Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.
Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.
Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.
Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Empat
Begitu juga yang dirasakan oleh Wati dan Laras. Kedua wanita itu hanya bisa menunduk menatap jari jemari mereka yang gemetaran. Bagaimana mungkin mereka tidak ketakutan? Yang mereka hadapi saat ini adalah pria konglomerat yang tidak bisa disentuh oleh hukum!
"Sekarang aku mau kalian berlutut dan memohon maaf kepada Firda!" perintah Abraham begitu tegas.
"Haa?" Tentu saja hal itu membuat Bambang sontak saling berpandangan dengan istri dan anak perempuannya. Raut keterkejutan tak dapat disembunyikan dari wajah mereka bertiga.
Mana mungkin mereka mau merendahkan harga diri di hadapan Firda, keponakan mereka yang telah menumpang hidup di sini sejak kecil. Yang ada justru Firda lah yang lebih pantas berlutut kepada mereka!
Bukannya menuruti perintah sang CEO perusahaan Astra Sugarda itu, mereka kini justru melemparkan tatapan sengit dan tajam kepada Firda masih dengan posisi berlutut, membuat Firda seketika terhenyak karena ketakutan.
"Kalian tidak mau? Kalian membantahku?" sela Abraham. "Cepat berlutut dan memohon maaf kepadanya karena sebentar lagi aku akan menjadikannya sebagai nyonya keluarga Handoko! Aku akan menikahinya secara resmi. Jadi ... lebih baik kalian simpan sendiri kesombongan kalian di hadapan anggota keluarga Handoko sebelum keluarga Handoko benar-benar akan menghabisi kalian."
Perkataan Abraham bagaikan siraman air panas di siang bolong ini kepada Bambang, istrinya Wati, dan putrinya Laras. Ketiganya tidak pernah menyangka bahwa Firda akan mendapatkan keberuntungan sebesar ini, dinikahi secara resmi oleh seorang pewaris keluarga Handoko, keluarga konglomerat dan terkaya di Indonesia.
Sementara itu Firda menatap penuh ketakutan ke arah Abraham. Dirinya sama sekali tak mengenali calon suaminya ini. Apakah dia adalah laki-laki baik atau justru sebaliknya? Namun, status sebagai istri sah jauh lebih baik ketimbang hanya dijadikan objek pemuas nafsu tanpa diberikan status yang jelas.
Firda menunduk dalam, menatap ujung kakinya sendiri. Betapa situasi ini menunjukkan seberapa tak berdayanya gadis miskin dan malang sepertinya jika berhadapan dengan seorang pria konglomerat seperti Tuan Abraham. Firda bahkan tak bisa berbuat apa pun untuk melindungi kebebasannya sendiri.
"F-Firda ... maafkan paman karena sudah memaksamu memakai pakaian itu." Hilang sudah harga diri Bambang di hadapan keponakannya yang selama ini dirinya rendahkan!
Namun, Bambang tak kuasa berbuat apa pun. Tatapan setajam belati yang Abraham torehkan untuk mereka sudah cukup jadi ancaman yang mematikan.
Bambang segera menyenggol dengan istrinya agar wanita paruh baya itu cepat-cepat mengikuti tindakannya yang sebelumnya telah meminta maaf lebih dulu kepada Firda. "Cepat, Bu! Supaya ini semua bisa cepat selesai!" bisik Bambang kepada istrinya dengan penuh penekanan.
Wati menarik nafas dalam-dalam. Dirinya menggigit bibir bawahnya, tak pernah menyangka sebelumnya bahwa hari yang seharusnya membahagiakan baginya ini, di mana Tuan Abraham akan mengambil keponakannya dan membelinya seharga satu miliar, ternyata justru menjadi hari terburuk yang pernah dia alami dalam hidupnya.
Sebab kini Wati dipaksa harus berlutut dan memohon maaf kepada Firda, keponakannya yang selama ini dia anggap begitu rendah.
"F-Firda maafkan bibi ya."
"Kak Firda, maafkan aku," ucap Laras mengikuti tindakan yang diambil oleh kedua orangtuanya. Dari nada bicaranya saja sudah terdengar sangat jelas bahwa Laras tidak ikhlas mengucapkan kata maaf itu.
Tatapan mata penuh kedengkian dan keirian Laras lemparkan ke arah kakak sepupunya itu. Seharusnya dirinya lah yang lebih pantas bersanding dengan Tuan Abraham dan menjadi anggota keluarga Handoko, bukan Firda!
Dirinya lebih berpendidikan, cantik, dan tubuhnya pun lebih seksi jika dibandingkan dengan Firda yang kurus hanya tinggal tulang, begitu ringkih, dan dekil. Itu karena Firda tidak punya uang untuk membeli skincare dan peralatan kecantikan lainnya sebab seluruh uangnya yang dia hasilkan dari bekerja sebagai pelayan di salah satu cafe di Jakarta dirampas begitu saja oleh paman dan bibinya.
Sejak Firda lulus SMA dan mulai bekerja karena paman dan bibinya sudah jelas tidak akan mungkin mau menguliahkannya. Dimulai sejak saat itulah paman dan bibinya mulai malas bekerja. Mereka hanya ungkang-ungkang kaki di rumah menanti uang dari Firda. Keduanya beranggapan Firda memang sudah seharusnya memberi mereka uang sebagai ganti rugi dari biaya yang telah mereka keluarkan untuk membesarkan Firda selama ini.
Sementara itu, Laras tumbuh menjadi gadis yang bersih dan rapi. Dia punya banyak pakaian bagus di lemarinya, alat-alat kecantikan yang lengkap, dan skincare yang sesuai dengan saran-saran dokter kecantikan. Selain itu Laras juga berkuliah di jurusan Ilmu Komunikasi dan saat ini telah berada di semester lima.
"Firda, apakah kamu memaafkan mereka?"
Siapa kira ... pertanyaan sederhana yang Abraham lontarkan kepada Firda mampu membuat air mata seketika tergenang di pelupuk mata indah gadis itu.
Memori di kepalanya seketika menggambarkan kilas balik semua kejahatan yang pernah dilakukan oleh paman, bibi, dan adik sepupunya kepadanya selama ini.
Begitu sulit bagi Firda untuk mengucapkan bahwa dirinya telah memaafkan mereka. Bibirnya bahkan sampai gemetar hebat. Karena pada kenyataannya dosa yang mereka torehkan kepada Firda, gadis yatim piatu yang telah kehilangan kedua orang tuanya sejak dia masih kecil, memang sebegitu besar untuk bisa diberi maaf dengan semudah ini.
Bibir Firda kelu, tak sanggup memberikan satu patah kata pun jawaban.
"Kehh bajingan!" Bambang mengumpati Firda dalam hati. Melihat reaksi sang keponakannya yang justru seolah-olah menggambarkan bahwa dirinya adalah paman yang kejam dan jahat.
"Bisa-bisanya dia bereaksi seperti itu?" Tak jauh berbeda dengan Bambang, begitu pula istrinya yang kini mengecam Firda di dalam hati. "Dasar tidak tahu diuntung! Sudah dikasih makan, dibesarkan dari sejak kecil."
Laras menatap sinis ke arah kakak sepupunya itu dan mengatainya dalam hati dengan penuh permusuhan. "Dih ternyata dia sangat licik! Pasti dia sengaja bereaksi seperti itu agar Tuan Abraham menjadi semakin marah kepada aku dan kedua orang tuaku. Baru mendapat dukungan dari pria konglomerat saja dia sudah berani bermuka dua seperti ini. Dasar jalang munafik!"
Karena pertanyaannya yang pertama tidak kunjung mendapat jawaban. Hanya keterdiaman Firda yang menyahut diiringi dengan bola mata gadis itu yang tampak berkaca-kaca, Abraham akhirnya mengajukan pertanyaan kembali, "Kamu ... nggak mau memaafkan mereka ya?" tanyanya dengan suara serendah mungkin agar tak menakuti gadisnya yang penakut ini.
Namun, betapa pun seberapa kerasnya Abraham mencoba merendahkan suaranya, tetapi suara rendahnya itu justru lebih terdengar seperti sedang menekan seseorang.
"Aku seperti sedang bicara dengan gadis bisu," tukas Abraham seraya menggigit bibir bawahnya sendiri, menatap gemas ke arah gadisnya.
"Baiklah kalau begitu ...." Abraham menganggukkan kepalanya berulang kali tanda dia mengerti apa yang harus dirinya lakukan. "Kalian!" perintah Abraham kepada Bambang beserta istri dan anak perempuan pria yang telah bangkotan itu.