Karin, Sabrina, dan Widuri. Tiga perempuan yang berusaha mencari kebahagiaan dalam kisah percintaannya.
Dan tak disangka kisah mereka saling berkaitan dan bersenggolan. Membuat hubungan yang baik menjadi buruk, dan yang buruk menjadi baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfira Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Berbagi Beban
Perlahan-lahan Widuri membuka matanya. Cahaya redup terasa menyilaukan penglihatannya. Sembari merasakan pusing yang masih mendera, diw menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mengenali ruangan yang kini dia tempati.
"Dimana aku?" gumam Widuri
Tangan kirinya terasa berat, dan dia melihatnya. Lalu terkejut saat melihat selang infus terpasang di sana. Namun, Widuri yakin dia bukan di rumah sakit. Tempatnya berada tampak seperti kamar seseorang.
Ingatan tentang kejadian di jembatan mendadak kembali menyerbunya. Sumpah serapah yang terlontar, rasa putus asa yang menggerogoti, dan kemudian ... ingatan tentang laki-laki yang menolongnya.
"Apa ini rumah laki-laki itu?" batin Widuri.
Disaat bersamaan pintu ruangan terbuka. Laki-laki itu muncul, sambil membawa nampan berisi semangkok bubur, dan segelas air minum.
"Syukurlah kamu sudah sadar," ucap laki-laki itu.
"Anda yang menolong saya di jembatan kan?" tanya Widuri.
"Iya, saya yang menolong kamu. Maaf karena saya membawa kamu kemari. Tadinya saya akan membawa kamu ke rumah sakit. Cuma setelah saya pikir lagi, lebih baik saya menyuruh dokter pribadi saya kemari," jawabnya.
"Oh, begitu."
Widuri mencerna ucapan itu, lalu merasakan sesuatu yang menarik. "Wah, kalau dia punya dokter pribadi, berarti dia bukan orang sembarangan," batinnya.
Widuri kembali mengamati ruangan serta penampilan orang yang sudah menolongnya. Jam tangan, baju, juga furniture di rumahnya bukanlah barang biasa. Semuanya memiliki mereka ternama. Itu menunjukan dia memang orang yang kaya raya.
"Apakah dia jodoh yang didatangkan tuhan untukku?" batin Widuri.
Widuri merasa sedikit bersemangat, hingga lupa dengan apa yang sudah menimpanya.
"Makanlah bubur ini. Dokter Hasan tadi bilang kalau kamu itu pingsan, karena dehidrasi dan belum sarapan," jelas laki-laki itu.
"Ah, iya, saya memang belum sarapan dari pagi," jawab Widuri.
Laki-laki itu mengangguk, lalu mengamati Widuri. "Kamu sepertinya sedang ada masalah? Oh, iya nama kamu siapa? Kita belum berkenalan."
"Nama saya Widuri ... kalau Mas? Eh, Bapak?" Widuri bingung harus memanggil apa, karena orang itu tampak lebih tua darinya.
"Nama saya Wijaya, kamu bisa panggil saya Mas Wijaya, atau Pak Wijaya," jawab orang yang tak lain adalah Pak Wijaya, suami dari Sabrina.
"Ah, baiklah Pak Wijaya," kata Widuri.
Widuri mengangguk-angguk sambil mengaduk bubur yang kini ada di hadapannya. Dia merasa sedikit canggung makan di hadapan Pak Wijaya.
Pak Wijaya menyadari kecanggungan itu, dan berpamitan. "Ya sudah, silahkan makan dulu buburnya, terus istirahatlah. Nanti setelah kamu pulih saya akan antar kamu pulang."
"Terima kasih banyak Pak Wijaya," ucap Widuri
"Sama-sama ... saya tinggal dulu ke depan. Nanti kalau sudah habis dan merasa lebih segar kamu susul saya ke depan," ucap Pak Wijaya.
"Baik, Pak."
Setelah menyantap habis bubur buatannya, dan merasa lebih baik, Widuri pun berpamitan pulang. Lalu seperti ucapannya. Pak Wijaya benar-benar mengantar Widuri pulang.
"Padahal saya bisa pulang sendiri, Pak. Saya jadi merasa enggak enak, karena telah merepotkan Pak Wijaya," ucap Widuri bersuara, agar perjalanannya tidak terlalu sunyi.
"Saya enggak merasa repot kok Widuri. Saya cuma takut kamu kenapa-kenapa lagi di jalan ... dan mungkin kamu bisa berbuat nekat lagi," jawab Pak Wijaya masih salah paham.
"Ah, soal itu ... tadi tuh saya bukan mau mengakhiri hidup kok. Saya enggak sadar lompat dari jembatan, karena ponsel saya jatuh," jelas Widuri.
"Apa? Jadi kamu melompat karena ponsel kamu jatuh?" tanya Pak Wijaya terkejut.
"Iya, Pak. Saya enggak ada pikiran buruk kok," jawab Widuri.
"Haha saya pikir kamu sedang buntu dan banyak masalah," ucapnya.
"Yah, kalau masalah sih memang ada Pak," jawab Widuri dengan nada sedih.
"Memang kamu ada masalah apa?"
Widuri menunduk terdiam. Dan Pak Wijaya tampaknya sadar kalau itu bukan ranahnya untuk bertanya soal masalah pribadi.
"Ah, maaf tak seharusnya saya bertanya soal itu. Apapun masalah yang kamu hadapi, semoga segera ada jalan keluar yang baik," katanya.
Widuri menganggukkan kepalanya Lalu, matanya tetiba tertuju kepada foto Pak Wijaya dan seorang perempuan yang digantung di atas mobil.
"Siapa perempuan itu? Apa itu istrinya Pak Wijaya?" batin Widuri bertanya. Dia memang belum pernah bertemu dengan Sabrina.
Widuri diam-diam mengamati Pak Wijaya dan gantungan foto itu secara bergantian.
"Ah, tapi rasanya perempuan itu terlalu muda untuk jadi istrinya Pak Wijaya. Mungkin itu adiknya," pikirnya lagi dalam hati.
Namun, karena sangat penasaran. Widuri memberanikan diri untuk bertanya. "Maaf, ini foto Bapak sama adik bapak, ya?"
Pak Wijaya terkekeh lalu menggeleng. "Itu istri saya, namanya Sabrina. Umur kami memang beda 10 tahun, jadi banyak juga yang sering menyangka dia adalah adik saya."
"Ah, begitu rupanya."
Widuri merasa kecewa mendengar status Pak Wijaya. Harapannya untuk dekat dengan Pak Wijaya yang kaya pun pupus sudah.
"Iya, betul istrinya bapak cantik dan muda. Makanya saya juga pikir itu adik bapak," jawab Widuri mencoba terlihat biasa.
"Kalau istri bapak secantik ini. Saya bisa bayangkan anak-anak bapak juga pasti cantik dan menggemaskan," tambahnya memuji.
Namun, mendengar ucapan Widuri, raut wajah Pak Wijaya sontak berubah. Dia terlihat murung.
"Kami belum punya anak ... sudah sepuluh tahun menikah, tapi istri saya belum hamil juga," jawab Pak Wijaya.
"Ah, maaf harusnya saya enggak bilang soal itu," kata Widuri merasa tak enak.
"Enggak apa-apa, saya enggak sedih kok. Walau tanpa anak, saya dan istri masih bahagia, dan kami saling mencintai ... hanya saja ...."
Pak Wijaya menghentikan ucapannya lalu melihat ke arah Widuri sambil terkekeh. "Ya ampun kenapa saya jadi curhat sama kamu. Maaf ya saya enggak sadar. Padahal kamu juga lagi ada masalah."
"Enggak apa-apa kok, Pak. Saya enggak keberatan mendengar masalah Bapak. Justru saya senang bisa membantu meringankan beban bapak."
"Ya, walau saya enggak bisa memberi solusi atau jalan keluar. Tapi setidaknya saya bisa membantu bapak mengeluarkan uneg-uneg dan pikiran yang mengganggu," lanjut Widuri.
"Tapi, saya enggak maksa juga sih, Pak. Kalau mau cerita silahkan, kalau enggak juga enggak apa-apa," ucap Widuri.
Pak Wijaya menghela nafasnya, lalu menatap Widuri. "Saya dan istri memang saling mencintai, tapi kami sedang diuji oleh cobaan yang cukup berat dan menggoyahkan hubungan kami."
"Cobaan apa, Pak?" tanya Widuri.
"Orangtua saya meminta saya menikah lagi dengan perempuan lain, agar bisa memiliki keturunan sebagai penerus keluarga," jawab Pak Wijaya.
"Tapi saya tidak akan melakukannya, karena saya hanya mencintai Sabrina," ucapnya lagi penuh tekad.
Widuri mengangguk mencoba terlihat sepaham dengan Pak Wijaya. "Iya tentu, Bapak tak boleh mengkhianati istri Bapak ... saya doakan semoga ada keajaiban dan kalian segera diberi keturunan."
Pak Wijaya tersenyum pada Widuri. "Aamiin, terima kasih Widuri, kamu membuat saya lebih kuat sekarang. Semoga kamu juga bisa lepas dari segala masalah kamu."
Widuri tetiba merasakan sesuatu yang aneh saat melihat senyuman, dan tatapan Pak Wijaya yang penuh kehangatan. Widuri memalingkan wajahku, mencoba menetralkan hatinya yang tiba-tiba tak karuan.
Widuri diam-diam terkekeh, lalu bergumam dalam hati. "Jangan gila Widuri! Kamu tak boleh jatuh hati pada suami orang ... walau tak bisa disangkal dia memang kaya dan tampan, tetap saja dia itu sudah beristri."
"Aku enggak boleh jadi pelakor!" batinnya bertekad