Demi menyelamatkan nama baik keluarganya, Audrey dipaksa menggantikan adik tirinya untuk menikahi Asher, seorang tuan muda yang dikenal cacat dan miskin. Audrey yang selama ini dianggap anak tiri yang tidak berharga, harus menanggung beban yang tak diinginkan siapa pun.
Namun, hidup Audrey berubah setelah memasuki dunia Asher. Di balik kekurangan fisiknya, Asher menyimpan rahasia besar yang bahkan keluarganya sendiri tak pernah tahu. Perlahan, Audrey mulai menyadari bahwa suaminya bukan pria biasa. Ada kekuatan, kekayaan, dan misteri yang tersembunyi di balik sosok pria yang diabaikan itu.
Ketika rahasia demi rahasia terungkap, Audrey mendapati dirinya terjebak di antara cinta, intrik, dan bahaya yang tak pernah ia bayangkan. Siapkah Audrey menghadapi kenyataan tentang Asher? Dan apakah takdir yang mempertemukan mereka adalah kutukan atau justru anugerah terbesar dalam hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qaeiy Gemilang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gelang Warisan
Dengan rasa penasaran, Audrey membuka kotak hitam berukiran emas yang dia pegang. “Ini...,” Audrey menatap Asher saat dirinya melihat isi kotak tersebut.
“Itu gelang warisan. Walaupun pernikahan ini hanya formalitas, tetapi status dirimu tetap menjadi Istriku. Jadi, kuharap simpan gelang itu baik-baik.”
Merasa ragu jika Audrey harus menerima benda berharga seperti gelang yang dia pegang, Audrey berkata dengan lembut, “Tapi, Asher, apakah aku benar-benar pantas menerima warisan ini? Ini terlalu berharga.”
Asher yang selalu menundukkan wajahnya itu pun menjawab, “Callie, kau adalah istriku sekarang. Gelang ini sudah seharusnya menjadi milikmu. Kau tak perlu merasa ragu atau bersalah. Tapi ingat, jangan pernah berharap jika kita ini adalah pasangan Suami Istri seperti orang-orang. Karena hubungan harmonis atau sebagainya, tidak akan pernah kamu dapatkan dalam pernikahan ini!”
Audrey menunduk, merasa berat hati mendengar ucapan Asher yang penuh dengan kekecewaan. Namun, ia tahu bahwa itu adalah keputusan yang telah mereka buat bersama. Dengan hati-hati, Audrey mengambil gelang tersebut dan mengenakan di pergelangan tangannya. Kilau gelang tersebut tampak indah, tapi tak mampu menghapus rasa sedih yang mendera hati Audrey.
“Terima kasih, Asher,” ucap Audrey dengan suara lirih, mencoba tersenyum tipis. “ Aku akan menjaga warisan ini sebaik mungkin.”
“Pergilah!” ucap Asher dengan wajah datar.
Audrey tersentak mendengar kata-kata Asher yang tiba-tiba terdengar dingin. Perasaan yang campur aduk antara harapan dan kekecewaan muncul begitu saja. Namun, ia mengerti bahwa mungkin Asher juga memiliki beban yang harus dihadapi, jadi ia memilih untuk memberi ruang pada suaminya.
Audrey berdiri, dia menatap ke arah Asher yang sudah sibuk dengan benda pipihnya. “Hmm... Apakah kamu sudah makan? Jika belum, aku akan memasak sesuatu-“
“Tidak perlu. Jangan merepotkan dirimu,” potong Asher dengan cepat tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya acuh.
Audrey menggigit bibir bawahnya. Wajahnya seketika sedih. “Baiklah, aku ingin istirahat. Jika ada ada sesuatu yang ingin kau butuhkan kau bisa-“
Brak!
Audrey tersentak kaget saat pria itu membanting ponselnya. Kepala Audrey tertunduk ke lantai, dan ia melirik ke arah Asher dengan wajah terkejut. “Ada masalah, Asher?” tanya Audrey dengan suara gemetaran.
Asher menghela napas berat dan mengusap wajahnya kasar, seakan sedang berusaha mengendalikan amarah yang mulai memuncak. “Pergi!” sentak Asher.
Audrey tersentak kembali, kali ini hatinya semakin menangis. Sejenak ia merasa takut dan bingung, namun ia menguatkan diri. Sesuai dengan permintaan Asher, ia berusaha untuk menahan perasaan sedih itu. “ Baiklah, Asher,” kata Audrey, berusaha tetap tegar. “Aku akan meninggalkanmu sendiri. Selamat malam.”
Audrey pun melangkah gontai menuju ke gudang belakang di mana kamarnya berasal. Setibanya di dalam kamar, wanita itu membaringkan tubuhnya di atas tikar sambil menatap langit-langit kamarnya.
“Lusa, adalah hari memperingati kematian ibu. Apakah Asher akan menemaniku? Mengingat dia sudah menjadi suamiku sekarang. Tidak mungkin jika aku pergi sendiri. Tentu semua orang akan mencibirku,” gumam Audrey.
Audrey merasakan kekosongan dalam dirinya, hatinya teriris oleh sikap dingin Asher. Ia terus bertanya-tanya apakah dia akan sanggup menghadapi sikap Asher kepadanya?
Malam ini, Audrey merasa tak bisa tidur. Dia merenung tentang hidupnya yang sekarang, tentang pernikahan yang terjadi karena kepentingan dan persetujuan keluarga. Tentunya ini bukan pernikahan yang Audrey impikan, tetapi kesepakatan itu telah diambil dan ia harus menghadapinya. Entahlah, mungkin saat ini perasaannya sedikit berputar balik.
“Aaaakkhhh! Hentikan! Aku akan katakan siapa yang mengirimku!” seorang pria terikat di rantai besi itu menjerit penuh kesakitan saat Asher menyayat tubuh pria yang kedua tangannya tengah terpasung itu.
“Aku tidak punya belas kasih. Jika kalian ingin menyusup, aku akan pastikan jika kulitmu akan menjadi mantel tubuhku!” desis Asher yang duduk di kursi roda.
“---baik, Carlos ... Carlos yang mengirimku! Dia ingin kau mati,” ucap penyusup terbata-bata menahan kesakitan.
Asher mencibir mendengar pengakuan yang diucapkan dari gerangan penyusup itu. “Carlos, huh?” gumamnya pelan. Ia kemudian meraih ponselnya dan menghubungi salah satu anak buahnya yang melakukan penjagaan di sekitar rumah tentu penjagaan tersembunyi. “Perketat keamanan, temukan siapa saja yang bekerja sama dengan Carlos. Jangan ada yang lolos.”
Setelah memberi instruksi, pria itu memindahkan pandangannya ke penyusup itu, kemudian dengan penuh amarah, ia berkata, “Kau telah memilih waktu yang sangat buruk untuk mencoba menyusup. Kematian menanti di depan pintu, dan aku yang akan menentukan nasibmu sendiri.”
Pria yang terikat itu menatap Asher dengan tatapan penuh ketakutan. “Tolong, beri aku kesempatan untuk menjelaskan,” kata pria itu dengan suara terbata-bata.
Asher memutar kursi rodanya. “ Bakar, dia!” titah Asher.
Beberapa bawahan Asher membuka belenggu pada tangan penyusup tersebut, terdengar suara menjerit dan memohon. Namun siapa yang peduli? Bagi Asher, hukuman tanpa ampun bagi siapa pun yang berani mengancam dirinya.
“Tuan, kau harus mengambil tindakan. Bisa-bisanya sepupu anda, Carlos, mengirim pembunuh untuk membunuhmu, Tuan. Ini dilakukan secara terang-terangan!” ujar Franklin emosi.
“Belum saatnya aku bergerak. Mengingat kondisiku yang saat ini belum membaik,” sahut Asher.
“Tuan, aku ada bersamamu, biarkan aku yang turun tangan-“
“Cukup, Franklin. Biarkan mereka bermain-main. Kita nikmati saja permainan mereka,” potong Asher.
Pagi pun tiba, suara kicau burung-burung terdengar meramaikan cakrawala. Audrey bangun dari tidurnya dengan perasaan lelah setelah semalam tak dapat tidur dengan nyenyak. Ia sadar bahwa hari ini ia harus menghadapi kenyataan lagi sebagai istri Asher.
“Aku harus membuatkan sarapan untuk Asher. Biar bagaimana pun, dia tetap suamiku.” Audrey bangun sambil mengikat rambutnya.
Setelah dia merapikan tempat tidur, Audrey berjalan ke arah rumah. Dengan hati-hati, Ia membuka pintu belakang. “ Tidak di kunci.” Wanita itu bergegas masuk dan memulai aktivitasnya menjadi seorang istri.
“Hmm... Ternyata, lumayan lengkap isi kulkas ini,” gumam Audrey sambil memilih bahan-bahan yang akan ia gunakan untuk membuat Quiche (pai dengan isian telur, keju, sayuran, dan daging) yang bisa disajikan dengan salad segar di tambah jus jeruk. Menu sederhana yang mudah dan cepat untuk disajikan.
Audrey kini menyusun sarapan yang baru saja dia buat di atas meja bar mini pembatas dapur. Saat tengah menyusun menu sarapan, Asher dengan kursi rodanya melewati tubuh Audrey begitu saja dan menuju ke tempat air minum.
“Asher, aku membuatkan sarapan untukmu. Ayo, kita sarapan bersama.” Ajak Audrey dengan senyum yang ramah.
Pria itu memutar kursi rodanya dan menghampiri Audrey. Asher menatap menu sarapan yang sudah tersaji tersebut dengan wajah tanpa ekspresi. Sedangkan Audrey, menunggu reaksi Asher antusias disertai senyum mengambang di bibirnya.
Prang!
“Aaaaa!” Audrey menjerit sambil menutup kedua telinganya.
Wanita itu seketika terbelalak melihat Asher menghempaskan sarapan yang dia buat. “Kau tahu, aku pria Perfeksionis. Aku tidak suka dengan makanan menjijikkan seperti ini. Dengar, Callie, jangan pernah mengambil perhatianku karena kau tampak menjijikkan! Jika kau ingin makan, buat untuk dirimu sendiri!" cetus Asher. Setelah dia berkata demikian, pria itu pun berlalu.
Salam kenal
Jangan lupa mampir ya 💜