Dijual oleh ayah tirinya pada seorang muncikari, Lilyan Lutner dibeli oleh seorang taipan. Xander Sebastian, mencari perawan yang bisa dinikahinya dengan cepat. Bukan tanpa alasan, Xander meminta Lily untuk menjadi istrinya agar ia bisa lepas dari tuntutan sang kakek. Pernikahan yang dijalani Lily kian rumit karena perlakuan dingin Xander kepadanya. Apa pun yang Lily lakukan, menjadi serba salah di mata sang suami. Xander seakan memiliki obsesi dan dendam pribadi pada hidupnya. Bagaimanakah nasib Lily yang harus menjalani pernikahan dengan suami dinginnya? Haruskah ia bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lilyxy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Dua pasang mata itu masih saling terpaku tanpa jeda. Rasanya tidak percaya dengan penglihatan masing-masing. Takdir mempermainkan mereka dengan begitu apik.
Tentu saja, nostalgia rasa itu kembali terjadi. Seolah ingatan tentang masa lalu berputar di otak dan hati masing-masing. Dua orang yang saling menginginkan satu sama lain, bahkan hingga saat ini.
Xander menatap wajah yang kinu berlinang air mata karena rasa tak percaya. Wajah cantik itu terlihat semakin cantik. Bertambah memesona seiring bertambah usianya.
Xander dengan ceoat menghitung selisih umur keduanya. Gadis itu seharusnya berusia 22 tahun mengingat ia sudah menginjak angka 37 tahun saat itu.
Bisa menemukan gadis ini tanpa sengaja, jujur saja membuat hatinya luah, walau dia sendiri tidak yakin apa penyebabnya. Terlalu banyak hal yang mengganjal di hatinya tentang Lily.
Selain karena obsesi yang masih dia simpan, juga karena rasa dendam yang teramat sangat. Terutama pada saudara laki-laki perempuan itu yang membuat ia juga merasa marah padanya.
Mengingat bagaimana penderitaan sang kakak hingga nafas terakhirnya, membuat Xander begitu ingin membalas perbuatan pria brengsek yang dianggap menjadi penyebab kematian saudaranya.
Kalau pria itu bisa menghilang tanpa jejak dan mempermainkan nasib kakaknya, maka dia berniat melakukan hal yang sama. Mempermainkan adik pria itu hingga mengalami nasib serupa dengan sang kakak.
Kini, bagai peribahasa pucuk dicinta ulampun tiba, tanpa bersusah payah mencari di mana keberadaan gadis ini, dia malah datang sendiri dan menjelma sebagai istrinya.
Tapi di sisi lain, Xander mentertawakan dirinya sendiri yang rupanya masih mempertahankan obsesinya pada wanita yang sama. Lily yang dia kira adalah orang yang berbeda, ternyata adalah wanita yang sama.
Sedangkan Lily dengan cepat menyeka air matanya. Masih tidak percaya kalau pria yang dulu mengacuhkannya itu justru menjadi suami kontraknya.
Semakin heran dia bagaimana Xander tidak bisa mengenali dirinya sebelum mereka menikah sebelumnya. Namun, segala hal memang mungkin saja terjadi.
Tidak ingin berpikiran lebih jauh, Lily pun berniat ingin menyadarkan pria yang sepertinya masih tenggelam dalam pikirannya tersebut.
"K-Kak Xander," cicit Lily.
Wanita itu mengusap lembut tepian bibir Xander. Lily bisa melihat Xander mengerjap beberapa kali lalu beranjak dari tubuh Lily dan meninggalkannya begitu saja.
Ekspresi terkejut yang tampak aneh itu justru menyakitkan hati Lily. Dia bisa melihat jelas Xander yang dingin dan sinis seperti dulu. Seolah kehadirannya tidak diterima di sana.
Lily tidak tahu pasti apa kesalahannya sebenarnya.Namun, dia juga tidak bisa menerka-nerka. Tidak ingin tenggelam dalam pikiran negatifnya, Lily pun berusaha bangkit dari rebahnya untuk membersihkan diri.
Ia ingin berbicara dengan Xander setelah ini dan menanyakan banyak hal yang terpendam di hatinya selama ini. Perlahan ia berusaha bangkit dengan tubuh remuk redam.
Namun, usahanya sia-sia kala rasa sakit itu menjalar ke area pangkal pahanya. Lily masih mencoba sekali lagi untuk bangkit dari ranjang besar tersebut.
Dan ..., "Awhhhhh," pekiknya.
Rupanya dia memang tidak sanggup. Tubuhnya serasa bagai tertabrak sebuah mobil. Hingga pada akhirnya, dia memilih untuk menarik selimut demi menutupi tubuh polosnya.
Lily paham, kalau tenaganya telah habis terkuras bukan karena hanya malam pertamanya itu, tapi juga karena aktifitasnya seharian penuh. Dia bahkan sama sekali belum beristirahat.
Terlebih lagi, Xander telah menggempurnya habis-habisan tanpa ampun. Membuat tubuhnya yang sudah terasa sangat lelah semakin terasa hancur lebur.
Gadis itu jadi berpikir, apa bercinta memang sesakit itu. Dia ingat sahabat lamanya, Selena pernah bercerita kalau bercinta itu rasanya sangat nikmat, tapi kenapa yang ia rasakan malah sebaliknya?
Lily tidak memungkiri kalau dia juga merasakan nikmat yang bahkan tidak bisa digambarkan dengan apapun. Masalahnya dia baru tahu kalau konsekuensi dari rasa nikmat itu adalah rasa sakit yang tidak terkira setelahnya.
Namun, Lily mencoba untuk mengabaikannya. Ditambah lagi, dia masih harus mengurus agenda operasi sang ibu juga membayar biaya pendonor sumsum tulang belakang itu.
Hingga tanpa terasa, Lily jatuh tertidur karena begitu lelah. Apalagi ranjang itu terasa begitu nyaman setelah berbagai hal sulit yang dia terima beberapa hari ke belakang.
Sedangkan, Xander akhirnya keluar dari kamar mandi dengan menggunakan bathrobe-nya. Dia bisa melihat Lily tertidur pulas sambil meringkuk di atas ranjangnya.
Sekali lagi, ada perasaan aneh yang menyelusup ke dalam hatinya. Apalagi melihat wajah Lily yang sangat damai. Wajah yang terlihat cantik bersinar di ruangan yang temaram itu.
Bagi Xander, Lily bagai peri yang menjelma menjadi seorang gadis. Walau sekali lagi, sekelebat ingatannya tentang sang kakak yang menangis perih langsung mengisi otaknya.
Rasa geram segera mengganti rasa kagum di dadanya. Pria itu kemudian menuju walk in closet dan berpakaian di dalam sana. Lalu keluar dari kamar menuju ruang kerjanya.
Entah kenapa kini dia justru merasa perlu menjaga jarak dengan Lily setelah mengetahui kebenarannya. Dia masih bingung dengan perasaannya sendiri dan perlu waktu untuk berpikir.
Xander bingung dengan rasa apa yang sebetulnya mendominasi kini. Apakah itu dendamnya pada saudara laki-laki gadis itu, atau obsesi yang sulit dikendalikan pada istri kontraknya itu.
Di dalam ruang kerjanya, Xander sibuk menghisap rokok yang terselip di antara kedua jarinya. Dia memang sedang membutuhkan nikotin untuk menenangkan gejolak rasa yang ada.
Pikirannya tenggelam oleh satu nama, Lily. Ia masih tidak percaya kalau wanita yang telah ia ambil keperawanannya itu adalah gadis yang telah lama menjadi impiannya.
Sayang saja, gadis itu harus terlahir senagai adik pria yang dianggap sebagai musuh. Kalau mereka bukan saudara, Xander jelas akan memperlakukan sang gadis dengan lebih baik sebagai istrinya.
Setelah menghabiskan tiga batang rokok, Xander merebahkan dirinya di atas sofa panjang yang ada di ruang kerja. Ia enggan kembali ke kamarnya dan memilih untuk bermalam di sana.
Keesokan harinya, Xander bahkan tidak kembali ke kamar untuk sekedar mengambil pakaian kerjanya. Ia memilih untuk bersiap dari ruang kerja dan menyuruh Brenda untuk menyiapkan keperluannya.
"B-Brenda. Kemana Xander?" tanya Lily saat gadis itu melihat Brenda mengambil beberapa pakaian Xander.
Sejak mengetahui pria itu adalah Xander, Lily lebih memilih untuk memanggil nama pria itu dengan nama kecil yang memang sangat familiar untuknya.
Sedangkan, Lily memang sengaja menghampiri sumber suara di kamar suaminya yang rupanya berasal dari Brenda. Walau dia sendiri sibuk bersiap karena harus segera menuju rumah sakit untuk mengurus keperluan operasi ibunya.
"Tuan ada di ruang kerjanya, Nona. Saya disuruh mengambil pakaian kerjanya, dan membawanya ke sana," jawab Brenda.
"Oh, Nona sudah siap? Ini masih terlalu pagi, Nona. Kenapa tidak memanggil pelayan untuk membantu? Kenapa juga tidak memanggil saya?" tanya Brenda.
Lily tersenyum lembut. “ Tidak masalah, Brenda. Aku masih punya tangan dan kaki untuk menyiapkan semuanya. Aku bisa melakukannya sendiri. Tidak usah khawatir. Oh, ya. Biarkan aku yang membawakan pakaian itu untuk Xander. Kebetulan aku sudah selesai."
"Tidak perlu, Nona. Saya yang akan membawanya sendiri. Tuan tidak suka kalau kami tidak menyelesaikan tugas dengan benar. Tuan sudah memerintahkan saya untuk menyiapkan pakaian ini, untuk itu saya juga yang harus menyelesaikannya." Brenda menolak halus.
"Oh ya, Nona. Kalau Nona sudah selesai, Nona bisa turun ke bawah untuk sarapan. Semua sudah tersedia di meja makan. Kalau ada yang Nona inginkan, Nona tinggal mengatakan saja pada pelayan yang ada di sana." Brenda berpesan.
Lily tersenyum canggung. Penolakan Brenda untuk membiarkannya membawakan pakaian tersebut untuk Xander membuat perasaannya sedikit berbeda.
"Baiklah, Brenda. Aku akan segera turun ke bawah."
Brenda berlalu dari hadapan Lily. Sedangkan Lily kembali ke kamarnya untuk mengambil tas dan ponsel yang masih tergeletak di atas meja rias. Namun, Lily malah duduk di depan meja rias dan memperhatikan wajahnya dari cermin.
Pikirannya langsung tertuju pada kejadian ajaib tadi malam. Lily merasa sangat lega karena keperawanannya justru dia serahkan pada cinta pertamanya.
Setidaknya, ia tidak akan menyesali hal tersebut. Dia merasa telah merelakan kesuciannya pada orang yang tepat. Terlebih, pria itu adalah suaminya sendiri.
Senyum tipis tersimpul pada bibirnya yang ranum. Walau rupanya, bibirnya terasa perih karena luka akibat pukulan itu masih bertengger di sana. Kini, bahkan telah berubah warna menjadi keunguan.
Semalam, Lily juga tidak melihat luka itu yang dia yakini adalah karena wajahnya penuh dengan riasan tebal. Wanita itu kemudian mengusapkan bedak sedikit tebal pada area luka itu.
Dia kemudian menempelkan plester kecil transparan yang selalu ia bawa ke mana-mana pada sudut bibirnya yang terluka. Tidak mungkin juga dia menghadapi banyak orang dengan wajah seperti itu.
Setelah memastikan penampilannya cukup baik, Lily memutuskan untuk keluar dari kamarnya menuju meja makan. Dia perlu mengisi perutnya sebelum beraktifitas seharian.
Dia juga harus berpamitan pada Xander kalau dia akan pergi ke rumah sakit dan setelah itu bekerja seperti biasanya. Walau menurut kontrak, mereka seharusnya tidak perlu saling terikat.
Tugasnya hanyalah untuk hamil dan melahirkan anak laki-laki. Namun tetap saja, dia merasa kalau Xander harus mengetahui agendanya di hari itu. Lagipula, dia memang ingin bicara sekali lagi pada Xander.
Lily menaiki lift sambil memperhatikan lokasi ruang makan melalui denah rumah yang terpasang di dalam. Beruntung denah ruang itu memberi informasi lengkap untuknya.
Lily tahu kalau dia memang harus lebih sering memperhatikan denah itu sekarang untuk membiasakan diri. Mansion itu sangat besar dan dia tidak mau tersesat konyol di dalamnya.
"Silakan, Nona." sambut salah satu pelayan sesaat Lily keluar dari box besi tersebut. Saya akan mengantar Nona ke ruang makan. Lewat sebelah sini, Nona."
Pelayan itu mempersilakan Lily berjalan terlebih dahulu, sambil tetap menuntunnya ke ruang makan. Tidak lama, gadis itu tiba di area makan dengan meja panjang yang begitu mewah walau kosong.
Lily bisa melihat Xander seorang diri sedang menikmati sarapannya dengan tenang. Pria itu tampaknya juga sudah siap memulai kegiatannya hari itu.
"Silahkan, Nona," ucap pelayan yang mengantar.
Pelayan tersebut membantu menarik kursi yang terletak di ujung yang lain, berhadapan dengan Xander. Walau jarak mereka tidak terlalu dekat, tapi Lily bisa melihat dengan jelas ekspresi dingin dari suaminya itu.
Bahkan pria itu tidak menoleh sama sekali padanya. Entah apa yang salah, Lily merasa dirinya tidak dianggap ada. Dalam beberapa jam saja, pria yang awalnya banyak bicara itu kini diam seribu bahasa.
Anggap saja Lily cengeng, tapi air matanya merebak tanpa permisi. Sempat mengira malam pertama akan membuat hubungan keduanya mencair, tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Walau Lily mencoba mewajarkan sikap sang suami yang mungkin masih kecewa karena dia sempat ingin membatalkan pernikahan. Atau mungkin kecewa karena gadis di balik topeng adalah dirinya.
Lamunan Lily buyar saat dia mendengar suara decitan kursi. Pandangannya langsung tertuju pada Xander yang sudah beranjak dari kursinya. Pria itu sudah menyelesaikan sarapan dan hendak pergi bekerja.
Melihat itu, cepat-cepat Lily pun mendorong kursinya ke belakang untuk mengejar langkah panjang Xander.
"Nona, sarapan Anda!"teriak Brenda.
Kepala pelayan yang baru saja datang itu melihat sarapan Lily yang masih utuh. Bahkan susu hangat yang disiapkan khusus untuknya itu juga belum diminum.
"Nanti saja, Brenda. Aku akan sarapan di kantor!" teriak Lily menjawab Brenda.
Dengan langkah mantap, gadis itu berusaha mengejar Xander yang sudah semakin jauh. Rasa sakit pada pangkal paha Lily membuat pergerakan wanita itu jadi terbatas.
"Kak Xander!" teriak Lily.
Namun, pria itu memasuki mobil mewahnya dan tidak mendengar panggilannya. Mobil itu pun bergerak perlahan, meninggalkan Lily yang masih berusaha mempercepat langkahnya, hingga akhirnya,
"Akkhhhh!"
Lily memekik saat tubuhnya jatuh tersungkur ke lantai. Langkah yang tidak seimbang membuatnya limbung yang mengakibatkan kakinya terkilir. Xander yang melihat itu dari kaca spion pun langsung menghentikan mobilnya.
**
menunggu terlalu lama..