Virginia menjual keperawanan yang berharga pada Vincent demi menyelamatkan nyawa adiknya yang saat ini sedang koma. Namun, Vincent yang sedang mengalami prahara dalam hubungannya dengan sang mantan istri, menggunakan Virginia untuk membalas dendam pada sang mantan istri.
Vincent dengan licik terus menambah hutang Virginia padanya sehingga anak itu patuh padanya. Namun Vincent punya alasan lain kenapa dia tetap mengungkung Virginia dalam pelukannya. Kehidupan keras Virginia dan rasa iba Vincent membuatnya melakukan itu.
Bahkan tanpa Vincent sadari, dia begitu terobsesi dengan Virginia padahal dia bertekat akan melepaskan Virginia begitu kehidupan Virgi membaik.
Melihat bagaimana Vincent bersikap begitu baik pada Virgi, Lana si mantan istri meradang, membuatnya melakukan apa saja agar keduanya berpisah. Vincent hanya milik Lana seorang. Dia bahkan rela melakukan apa saja demi Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alergi Kontrasepsi
Vincent menarik napas lega begitu Egi telah melewati masa kritis. Anak itu sudah berada di ruang perawatan dengan pengawasan intensif.
Seorang dokter yang ia kenal dengan baik memberikan keterangan hasil lab dan pemeriksaan.
"Dia alergi obat yang sangat berat." Dokter Hana melipat sebendel kertas di tangannya. "Beruntung kamu membawanya kesini tepat waktu. Kalau enggak, dia udah pasti lewat."
Vincent menenggak air mineral dingin untuk melegakan rasa haus juga menyembunyikan rasa lega di hatinya dari Dokter wanita ini. Secara umum, dia menghindari bicara dengan Hana.
Dari cara menatapnya, Hana pasti curiga pada kelakuan Vincent hari ini, jadi dengan sok santai, Vincent melirik Hana, "apa?!"
"Dia masih muda jika yang membuatnya alergi adalah morning after pill!"
Vincent menahan air mineral itu di mulutnya, menggerakkannya ke kanan dan kiri sebelum menelannya perlahan. Ia ingin berlama-lama menjawab Hana.
"Itu urusan dia!" Vincent ingin menepuk kening untuk merutuki kebodohannya. Kenapa dia begitu sembrono memberikan obat kepada seseorang tanpa mengenali riwayat kesehatan orang itu sebelumnya?
"Memang!" Hana menyerah akan rasa penasaran dimana Vincent menemukan anak itu. Vincent bukan orang baik hati atau peduli sekalipun ada orang sekarat di depannya. Ini berbeda dari biasanya.
Hana meletakkan kertas hasil lab. "Dia mengkonsumsinya kemarin. Dia akan alergi walau hanya minum setengah dosis dari pil itu. Aku hanya berharap, dia tidak alergi semua jenis obat. Itu agak merepotkan jika dia sakit."
Hana meninggalkan ruangan Vincent setelah memberi pria itu tatapan penuh tanya. Dari sana, Vincent tau kalau hari sudah sangat larut saat ini. Tapi Vincent belum berniat pulang. Perlahan dia menarik kertas yang ditinggalkan Hana, membacanya lalu menghela napas.
Vincent termenung seraya meletakkan kertas itu. Sekeras itu kah hidupnya?
Vincent berdiri kemudian ia melangkah untuk pulang.
Di luar ternyata hujan. Vincent yang posturnya sangat tinggi dan tegap itu begitu mencolok. Ditambah pria berusia 37 tahun itu bisa dibilang tampan dengan jambang yang tumbuh di pipinya.
Sebelum benar-benar pulang, Vincent menyempatkan diri menengok Egi dan berpesan kepada perawat yang berjaga jika sewaktu-waktu ada masalah agar tidak segan meneleponnya.
Baru setelah semua dirasa aman, Vincent keluar, menuju tempat mobilnya berada. Halaman depan IGD cukup sepi, jadi Vincent langsung bisa melihat posisi mobil yang tadi diambil oleh orang suruhannya.
"Sudah selesai?!"
Vincent menghentikan langkah. Tangannya mengepal saking menahan sesal. Ia begitu saja melupakan Lana.
"Tadi ada pasien kritis." Singkat jawaban Vincent, yang disambut senyum oleh Lana.
"Aku melihatnya tadi." Lana menyejajari posisi Vincent berdiri. "Kita pulang?!"
"Kenapa tadi nggak nelpon atau pulang dulu."
Lana mengamit lengan Vincent, tertawa jenaka dengan tingkah manja. "Kan aku nggak bawa hape."
Singkat, padat, skakmat!
Vincent tertegun sejenak, lalu tanpa banyak bicara menyilakan Lana berjalan lebih dulu. Untuk pertama kalinya, Vincent merasa muak dengan sikap Lana.
"Payungin, Vin, deres ujannya!"
Tidak punya pilihan walau ingin mengatakan tidak, Vincent melepaskan jaket yang membalut badannya, memayungi wanita itu agar gerimis tidak menimpa rambutnya yang tertata indah meski sudah malam.
"Kamu mau makan?!" Lana bertanya sangat lembut saat keduanya berada di dalam mobil. Lana membantu Vincent membersihkan baju dari air hujan. "Aku tadi bingung cari makan, jadi beli makanan di kantin rumah sakit."
Biasanya Vincent akan membawanya makan malam yang begitu layak bahkan mewah jika dia berkata demikian.
"Baguslah kalau kamu sudah makan, kita bisa langsung pulang."
Lana menoleh dengan cepat ke arah Vincent. Dalam hati dia sungguh marah, tapi tetap saja bibirnya mampu tersenyum penuh pengertian.
Setelahnya baik Lana maupun Vincent tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Kesunyian benar-benar menyatakan bahwa sebenarnya mereka berjarak sejauh itu.
"Wanita tadi siapa? Pacar kamu?!"
Lana akhirnya memecah kebisuan yang membuatnya tidak nyaman. "Kamu kelihatan panik banget."
Vincent melepaskan tangan dari kemudi lalu menempatkannya ke depan mulut. Menyusun jawaban yang paling pas.
"Dia kenalanku."
"Sepanik itu?!" Lana mencoba menegaskan pertanyaannya.
"Setiap keadaan yang mengancam nyawa, pasti membuat siapa saja panik."
Lana tersenyum sarkas. Jawaban Vincent terlalu umum, membuat Lana semakin jengkel.
Keduanya terdiam lagi sampai tiba di rumah Vincent. Ponsel pria itu berdering keras, sehingga membuat Vincent dan Lana sejenak terpaku. Samar terlihat itu adalah nomor telepon rumah sakit.
"Brie pasti senang kamu pulang lebih awal dari biasanya." Lana tidak menyerah agar Vincent tidak pergi. "Dia bilang belum mau makan jika kamu belum pulang."
Brie memiliki kondisi tubuh yang lemah, Vincent pasti memikirkan putri yang lahir di dalam pernikahan mereka.
"Katakan pada Brie, untuk tidak banyak tingkah. Tidak makan pasti membuat gula darahnya juga rendah. Kamu seharusnya di rumah merawat Brie daripada menunggui aku di rumah sakit! Jelas aku orang yang sehat dan dewasa, Brie hanya anak-anak yang sedikit-sedikit ngambek. Harusnya kamu tau soal itu, Lana!"
Usai berkata begitu, Vincent menjawab panggilan dari ruang jaga dimana Egi dirawat. Pria itu diam, tetapi mendengar dengan seksama penjelasan dari perawat.
"Aku akan kesana! Pastikan Dokter Hana menanganinya dengan baik."
Lana mendengus dan memalingkan wajahnya. Ini tidak bisa dibiarkan, jadi Lana pura-pura batuk dan memegang perutnya.
"Gerd ku kambuh kayaknya!"
"Di rumah ada obat yang biasa kamu minum! Lain kali cukup perhatikan saja dirimu dan Brie. Aku bisa urus diriku sendiri."
Vincent tahu, Lana akan keras kepala duduk di sana jadi dia memarkirkan mobil lalu mengambil kunci mobil lain untuk kembali ke rumah sakit.
Terserah Lana mau duduk disana sampai pagi sekalipun. Dia tidak punya waktu lagi.
Egi kembali mengalami keadaan yang buruk. Itu disebabkan oleh keteledorannya.