Ratri Swasti Windrawan, arsitek muda yang tidak ingin terbebani oleh peliknya masalah percintaan. Dia memilih menjalin hubungan tanpa status, dengan para pria yang pernah dekat dengannya.
Namun, ketika kebiasaan itu membawa Ratri pada seorang Sastra Arshaka, semua jadi terasa memusingkan. Pasalnya, Sastra adalah tunangan Eliana, rekan kerja sekaligus sahabat dekat Ratri.
"Hubungan kita bagaikan secangkir kopi. Aku merasakan banyak rasa dalam setiap tegukan. Satu hal yang paling dominan adalah pahit, tetapi aku justru sangat menikmatinya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Tiga Wanita
“Hai, Nay,” balas Sastra, menyambut hangat wanita cantik berambut panjang sebatas punggung, yang tak lain adalah Nayeli. Sastra tidak menolak, ketika si wanita mencium pipi kiri dan kanan sebagai tanda keakraban. “Dari mana?” tanyanya basa-basi.
“Hanya kebetulan lewat. Kupikir, tidak ada salahnya mampir kemari. Lagi pula, setelah cafe ini dibuka, aku belum sempat masuk dan mencicipi kopi yang terkenal itu.”
“Ah, berlebihan.” Sastra menanggapi ucapan Nayeli dengan senyum tipis, sebelum menoleh pada sang ayah yang memperhatikan dengan tatapan penuh selidik.
“Ini Nayeli, Pa. Dia teman lamaku,” ucap Sastra, memperkenalkan wanita cantik berpenampilan modis itu. “Papaku.” Sastra mengarahkan ekor mata kepada sang ayah.
Carson tersenyum kalem penuh wibawa. “Oh, hai. Carson Chandler.” Dia mengulurkan tangan, mengajak bersalaman.
“Apa kabar, Om,” balas Nayeli ramah. “Om yakin lupa padaku?”
Carson terdiam, lalu menaikkan sebelah alis. Dia mengingat-ingat sosok wanita muda di hadapannya.
“Ya, ampun.” Nayeli tertawa renyah. “Sudah terlalu lama. Waktu itu, kita bertemu secara tidak sengaja, saat aku berkunjung ke coffee shop milik Sastra yang ada di Edinburgh.”
Carson tampak masih mengingat-ingat. Sepertinya, dia benar-benar lupa.
“Ya, sudah. Tidak perlu dipaksakan, Om.” Nayeli tersenyum geli.
“Aku benar-benar minta maaf,” balas Carson tak enak.
“Tidak apa-apa, Om. Lagi pula, sudah cukup lama. Wajar jika Om lupa.” Nayeli terlihat biasa saja. Baginya, itu bukan hal penting karena niat wanita cantik tersebut datang ke sana, tak lain untuk menemui Sastra.
Carson manggut-manggut. “Harap dimaklum. Aku sudah terlalu tua,” ujarnya, setengah bergurau.
“Om terlihat awet muda. Sepintas, bisa disangka kakak-beradik dengan Sastra.” Nayeli melirik nakal Sastra, yang langsung membalasnya.
Sastra menatap penuh isyarat. Bagai candaan yang sudah dipahami Nayeli, sehingga langsung ditanggapi dengan senyuman. Mereka terlihat akrab, dan tak sungkan memperlihatkan bahasa tubuh yang menggambarkan kedekatan.
Sikap yang ditunjukkan mereka, tentu saja jadi perhatian Carson. Namun, ayahanda Sastra tersebut tidak berkomentar apa pun. Dia memilih berpamitan, meskipun pergi dengan membawa pikiran tak menentu.
Carson bertanya-tanya dalam hati. Dia merasakan ada yang aneh antara Sastra dengan Nayeli. Terlebih, wanita itu mengatakan pernah berkunjung ke coffee shop milik Sastra di Edinburgh.
“Tidak, Nak,” gumam Carson, sebelum menyalakan mesin mobil. Pria paruh baya itu terlihat resah, menyikapi kelakuan putranya.
Sementara itu, Sastra tak bisa langsung kembali ke lantai dua, berhubung harus menemani Nayeli berbincang sambil menikmati secangkir kopi.
“Kamu masih suka minum kopi tanpa jadwal pasti,” ucap Sastra, seraya memperhatikan Nayeli yang tengah meneguk minumannya.
“Tak ada pengaruhnya untukku. Jadi, kenapa harus menahan diri?” balas Nayeli tak acuh.
“Ya, sudah. Lanjutkan.” Sastra berdiri dari duduk. Dia hendak beranjak meninggalkan meja.
“Mau ke mana?” Nayeli melayangkan tatapan protes. Dia ingin Sastra tetap menemaninya di sana.
“Aku masih punya urusan lain, Nay. Jadi, silakan nikmati waktumu sepuasnya. Terima kasih karena sudah mampir.” Sastra tersenyum kalem, sebelum berlalu.
Akan tetapi, baru selangkah menjauh dari meja, Sastra langsung tertegun. Dia kembali menoleh pada Nayeli. “Sejak kapan kamu pulang ke Indonesia?” tanyanya, diiringi tatapan penuh selidik.
Nayeli tidak segera menjawab. Wanita cantik berpenampilan modis itu memberi isyarat, agar Sastra kembali ke tempat duduknya tadi. “Luangkan waktumu sebentar saja. Kita sudah lama tidak berbincang santai.”
“Ayolah.” Sastra keberatan dengan permintaan Nayeli. Namun, akhirnya dia kembali ke dekat meja, lalu berdiri menghadap wanita cantik itu. “Kita bicara lain kali saja. Aku masih ada urusan penting sekarang. Kamu hanya tinggal menjawab pertanyaanku tadi.”
Namun, Nayeli seakan ingin bermain-main dengan Sastra. Wanita dengan postur tubuh seperti Ratri tersebut, tetap tenang menikmati minumannya.
Sementara itu, Ratri mulai bosan menunggu. Dia menutup layar ponsel, kemudian meletakkannya dekat tas. Wanita berambut pendek tersebut mengedarkan pandangan, sebelum beranjak ke dekat lemari tempat menyimpan koleksi buku milik Sastra.
Pandangan Ratri menyapu deretan buku yang tertata rapi. Dia mencari judul yang dirasa menarik. Namun, hampir semua bertajuk tentang seputar bisnis.
“Ya, ampun. Elia sangat beruntung. Setidaknya, dia akan terjamin secara materi,” gumam Ratri, seraya kembali menutup pintu kaca karena ponselnya berdering, sebab ada panggilan masuk.
Ratri kembali ke tempat duduknya tadi, kemudian meraih telepon genggam. Dia langsung menjawab panggilan yang berasal dari Eliana. “Ya, El?” sapanya.
“Kamu di mana, Rat?” tanya Eliana. Sepertinya, dia menelepon sambil berkendara.
“Aku sedang di luar. Ada apa?” Ratri balik bertanya.
“Bagaimana kalau kamu mampir ke ‘Secangkir Kopi’? Aku sedang dalam perjalanan ke sana,”
Seketika, Ratri membelalakan mata. Ketenangannya sirna, berganti jadi rasa gugup yang tergambar jelas. “A-apa? Oh, iya," sahut Ratri terbata.
“Kamu di mana sekarang? Aku jemput, ya.”
“Ah, tidak usah,” tolak Ratri segera. “Kamu duluan saja. Aku akan menyusul.”
“Yakin?” Eliana terdengar ragu. “Pokoknya, kamu harus datang. Aku tunggu, ya. Aku sudah hampir tiba di cafe.”
“Iya. Ya, sudah. Sebaiknya, kamu tutup telepon. Fokuslah mengemudi.”
“Ah, Ratri. Aku menyayangimu. Bye.”
Setelah mengakhiri perbincangan, Ratri bergegas merapikan diri. Dia juga memasukkan barang-barangnya yang tadi dikeluarkan dari tas. Berhubung Sastra tidak juga kembali ke lantai dua, akhirnya Ratri memutuskan turun sendiri.
Ratri melewati bagian samping cafe, yang tadi dilalui bersama Sastra. Dia melangkah hati-hati, hingga tiba di ujung depan bangunan. Wanita yang lebih nyaman berpenampilan kasual tersebut mengintip dari sana, memastikan kedatangan Eliana.
Tak berselang lama, sedan milik Eliana memasuki halaman depan cafe. Namun, Eliana tak juga muncul. Entah apa yang tengah wanita itu lakukan di dalam mobil.
Setelah beberapa saat berlalu, barulah Eliana keluar dari kendaraan. Wanita cantik berambut panjang itu menenteng tas dan blazer di lengan kiri. Dia berjalan penuh percaya diri, memasuki cafe. Wajahnya pun tampak begitu berseri.
Sementara itu, Ratri belum beranjak dari tempatnya tadi. Dia sengaja memberi jeda waktu hingga beberapa saat, agar tidak mencurigakan. Ratri bahkan menghubungi Eliana, menanyakan keberadaan sahabatnya tersebut.
“Aku sudah di dalam cafe,” sahut Eliana, menghentikan langkah sejenak. “Kamu di mana? Cepat, ya.”
“Iya. Sebentar lagi aku sampai.”
Ratri menutup sambungan telepon, lalu berlari ke halaman cafe. Dia berlagak sok baru tiba di sana. Meskipun terpasang kamera pengawas di beberapa sudut, tetapi Ratri yakin Eliana tidak akan memeriksanya.
Setelah memasukkan telepon genggam ke dalam tas, Eliana melanjutkan langkah. Dia langsung memesan dua minuman, sebelum memilih meja. Di saat itulah, Eliana melihat Sastra tengah berbincang dengan Nayeli.
“Siapa dia?” gumam Eliana, bersamaan dengan Ratri yang menghampirinya.
taukan ela itu pemain drama
apa prama yaa
☹️☹️
betkelas dech pokoknya
" ternyata baru kusadari sirnanya hatimu yg kau simpan untuknya
aku cinta kepadamu,aku rindu dipelukmu
namun ku keliru t'lah membunuh cinta dia dan dirimu... oh...ohh..ohhh"
😅😅😅😘✌
jangan2 emaknya ratri ibu tirinya sastra...