Pada saat yang sama, Alvio merasa ada yang berubah dalam dirinya. Ibunya bukan lagi sosok yang tak tergoyahkan seperti dahulu. Banyak hal yang dia lihat tadi mengajarkan pada dirinya tentang sisi lain yang lebih rapuh dari ibunya—bahkan mungkin lebih rapuh dibanding dirinya.
"Ibu..." Alvio memanggil lembut.
Elena tersentak, seolah baru menyadari kehadiran putranya. Wajahnya berangsur anggun, walau ada bekas kelelahan di sana. Saat matanya bertemu dengan mata Alvio, Elena tersenyum lembut, tetapi masih ada bayang-bayang kesedihan di sana yang tidak bisa disembunyikan. "Vio, kau tahu mengapa Ibu perlu waktu sendiri, kan?" tanya Elena, nada suaranya berusaha terdengar tenang meskipun kedalaman pikirannya tercermin di setiap kata yang terucap.
Alvio mengangguk, namun perasaan terpendam di dalam dirinya mulai tumpah. "Aku hanya ingin kau tidak terluka, Ibu. Jangan biarkan apapun membuatmu terpuruk lagi seperti tadi."
Elena mengangkat tangan kecil putranya dan meremasnya lembut. "Aku tak ingin membuatmu khawatir. Tapi terkadang... ada hal-hal yang harus aku hadapi sendiri," ucap Elena, masih dengan tatapan yang mengalir penuh dengan kebingungan batin.
Alvio menatap dalam-dalam matanya. "Jika ada yang menyebabkan itu, biarkan aku membantumu, Bu. Apa pun itu, aku akan ada untukmu."
Beberapa saat berlalu dalam keheningan itu. Elena menarik napas panjang dan memutuskan untuk duduk di kursi yang berada tidak jauh dari mereka . "Vio, dunia kita berbeda sekarang. Kita semua harus memahami itu. Tak mudah menghadapinya, tetapi kita harus. Tidak ada cara lain selain terus maju."
Alvio duduk di sampingnya, menggenggam tangan ibunya lebih erat. Dia tahu perasaan ibunya lebih rumit dari yang bisa ia bayangkan. Tetapi, satu hal yang pasti: dia tak akan membiarkan apapun menghancurkan ibunya, tak akan membiarkan Aidan ataupun apapun dari masa lalu merusak kedamaian yang mereka punya saat ini.
Beberapa saat setelahnya, Alvio memandang ibunya dengan tatapan penuh keyakinan, berbicara dengan suara yang lebih dewasa dari umurnya. "Ibu, apapun yang terjadi, kita akan melewatinya bersama. Kita keluarga, dan aku tak akan membiarkan apapun terpisah kita."
Elena memeluk putranya dengan pelukan penuh cinta. Dia sadar, apapun yang terjadi di masa depan, keluarganya akan menjadi kekuatannya. "Aku tahu, Vio. Aku tahu," jawabnya pelan.
Keputusan hidup mereka—dan mungkin keputusan hidup setiap keluarga—akan mengubah banyak hal. Tapi yang pasti, pada saat itu, hanya satu hal yang bisa dipastikan: Alvio dan Elena akan selalu berdiri bersama menghadapi semua tantangan.